Kalungku

Chahna berdiri di tengah alun-alun ketika para rakyat sudah mulai bergerombol memasuki gerbang kerajaan untuk merayakan festival topeng di hari suci serta peresmian Akitha menjadi putri mahkota yang sah. Selama berdiri disana seluruh mata tertuju pada gadis itu, busana yang di berikan mbak Sengi padanya amat bagus namun bukan itu yang membuat nya lebih istimewa tapi tambahan kain dari jubah Nara yang ia ikatkan di pinggang nya dengan lengan jubah yang di masukin oleh lengannya itu yang membuat gadis itu tampak mencolok.

"Ugh... rencanakan mau pakai selendang aja tapi aku butuh jubah ini untuk menyusup," pikirnya dalam hati saat terus menerus melihat pandangan orang-orang yang lewat. "Terlalu mencolok ya?" Gumamnya yang melirik busananya.

"Tidak kok, cantik," puji seseorang dengan suara yang berat, Chahna terdiam saat mendongakkan kepalanya. Ia tatap Bima yang memakai topeng merah dengan ukiran burung Garuda sehingga sangat cocok dengan warna matanya yang terang, rambutnya yang berwarna coklat yang di ikat setengah dengan karet membuat nya terlihat tampan, serta gayanya yang tampak gagah dengan senyuman yang menyungging di wajahnya.

"Wwwwaaaahhhhh...kang, sangat tampan," puji Chahna dengan entengnya, ia masih terus menatap pemuda itu dengan terpukau. Mata biru kristal nya itu tampak bersinar ketika menatap Bima dengan penuh kekaguman, ia sesekali menyentuh topeng Bima untuk melihat tekstur dari topeng itu.

"Hahahahahh...cukup, neng. Kalau iri jangan pegang-pegang, hahahahahah..." Ledek Bima dengan tangan di pinggang dan tubuh yang condong ke belakang untuk menjauh dari tangan Chahna.

"Ada-ada saja. Sudahlah, ayo kita ke festival nya," kata Chahna yang sudah capek dengan candaan Bima. Dengan nafas yang sesekali ia hembuskan ketika berjalan di samping pemuda itu, gadis itu berpikir keras strategi yang tepat untuk mengambil kembali kalungnya.

Pintu gerbang istana yang berukiran burung merak dan merpati yang tampak seperti sedang meraih permata pun terlihat, gerbang itu terbuka lebar dan cahaya lampu serta sihir terlihat dari dalam istana. Seluruh orang memainkan segala jenis sihir nya di mulai dari adu sihir yang di adakan oleh para penjaga kerajaan di tengah halaman serta tarian yang dilakukan para gadis-gadis kerajaan.

Suasana festival itu sangat meriah, Chahna memperhatikan seluruh topeng-topeng unik yang mereka pakai di sana, setiap orang memiliki topeng yang berbeda-beda. "Wah...anda melamun? Sepertinya anda baru pertama kali lihat festival topeng," kata Bima yang berdiri tepat di sampingnya. Gadis itu mengangguk dan membuat Bima tersenyum tipis dengan tingkahnya, "baiklah kalau begitu, saya akan main adu sihir di sana. Anda mau lihat?" Tanya Bima dengan penuh semangat.

"Tentu," setujunya. Ia berjalan mengikuti Bima ke tempat para penjaga melakukan adu sihir, langkahnya berhenti di depan pagar kayu dengan hiasan dedaunan yang menjadi pembatas area Adi sihir.

"Saya juga ingin melakukan adu sihir!" Seru Bima dengan bangga saat salah satu penjaga itu berhasil menjatuhkan penjaga lain dengan sihirnya. Adu sihir adalah bela diri khas kerajaan ini dimana para petarung mengunci lawannya dengan tangan dan menjatuhkannya dengan tekanan sihir yang di kumpulkan di otot lengan sehingga bisa membuat percikan sihir yang mengitari lengan, siapapun yang dapat menjatuhkan lawan ialah pemenangnya.

"Ohoho...anda terlalu berani, nak. Baiklah, mari," setuju penjaga itu yang berdiri dengan tegak.

Chahna memperhatikan Bima yang tampak bersemangat, matanya yang berwarna coklat itu membuat semangat di matanya itu terlihat jelas. Gadis itu tidak perlu meragukan kemampuan yang dimiliki Bima karena ia memang di takdirkan untuk selalu menang dalam pertarungan apapun.

Bima memasang sikap kuda-kuda dan dengan cepat menjepit lawan dengan tangannya, seluruh aliran sihir yang ia kumpulkan ke otot lengannya terlihat, garis-garis berwarna coklat kemerahan bagai bara api melintas di sepanjang urat lengannya dan percikan sihir menutupi lengannya itu. Dengan mudah nya pemuda itu menjatuhkan penjaga itu kurang dari satu menit, penjaga itu sontak kaget saat menyadari dirinya tergeletak tak berdaya di tanah.

"Hebat..." Gumamnya takjub. Suara tepukan tangan yang meriah terdengar dari seluruh orang yang menonton, Chahna memperhatikan wajahnya yang tersenyum lebar dengan bangga sambil meraih tangan penjaga itu untuk berjabat tangan.

Festival itu berlangsung begitu lama di sertai dengan penobatan Akitha yang di gelar khusus di dalam ruangan singgasana raja sehingga tidak banyak yang dapat melihat acara itu, sementara Bima sedang sibuk menyaingi para penjaga gadis itu merasa bosan dan terus menerus melirik ke arah lorong menuju ruangan Yang Mulia putra mahkota.

Ia celingukan mencari posisi Yasa untuk memastikan kalau ruangan itu akan kosong begitu dia datang, "hmp? Ah...disana. Sedang melakukan acara penobatan ya, oke, itu pasti bakalan lama," batinnya yang kemudian berjalan menuju lorong istana.

Langkah kakinya terdengar nyaring di lorong belantai kayu itu, setiap langkahnya keluar suara decitan kecil. "Pintu yang mana ya? Pintu...yang..." Ia menoleh ke kanan ke kiri saat tiba di ujung lorong dan di hadapkan dengan 3 pintu. Pandangannya kemudian tertuju pada sebuah pintu dengan ukiran emas di pinggirannya, ia langkahkan kakinya ke arah pintu itu dan dengan berani membuka pintu itu.

"Ah! Ini dia! Kalungku!" Serunya senang dengan suara yang sedikit pelan. Ia berlari masuk ke dalam dan mengambil kalungnya yang di gantungkan di dalam sebuah gantungan emas dengan kaca segiempat yang menutupi nya.

Kalung dengan botol kaca kecil yang berisi serbuk Glitter itu kini ia pasangkan kembali di kalungnya, "hhuuufffft...syukurlah, kukira bakal di rusak Yang Mulia," gumamnya lega sambil memakai kalung itu.

Ketika gadis itu berbalik sebuah keris tertuju padanya tepat, ujung keris itu di tujukan tepat di hadapan tenggorokan nya. Mata gadis itu membelalak saat melihat Yasa berdiri dengan sikap tegak dan tangan yang menodongkan keris, matanya yang berwarna kuning itu tampak seperti mentari yang membara ketika menatap gadis itu.

"Siapa kau berani memasuki ruangan ku?" Tanyanya dengan nada yang mengancam. Ia kemudian melirik kalung yang dikenakan olehnya, dan tambah mendekatkan kerisnya ke tenggorokan Chahna. "Dan kenapa kau menyentuh barang ku?!"

Mendengar perkataan pemuda itu ia dengan suara yang bergetar membalasnya dengan tegas, "i-ini kalung saya, saya ingin mengambil i..." Yasa mendadak mengayunkan keris itu dan membelah topeng Chahna menjadi dua.

Kedua mata mereka bertemu, mata bak cahaya mentari yang membara dari Yasa bertemu dengan mata bak cahaya permata yang mengkristal kan seluruhnya dari Chahna. Kedua pasang mata itu pun membelalak, saat belahan topeng itu jatuh ke lantai dengan suara yang keras.

"Permata ku?" Kaget Yasa yang menurunkan kerisnya.

Ia perhatikan Chahna yang gemetar tak karuan, rambut gadis itu yang tersanggul tergerai kembali, tangannya terkepal erat menahan takut. "Permata? Kenapa anda ada disini?" Tanya Yasa yang menyarungkan kembali kerisnya.

Pertanyaan Yasa itu tidak di dengarkan oleh Chahna yang ketakutan setengah mati, ketika Yasa hendak menyentuh bahunya mendadak gadis itu mengeluarkan darah dari ujung bibir dan hidungnya. Hal itu membuat Yasa sontak kaget, darah mengalir dari nya sampai akhirnya gadis itu roboh dengan gelombang sihir yang meledak dari tubuhnya.

"Permata!!!" Pekik pemuda itu yang memeluk tubuh Chahna dengan erat dan menekan kekuatan sihir Chahna dengan kekuatan sihirnya.

Para pelayan dan penjaga mulai berdatangan saat melihat ledakan sihir yang terlihat dari ruangan Yang Mulia putra mahkota. "Yang Mulia?! Ada apa ini?!" Tanya Dhika dengan panik.

"Panggil tabib, Dhika!!! Cepat!!!" Sergahnya dengan nada yang tajam lalu menggendong Chahna dan membawanya ke bilik lain untuk menunggu tabib.

...----------------...

Ketika matanya terbuka ia melihat sebuah halaman yang luas yang berhembus kan bunga-bunga dan air yang mengalir namun tidak memenuhi halaman itu, rasanya tempat itu seperti tidak memiliki gravitasi dan hanya di isi dengan segala benda yang berterbangan. "Halo, Chahna," sapa sebuah suara perempuan yang terdengar dari hadapan nya.

Gadis itu mendongak dan melihat sesosok perempuan yang tengah berjalan ke arahnya, ia menatap perempuan itu dengan keheranan. Selendang yang berterbangan mengelilingi lengannya serta pakaian khas Parameswari kerajaan Nusantara yang ia kenakan dengan berbagai perhiasan emas yang ada di lengan dan kepalanya.

"Rahayu...sang benih, kamu pasti penasaran kenapa kamu bisa ada disini. Kamu kesini bukan untuk bersenang-senang, Rahayu... Insantaraina sedang dalam bahaya," ucapnya begitu berhenti di hadapan Chahna.

Gadis itu memiringkan kepalanya keheranan dengan perkataan perempuan itu, tiba-tiba suara dentingan muncul membuat nya menutup telinganya. "Siapa anda?" Tanyanya yang meringis kesakitan.

Wanita itu tersenyum, Chahna tersadar bahwa mata wanita itu sangat mirip dengan matanya biru kristal yang bercahaya. "Saya bisa dibilang ibumu, Rahayu. Kita sedarah," imbuhnya lalu menghilang tertutupi oleh bunga-bunga yang berterbangan di sekitarnya.

"Tunggu!!! Anda belum mengatakan alasan saya ada disini!!!" Teriaknya yang berlari ke arah gerombolan bunga itu. Matanya terbuka tersentak dan sebuah ruangan terlihat begitu ia tersadar. Chahna perhatikan kelilingnya, para pelayan dan seorang wanita tua yang tengah menumbuk dedaunan serta Yasa yang sedang duduk tepat di sampingnya.

"Anda sudah sadar?" Tanya Yasa dengan nada yang lembut dan tangan yang perlahan memberikan sedikit percikan sihir pada Chahna. "Bagaimana perasaan anda, permataku?" Tanyanya lagi membuat gadis itu kaget.

Chahna hanya diam tidak berusaha menanggapi pertanyaan lelaki berambut perak itu, ia lalu menutup mulutnya saat merasakan sesuatu berjalan keluar dari mulutnya. Sebuah gumpalan darah berwarna merah gelap keluar dari mulutnya sehingga membuat gadis itu kaget, Yasa menekan dahi Chahna ketika gadis itu hendak bangun. "Jangan panik, itu salah satu efek sihir tabib," katanya menenangkan. Butiran sihir yang menyegarkan keluar dari jari jemari lelaki itu untuk membuat Chahna merasa tenang dan nyaman selagi tabib mengobatinya.

Chahna perhatikan wanita tua itu yang sedang meneliti gumpalan darah gelap yang baru saja keluar dari mulutnya di ikuti dengan para pelayan yang mondar-mandir membawakan sesuatu mengikuti arahan tabib. Selama pengobatan itu Yasa hanya diam memperhatikan rambut Chahna yang panjang serta wajah nya yang ayu bak perhiasan indah yang patut di pandangi selamanya.

'Prrrraaaaanggg!!!' suara sesuatu yang pecah memecah suasana yang hening itu, dengan cepat lelaki itu menoleh menatap salah seorang pelayan yang menumpahkan memecahkan mangkuk berisi ramuan yang di buat oleh tabib itu. Raut wajahnya seketika berkerut dan gelombang amarah dapat terasa di sekitar nya dalam sekejap. "Sepertinya anda sudah bosan hidup. LAKUKAN YANG BENAR!! AKU TIDAK AKAN MEMAAFKAN KESALAHAN SEPERTI INI LAGI!!!" Hardiknya membuat pelayan itu ketakutan. Yasa berdiri dari tempat ia duduk dan berjalan ke samping Dhika mengucapkan sesuatu yang tidak dapat di dengar oleh Chahna dan yang lainnya.

"Baik, Yang Mulia," sahut Dhika yang kemudian berjalan dengan pelayan itu yang berjalan di belakangnya.

Yasa kemudian menoleh menatap Chahna dan tersenyum, "anda akan di rawat disini. Jadi tenang saja," ucapnya ramah. "Kalian. Pastikan permata ku ini tidak rusak sedikit pun." Titahnya yang seolah memberi ancaman. Seluruh pelayan membungkuk dengan sedikit gemetar lalu menatap Yang Mulia raja baru itu keluar dari ruangan, sementara Chahna masih berbaring dan dirawat disana.

Setelah Yasa pergi, Chahna bangun sedikit dan menggerakkan tubuhnya untuk melihat lebih detail ruangan itu. Sebuah ruangan dengan pintu kayu berukiran emas, ranjang kayu yang dilapisi kain sutra yang lembut dengan bantal yang indah, tirai-tirai bambu yang terdapat di sudut ruangan, lemari kayu jati, serta perhiasan yang terpampang di meja rias, tidak di ragukan lagi bahwa ruangan itu adalah ruangan Parameswari yang digambarkan oleh dirinya di dalam novel.

Ia ternganga lebar tak percaya bahwa dirinya di bawah masuk ke ruang Parameswari bukan ruang pelayan atau asrama putri melainkan ruangan yang mulia ini yang bahkan tidak bisa di masuki para bangsawan, "aku tak percaya ini." Gumamnya.

Malam hari pun tiba Chahna masih terbaring di ranjang mewah itu dengan tubuh yang sedikit kaku dan kaki yang sangat sulit untuk di gerakkan, tabib masih sedia duduk di dekatnya mengawasi gadis itu yang sesekali terbatuk-batuk. "Berapa lama saya tidak sadarkan diri?" Tanyanya pelan dengan suara yang serak.

Tabib itu mengangkat 3 jari nya lalu membuka mulutnya, "hanya tiga jam," jawabnya singkat dengan kelopak mata yang datar menatap dingin gadis itu.

Chahna menelan ludah merasa tidak nyaman dengan suasana nya serta rasa tidak enak yang ia rasakan dari tubuhnya, ruangan itu hening untuk beberapa saat sampai akhirnya seseorang membuka pintu kayu itu. Chahna melihat seorang lelaki berambut ungu gelap dengan mata yang seperti anggur menatapnya dengan datar tanpa ekspresi, ia melangkah memasuki ruangan dengan bahu yang tegak dan pandangan yang penuh percaya diri, ialah Dhika Garasupati, tangan kanan dan orang terpercaya Yasa.

"Yang Mulia memanggil akan datang sebentar lagi, saya akan membantu anda untuk duduk di meja makan," katanya begitu tiba di samping ranjang Chahna.

Gadis itu sontak kaget tak percaya dengan yang ia dengar, baginya tidak ada alasan lain Yasa datang kecuali untuk menghukum nya. Ia mengangguk dan beranjak turun dari ranjang, dengan langkah yang goyah ia di tuntun ke meja makan yang telah di siapkan di dekat jendela ruangan itu. Dhika pamit dan pergi bersama tabib begitu para pelayan selesai meletakkan sajian makan malam di atas meja. Rasa lapar sudah menggerogoti tubuh nya yang lemah namun perasaan gugup yang ia rasakan karena takut bertemu dengan Yasa membuat nya tak berani menyentuh sebutir makanan pun. "Kira-kira untuk apa dia menemui ku? Aahhh...sudah jelas, pasti untuk menghukum ku," batinnya menunduk dan mengepal tangannya yang ada di atas pahanya.

Suara derit pintu terdengar, ia melirik sedikit ke arah pintu itu dan melihat seorang lelaki dengan jubah tanpa lengan bermotif kan batik serta selendang yang melingkari lengannya. Chahna berdiri dengan kaki gemetar dan sedikit goyah, ia menundukkan kepalanya dan memberi hormat kepada Yasa.

"Bagaimana keadaan mu?" Tanyanya dengan nada yang halus tapi entah kenapa membuat gadis itu ketakutan.

Kaki Chahna yang goyah membuatnya terjatuh dan tersungkur di lantai, ia masih menyatukan tangannya memberi hormat kepada pemuda itu meski mati rasa yang ia rasakan di kakinya itu sangat kuat. "S-saya sudah mendingan, Yang Mulia. S-saya..." Ia menelan ludah ketakutan saat melihat dari atas matanya kaki Yasa yang melangkah mendekat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!