Sudut Pandang Chahna: dunia novel

Aku duduk di pinggir danau tempatku tiba sebelumnya. Ku tatap bayanganku yang dipantulkan di air danau, wajah kecil yang lugu dan polos bagai anak berumur belasan tahun.

Setelah melihat berbagai keanehan, aku menyadari satu hal. Walau sulit dipercaya, tapi tak ada lagi yang dapat menjelaskan semua ini selain aku yang masuk ke dalam novelku.

Tubuhku yang menyusut menjadi anak belasan tahun sepertinya dikarenakan novel itu adalah novel ku 5 tahun lalu, ini artinya umurku 17 tahun. Dan orang yang mirip dengan ciri-ciri pemeran utama dalam novelku yang aku jumpai di taman kerajaan, dan penduduk yang memakai kebaya dan celana cawat. Sudah cukup menjelaskan itu semua.

"Jika ini novel...kenapa aku gak jadi pemeran utama wanita saja? Kenapa masih tetap diriku? Dan bagaimana aku bisa keluar dari sini?!!!" Teriakku lalu berdiri dan melihat ke sekeliling.

Kurasakan gelombang suara dari perutku, menandakan kalau para cacing telah kelaparan. Aku pun berjalan menyusuri jalan setapak sembari mencari buah-buahan di pepohonan, namun sepanjang jalan tidak ada satupun buah yang terdapat di pohon.

"Apa aku harus beli makanan dengan tenaga?" Gumamku bertanya saat tiba di desa. "Tidak ada pilihan lain, mari lakukan." Ucapku dengan penuh semangat lalu berjalan menuju warung makan.

Ku tawari tenagaku pada mereka tapi tak satupun dari mereka yang menerima tenagaku. Entah karena pakaianku yang membuat mereka ragu atau ada alasan lain, yang pasti aku sudah terlalu lelah sehingga mulai merasakan sakit di kelapaku.

Saat melanjutkan jalan mencari warung lain, terdengar suara teriakan dari belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang wanita tua yang terjatuh di tanah.

"Tolong, jangan!!!" Teriak wanita tua itu.

Secara reflek aku berlari ke arahnya dan membantunya berdiri. "Hei!!! Apa yang kalian lakukan?!!!" Tanyaku dengan nada tinggi berusaha menutupi ketakutanku.

Para ksatria itu berjalan ke hadapanku sambil tertawa cekikikan. "Hei, nona kecil. Kenapa anda marah? Kami hanya memberinya sedikit pelajaran," ucap salah seorang dari ksatria itu. Mereka kemudian kembali menghancurkan barang-barang di warung itu.

"Tuan!!!" Kutarik tangan salah seorang pemuda itu kemudian mendorongnya. "Anda tak bisa seenaknya saja!" Pekikku. Kulihat wajah mereka yang tampak kesal, mereka mengarahkan tombaknya ke depanku dan mengancam.

Aku menghela nafas kemudian melirik ke sekitar. "Ada apa, nona kecil? Bukankah wajar jika kami minta makanan gratis? Kami melindungi mereka semua dan berkorban nyawa," kata salah seorang ksatria yang mengarahkan tombaknya ke depan wajahku.

"Anda mungkin melindungi para sudra (rakyat jelata) dan para walyan (pedagang) tapi bukankah dengan ini anda juga seperti penjahat?" Tanyaku mencoba untuk tetap bertahan walau kaki ku telah gemetaran. Pemuda itu maju lebih dekat ke hadapanku lalu melirik ke orang-orang yang mulai menatap sinis mereka, ia kemudian mundur.

"Saya tak tahu siapa anda, tapi sepertinya...anda bukan berasal dari sini," katanya lalu pergi bersama yang lainnya. Perkataannya itu seolah ingin membuat orang-orang mencurigai ku dan melupakan yang mereka perbuat.

Aku melirik wanita tua yang berdiri di sana sambil memegangi pinggangnya. "Anda tidak apa-apa?" Tanyaku padanya sambil menopang tubuhnya menuju bangku kayu di dekatnya.

"Tidak apa-apa, nak." Ucapnya kemudian memegangi kepalanya. "Duh, Gusti. Bagaimana bisa saya memperbaiki semuanya…" keluhnya bergumam.

Aku yang masih berdiri di depannya berinisiatif untuk membantunya membereskan warung itu, wanita itu memegang tangan ku dan mengusapnya. "Terimakasih, nak. Maaf jika tadi saya tidak menolak anda," ucapnya pelan.

"Tidak perlu minta maaf, mbak. Saya paham kok," kataku.

Kami mulai membereskan warung itu dan membuang beberapa perabotan dan meja yang telah hancur. Telah beberapa menit berlalu, akhirnya kami selesai membereskan semuanya.

Aku duduk di atas bangku dengan wajah lesu sambil menahan lapar, walau tadi sudah makan gorengan tapi tetap saja cacing di perutku masih murka.

"Terimakasih banyak ya, nak. Nih mbak buatkan nasi uduk untukmu," kata wanita tua itu sambil meletakkan piring dan gelas di depanku. "Makanlah," sambungnya dengan suara yang lembut.

Kutatap sepiring nasi uduk itu dengan tatapan berbinar-binar, ku ucapkan terima kasih lalu melahap sepiring nasi uduk itu.

Wanita itu menatapku dengan sorot mata yang lembut, "nak, kamu sepertinya tidak berasal dari sini. Busanamu juga terlihat aneh," perkataannya membuat mataku terbelalak.

"Aaahhhh...iya, mbak. Saya bukan berasal dari sini, saya dari daerah lain," jawabku pelan. "Eeemmm...apa saya bisa bekerja disini, mbak? Anda bisa bayar saya dengan makanan saja," pintaku yang menatapnya dengan penuh harap.

Ia mengangguk kemudian mengelus rambut ku, kutatap wanita itu yang sangat ramah dengan mata berbinar. "Tentu saja, nak," ucapnya.

Aku tersenyum lebar, kurasa ini pertama kalinya rambutku dielus. Pipiku mulai merona akibat sensasi sentuhannya yang sangat lembut, mungkin begini perasaan seorang anak yang dielus kepalanya.

"Terimakasih, mbak. Saya akan ke sini pagi-pagi sekali," ujarku dengan penuh semangat. Ia tersenyum lembut lalu mengambil piringku dan membawanya ke dapur.

Dia kemudian kembali dengan bungkusan daun pisang di tangannya yang kemudian ia masukkan ke dalam kain batik yang dibentuk seperti tas. "Ini, nak. Untukmu. Saya sudah membungkus kan wajik dan lalapan sebagai rasa terima kasih saya," ucapnya dengan lembut. "Nama saya mbak sengi. Ngomong-ngomong, nak. Siapa namamu?" Tanyanya.

Aku menerima tas kain itu lalu menggantungkannya di pundakku. "Terimakasih, mbak." Ucapku. "Chahna Dhipa, mbak." jawabku kemudian pamit.

Ku langkahkan kakiku sambil menatap tas kain itu, perasaan haru mulai timbul di hatiku saat ku melangkah menuju danau.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!