Dea tak bisa berkata-kata lagi. Pandangannya mengikuti langkah Aska yang kini malah dengan seenak jidat masuknya ke dalam kamarnya. Sejak awal Dea tahu Aska berbahaya untuk hatinya, namun ia sekarang baru tahu jika laki-laki ini bukan hanya bahaya tapi juga gila.
"Sudah ada dua orang yang bilang aku gila hari ini. Emang ya jatuh cinta sama kamu itu buat aku gila"
Bukankah itu sebuah pengakuan? Dea tak habis pikir, mereka baru bertemu terhitung 4 kalinya kali ini tapi Aska sudah menyatakan perasaannya. Sebagai seorang selebritis memang ini bukanlah pertama kalinya ia mendapat pengakuan cinta, hanya saja biasanya hanya sekedar rasa kagum seorang fans kepada artisnya. Entah kenapa pengakuan Aska barusan tampak berbeda di telinganya.
Cengiran lebar seperti orang bodoh yang ditunjukan Aska tadi, malah membuat Dea merasa bahwa pengakuan itu tulus dalam hati.
"Anginnya kenceng. Kayanya mau turun hujan. Masuk angin kamu kalau masih berdiri di situ. Masuk"
Seperti kerbau yang di cocok hidungnya, atau mungkin karena efek terkejut, Dea manut begitu saja. Masuk ke kamar, menutup pintu yang menuju ke balkon, menutup tirai lalu mengekor Aska yang keluar dari kamar.
Seharusnya dirinya marah dan mengusir Aska sekarang karena Arin pasti akan kebakaran jenggot jika tahu Aska ada di apartemennya. Tapi, langkahnya malah menuju kulkas, mengambil jus jeruk dari sana lalu menuangankan ke dalam dua gelas. Setelah itu membawanya ke arah Aska yang tengah mematikan speaker hingga ruangan yang sebelumnya riuh kini tenang dalam sekejap.
"Jadi mau di rakit meja makannya?"
Dea mengangguk. Kemudian sadar dan langsung berdiri di depan Aska sebelum menyentuh kardus putih super besar yang memang diletakan di samping tv. Sebenarnya, apa niat laki-laki itu datang ke unitnya ketika matahari sudah nyaris menghilang seutuhnya?.
"Ini ngomong-ngomong ada urusan apa kamu ke sini?"
Aska yang sebelumnya bisa bernapas lega karena Dea begitu nurut tanpa banyak tanya apalagi menghalanginya masuk ke unit, menghela napasnya. Sedikit kesal karena Dea bisa secepat itu sadar dengan keadaan. Coba saja, kalau nggak sadar dan terus menurut seperti anjing punya Aldo, Aska yakin mereka bisa mengobrol seperti kemarin lagi.
Jari Aska menunjuk ke arah speaker "Itu. Suaranya kedengaran sampai luar. Kenceng banget. Banyak ibu-ibu yang gedor pintu kamu tadi, cuman kamu pasti nggak denger"
Dea menoleh ke arah pintu kemudian kembali menoleh ke arah Aska. Menatap laki-laki itu dengan dahi berkerut.
"Apartemen ini nggak semewah apartemen di Kuningan yang harganya fantastis De. Temboknya nggak kedap suara kaya yang di sana"
Dea menepuk jidatnya sendiri. Dulu setiap kali punya masalah, Dea terbiasa menyalakan musik begitu kencang di apartemennya karena temboknya memang kedap suara. Kebiasaan itu begitu melekat padanya hingga Dea lupa jika unitnya kali ini tak kedap udara seperti sebelumnya.
"Aku lupa. Ibu-ibu pada marah?"
Aska yang sejak tadi panik sendiri karena ada ucapannya yang salah, menarik senyumnya lalu mengangguk. Kenapa ia mengatakan apartemen di Kuningan seolah tahu sejak awal Dea tinggal di sana. Jika Dea menyadari kejanggalan pada ucapannya barusan, jelas wanita ini akan menganggapnya sebagai penguntit. Meski, ya.. Memang itu kebenarannya. Karena ide Bara, Aska mencari tahu semua tentang Dea, tak terkecuali dimana wanita ini tinggal sebelumnya.
"Marah-marah. Ada anak bayi di lantai bawah. Susah tidur katanya."
"Itu ibu-ibu tahu kalau aku yang tinggal di unit ini?"
Aska menggeleng. Syukurlah, Dea tak menyadari ucapannya barusan. "Kayanya nggak tahu"
Dea tampak menghela napasnya. Meneguk jus jeruk yang ada ditangan, Dea mengambil posisi duduk melantai di depan meja "Dulu pas Menteng suka muter lagi kenceng karena memang kedap suara. Jadi.. Tunggu"
Tangan Aska yang tengah membuka kotak meja makan sambil duduk melantai dekat Dea terhenti seketika. Satu kata yang terus terulang di kepalanya mati gue.
"Mau di rakit kan? Aku bantu. Anggap aja bayar segelas jus jeruk itu?" sebisa mungkin Aska mengalihkan pembicaraan. Matanya bahkan tak berani untuk menatap ke arah Dea yang kini mengerutkan dahinya dalam.
"Kok kamu tahu aku pernah tinggal di Menteng"
Jika ada Gema dan Bila, kedua orang itu pasti akan menertawakannya habis-habisan. Mampus kamu As.
"Kamu punya obeng? Pasti bakal banyak paku mur yang harus dipasang"
"Jangan ngalihin pembicaraan"
Aska tertegun saat Dea tiba-tiba menarik tubuhnya menghadap ke arah wanita itu. Jika saja Aska tak dalam posisi ketahuan menguntit seperti ini, tangan Dea yang ada di kedua pundaknya pasti akan membuat tubuh Aska gemetar saking geroginya. Tapi yang ada sekarang adalah rasa takut karena Dea menatapnya sambil memicingkan matanya.
"Jawab As. Kok kamu tahu aku pernah tinggal di menteng?"
"Itu.." ayo Aska mari berpikir cemerlang untuk menemukan alasan yang masuk akal "Itu, setahu ku banyak artis yang tinggal di situ" jawab Aska dengan cengiran. Dea mampu membuatnya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya hingga menggunakan segala cara untuk mendekati, namun juga bisa membuat dirinya takut setakut-takutnya.
"Ibu nya Sea juga tinggal di sana. Mbak Karin"
Saat nama itu tersebut, Dea buru-buru menurunkan tangannya. Meski kata Arin jika mbak Karin adalah single parents, namun bisa saja kan jika mbak Karin sebenarnya sudah menikah lagi tanpa sepengetahuan media. Atau bisa juga, Aska itu adalah pacar mbak Karin sekarang?.
Tak lagi duduk menghadap Aska, Dea menenggak sedikit jus lemonnya lalu hendak bangkit untuk mengambil obeng yang ada di laci. Namun, tubuhnya ditarik kembali duduk oleh tangan yang kini berbalik berada diatasi kedua pundaknya. Aska menatapnya dengan sebuah senyuman kecil yang tercipta. Tampan, Aska bisa menjadi selebritis jika bosan bekerja kantoran.
"Apa yang ada di kepala kamu itu nggak benar"
Tubuh Dea membeku seketika saat jarak wajah mereka begitu dekat, apalagi saat satu tangan Aska mengetuk dahinya pelan.
"Kalau ada yang ingin kamu tanyain ke aku. Tanya langsung aja ya. Kalau kamu nggak tanya, ya aku nggak akan menjelaskan. Tapi hal yang pasti adalah, apa yang kamu pikirkan sekarang tentang hal yang kamu lihat kemarin dan tadi pagi itu tidak benar. Kalau benar, aku nggak bakal coba deketin kamu begini. Apalagi sampai rela ngelewatin jalan sekecil itu buat nyebrang ke balkon kamar kamu biar kamu nggak diserbu sama ibu-ibu. Dan kalau hal itu benar, aku nggak mungkin nyatain perasaan aku sama kamu kaya tadi. Jadi, jangan pikir aneh-aneh ya. Mengerti?"
Entah sudah tersihir dengan kalimat panjang Aska yang terdengar begitu halus ditelingannya atau memang dirinya kini kerasukan hewan kerbau yang di cocok hidungnya, Dea menganggukkan kepalanya yang dibalas dengan senyuman tampan Aska. Bahkan saat Aska sudah kembali sibuk mengeluarkan bagian-bagian kursi yang hendak di rakit dari dalam kardus, Dea masih mematung di tempatnya. Merasa seperti berada di lokasi syuting dengan dialog pemeran lak-laki yang begitu menyejukkan hati.
"Jadi, kamu punya obeng atau nggak?"
"Hah?" oke, Dea pasti terlihat bloon sekarang. Hah hoh hah hoh.
...°°°...
***akan aku usahain double up juga malam ini. cuman jaraknya rada jauh ya. aku mau ngerjain yang lain dulu.
ayo ramaikan kolom komentar teman-teman. jempolnya tekan LIKE juga ya***.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments