"Tunggu deh mas. Mas bilang mau beli apartemen harga 4 M kan? Ini apartemen yang mas maksud? Bukannya di kawasan Kuningan? Bukan di Menteng?" Billa heran menatap gedung apartemen didepan nya ini. Kakaknya bilang dia mau membeli apartemen di kawasan kuningan dengan harga 4M untuk 1 unitnya. Kawasan kuningan yang dekat dengan SCBD, bukan dikawasan menteng dengan gedung apartemen yang sepertinya 1 unitnya tidak sampai menyentuh angka yang fantastis itu.
"Itu apartemen buat kamu, hadiah mas buat kamu, biar kamu semangat ngerjain maketnya dan cepet di wisuda. Mas butuh kamu di kantor"
Billa menahan tangan kakaknya yang hendak melangkah masuk ke gedung apartemen didepannya ini "Terus, ngapain kita ke sini?"
"Mas juga beli unit di sini. Buat studio" jawab Aska enteng. "Oh ya, yang di Kuningan yang ngurus pembelian Gema ya Bil. Dibeli atas nama kamu. Mas kirim nomor Gema ke kamu" Aska merogoh ponselnya lalu mengirimkan nomor Gema pada Billa "Telfon atau chat dia buat nanyain perkembangannya. Kalau nggak salah sih, besok bakal ketemu sama yang jual unit"
Berjalan kembali menuju dimana unitnya berada, Aska berserta Billa keluar dari lift dilantai 5. Meski tak semewah unit apartemen untuk adiknya, gedung apartemen ini terbilang masih amat sangat layak. Tak begitu buruk karena harganya pun menyentuh angka lebih dati 500 juta untuk setiap unitnya.
Menatap unit 434 didepannya, Aska tersenyum tipis. Lalu beralih pada unit 435 dan mulai memasukan kode akses hingga suara kunci otomatis pintu terbuka. Unit apartemen ini terdiri dari dua kamar. Aska tak akan mengisi unit ini dengan perabotan apapun. Biarkan ruang tengahnya kosong agar dirinya bisa lebih leluasa saat membuat maket di sana, atau membuka selebar mungkin kertas putih di sana dan Aska bisa mendesign dengan leluasa. Meski bisa menggunakan laptop, Aska terkadang rindu zaman-zaman kuliah dimana setiap harinya selalu dihadapkan dengan maket dan kertas super besar berisi rancangan bangunan.
"Walaupun tengahnya kosong. Kaka tetap perlu kulkas dan kompor buat masak, dan juga setidaknya harus ada 1 sofa di ruang tengah." saran Billa yang ikut masuk ke dalam.
Aska menganggukkan kepalanya. Sofa memang setidaknya harus ada satu. Tidak ada yang menebak kan, barang kali kedepannya akan ada tamu yang selalu berkunjung ke sini.
"Ngomong-ngomong, kakak udah izin sama mamah buat tinggal pisah?"
Aska menggeleng. Ini adalah satu tantangan lagi yang perlu Aska taklukkan. Meminta izin pada mamah jelas akan menjadi rintangan yang begitu terjal ke depannya. Setidaknya jika tak boleh benar-benar keluar dari rumah, Aska akan menginap di unit apartemennya setiap Sabtu dan Minggu.
***
"Meja rias nya taruh di sana pak"
"Piring itu taruh di rak bagian atas bu"
"Yang itu taruh di samping tv ya pak"
Pindahan kali ini benar-benar terkesan begitu singkat dan cepat, setelah bertemu dengan sosok laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah CEO dari agensi Alaska Entertainment yang ajaibnya menjadi pihak yang membeli unit apartemennya, Dea langsung memboyong semua barangnya ke unit yang baru. Sebenarnya Gema memberikan waktu 3 hari untuk mengosongkan unit, namun Dea enggan untuk berlama-lama menempati rumah yang bukan lagi miliknya. Lagi pula tak banyak barang yang ada di apartemen, jadi Dea hanya perlu membawa semuanya sekali dengan mobil kap tanpa perlu bolak-balik.
Mengenai rumah miliknya sendiri, entah kenapa Dea malas untuk menempatinya. Sudah tak ada wartawan yang berkemah lagi di sana, hanya saja minat untuk tinggal di sana benar-benar berkurang.
Menjualnya? Tidak mungkin, ia bisa dicincang abis oleh kakak laki-lakinya jika nekat menjual rumah itu.
"Iya pak gantung foto itu di atas tv ya pak"
Dea menoleh ke arah Arin yang masih sibuk dengan ponselnya. Kabar mengenai Dea yang keluar dari agensi ditambah foto Dea tadi pagi yang diambil diam-diam oleh wartawan saat Dea berada di agen properti kini tersebar luas. Entah serepot apa Arin yang kini menjawab panggilan namun terkadang juga membiarkannya begitu saja.
"Gue off in juga ini hp lama-lama" gerutu Arin. Meski sudah resmi tak lagi menjadi manager Dea, masih banyak sekali panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Mematikan ponselnya, Arin melipat lengan bajunya hingga siku.
"Oke. Sekarang gue bisa bantu apa buat lo?" tawar Arin.
Dea tersenyum. Menarik Arin ke sofa dan mendudukkan wanita itu di sana. "Nggak usah ngapa-ngapain, duduk aja. Lo udah bukan manager gue lagi"
"Tapi gue masih sahabat lo De"
Dea memiringkan kepalanya "Yakin mau diminta tolong sebagai sahabat?"
Arin tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya menggeleng lalu merebahkan badan nya. Jika sebagai manager maka permintaan tolongnya hanay sebatas layaknya ART, tapi jika sebagai sahabat bisa dipastikan dirinya akan kembali ke zaman belanda dimana kerja rodi di terapkan.
Tawa Dea menggema. Mengupas dua bungkus coklat berbentuk bulat lalu menyuapkan ke mulut Arin dan satunya masuk ke mulut sendiri. Mending tertawa saja sambil memakan coklat daripada menjadi gila karena jatuh miskin hanya dalam sekejap.
"Kayanya sebelah juga baru pindahan ya De. Gue liat banyak kardus kosong depan pintu unit 343"
Dea mengangguk. Ia juga sempat melihat tumpukan kardus itu, mungkin besok ia akan meninggalkan makanan di depan pintu sebagai awal perkenalan. Lagi pula gossip mengenai diri nya yang jatuh miskin sudah tersebar seantero negeri ini, Dea tak perlu menyembunyikan diri lagi.
"Mbak, mejanya mau saya rakit sekalian" bapak-bapak dari agensi jasa pindah rumah menginterupsi mereka sambil menunjuk kardus besar berisi bagian-bagian dari meja makan berbentuk bulat.
"Nggak usah pak. Besok biar saya rakit sendiri" tak ada job pekerjaan baik itu film, sinetron, maupun iklan. Dea harus punya aktifitas lainnya besok jika tak ingin mati karena bosan.
"Sudah dipindah semua ya mbak"
Dea berdiri, memberikan amplop berisi uang kepada bapak tadi. Meski jasa pindahan ini sudah Dea bayar di awal lewat perusahaan, Namun sudah sepatutnya Dea menambahkan sekedar untuk uang rokok.
"Terima kasih ya pak"
"Sama-sama mbak Dea. Kami pamit ya"
Mengantarkan para pekerja hingga pintu dan membungkuk sedikit saat mereka masuk ke dalam lift, tatapan Dea tertuju pada tumpukan kardus yang ada di unit yang berhadapan langsung dengan unit nya. Dilihat dari tumpukan kardus itu yang sepertinya kurang dari 10 kardus, Dea menebak jika penghuninya pasti bukan keluarga, tinggal sendiri setelah merantau jauh ke ibu kota. Baguslah jika seperti itu, setidaknya Dea tak memiliki tetangga rempong berbentuk ibu-ibu yang suka gossip sana gossip sini.
"Kayanya masih single sebelah"
"Kayanya. Baguslah, jadi gue nggak ngeri-ngeri sedap ninggalin lo sendiri"
Menutup pintu, Dea kembali berjalan menuju Arin yang kini sudah duduk sambil mengangkat ponsel Dea yang berdering tinggi-tinggi. Nama 'Raden Ajeng Purwaningsih' tertera di layar ponselnya.
Menarik napasnya dalam dan menghembuskan nya perlahan, Dea mengangkat panggilan itu.
"Nggih, Raden Ajeng Purwaningsih,"
Sedetik kemudian, Dea langsung menjauhkan ponselnya dari telinga.
"GOSSIP APA ITU DEA ALISKA RAHAYU!!!! PULANG KE SOLO SEKARANG!!!! ATAU MAMAH YANG BAKAL KE JAKARTA!!!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments