Menarik napasnya dalam dan menghembuskan nya perlahan, Dea mengangkat panggilan itu.
"Nggih, Raden Ajeng Purwaningsih,"
Sedetik kemudian, Dea langsung menjauhkan ponselnya dari telinga.
"GOSSIP APA ITU DEA ALISKA RAHAYU!!!! PULANG KE SOLO SEKARANG!!!! ATAU IBU YANG BAKAL KE JAKARTA!!!!"
Jika ada pertandingan teriak sambil ngomel-ngomel, ibu mungkin akan menjadi juara satunya. Percayalah dulu bahkan sampai sekarang tak akan ada yang percaya jika Dea yang memiliki ibu sosok ibu yang terlihat begitu anggun dimata orang karena memiliki garis keturunan keraton akan tetap mengomel dan marah-marah jika sudah berhadapan dengan anak-anak dan suaminya. Orang-orang malah menganggap Dea bak putri kayangan karena memiliki ibu anggun dengan kekayaan yang terbilang tak sedikit.
"DARI AWAL KAN IBU UDAH BILANG SAMA KAMU ARDIGO ITU NGGAK BAIK. SEKARANG KAMU DIKELUARIN DARI AGENSI YANG BAHKAN DIBANGUN OLEH JERIH PAYAH KAMU"
Dea menghela napasnya. Mengingat bagaimana dulu Ardigo Entertainment masih terbilang agensi kecil saat Dea pertama kali bergabung dan kini menjadi besar karena namannya, membuat Dea kembali tersulut emosi. Memang Ardigo itu tak tahu terima kasih sama sekali.
"JAWAB IBU DEA!! JANGAN DIAM AJA!!"
"Bu, Dea masih butuh telinga yang sehat untuk jadi aktris bu. Kalau ibu teriak mulu gimana Dea bisa jawab?"
Ada helaan yang terdengar dari sebrang sana. Saat yakin jika ibunya tak akan lagi marah-marah, Dea menyalakan loud speaker dan meletakan ponselnya di atas meja. Arin pamit pulang yang Dea jawab dengan lambaian tangan.
"Ini ibu udah diam, kok kamu masih nggak jawab mbak?"
"Sebentar bu, Arin pamit pulang"
"Arin pamit pulang ya tante"
"Oh iya nak gelis, hati-hati dijalan ya" suara lembut ibu terdengar yang membuat Dea memutar bola matanya malas. Nyonya Raden Kanjeng Purwaningsih itu memang luar biasa.
Begitu mengantar Arin sampai pintu. Dea kembali berjalan masuk dan duduk di atas sofa. Tatapannya menatap setiap kardus yang masih bertumpuk diruang tengah. Berbanding dengan unit apartemen miliknya sebelumnya, luas apartemen ini mungkin hanya ½ dari luas apartemen sebelumnya. Baguslah, setidaknya Dea bisa membersihkan unit ini sendiri tanpa perlu menyewa orang lain lagi seperti dulu.
"Nggak mau pulang aja ke Solo mbak? Lupain jadi aktris. Kerja di kantor bapak mbak"
Dea menggeleng. Mungkin beberapa bulan ke depan dirinya harus ikut casting dari satu film ke film lain untuk mendapatkan peran dan bisa kembali berakting. Menjadi peran pembantu pub sepertinya tak masalah bagi Dea selagi dirinya mencari agensi baru untuk tempat bernaung. Rasanya seperti kembali ke titik awal lagi.
"Nggak bu. Dea malu sama bapak. Lagi pula lama-lama beritanya juga akan tenggelam bu. Dea bisa balik lagi ke layar kaca"
"Berapa denda yang harus kamu bayar?"
Dea menghela napasnya. Arin pasti menceritakan hal ini pada ibu. Hidup sebagai anak satu-satunya perempuan di keluarga terkadang membuatnya tidak benar-benar bisa bebas meski sudah keluar dari rumah. Jika tak di awasi oleh kakak laki-laki nya pasti ibu menanyakan segala hal kepada Arin.
"Jual apartemen cukup untuk nutup denda, jadi sek—" ucapan Dea terjeda saat merasa ada sesuatu yang melintas di sisi kanannya. Menoleh ke arah kanan tak ada apapun yang Dea temukan. Jangan bilang unit ini berhantu?.
"Kenapa mbak?"
Mungkin Dea hanya salah lihat, kembali fokus bertelefon dengan ibu, Dea mengangkat kedua kakinya naik ke kursi. "Nggak kenapa-kenapa bu"
"Kamu sampai jual apartemen mbak? Terus sekarang tinggal di mana?"
"Di daerah Menteng bu" sejujurnya jika meminta uang pada ibu untuk membayar denda, Dea pasti akan mendapatkannya tanpa perlu sampai menjual apartemen. Hanya saja, sejak keluar dari rumah yang sukses membuat bapak marah besar, Dea memutuskan untuk tak meminta sepeserpun uang dari rumah.
"Pulang ke Solo mbak. Lepasin karir kamu. Kerja di kantor bapak, sekalian mau ibu kenalin sama anak temen ibu. Umur kamu nggak muda lagi untuk mengejar karir nggak tentu seperti itu"
Tubuh Dea tegang seketika saat merasakan sesuatu baru saja terbang melintasnya. Ucapan ibu yang biasanya selalu ia sanggah saat mulai membicarakan perjodohan kini dibiarkan begitu saja. Fokus Dea benar-benar teralihkan dengan benda yang barusan terbang melintasinya.
"Mbak. Kamu dengerin ibu nggak sih?"
Mengambil sapu yang berada tak jauh darinya. Dea turun dari sofa sambil memeluk erat sapu ditangannya. Matanya mulai menelisik setiap sisi ruangan. Sungguh, satu yanga Dea harapkan, yang terbang barusan bukan makhluk hidup yang memiliki banyak musuh dikalangan manusia. Apalagi jika sudah terbang, semua orang pasti akan menjerit ketakutan.
"Mbak?"
Sama sekali tak memperdulikan ibunya, mata Dea masih meneliti semua benda di depannya. Dan saat sesuatu kembali terbang melintasinya, Dea langsung berjongkok dengan pekikan kerasnya "Akhhh"
"Mbak?"
Benar saja. Satu makhluk hidup yang tak mengalami metamorfosis sempurna itu tengah hinggap di atas tv baru miliknya. Dea waspada saat hewan bernama kecoa itu tampak ingin terbang sekali.
Dipukul pakai sapu? Oh tentu saja, itu adalah rencana terburuk bagi seorang Dea Aliska Rahayu. Rencana terbaiknya adalah kabur keluar dari rumah sekarang.
Satu, dua, tiga. Saat kecoa itu benar-benar kembali terbang Dea memekik sejadi-jadinya sambil berlari keluar dari rumahnya.
"Ibukkkkk kecoaaaa" pekikan panjang yang disambut dengan panggilan ibu yang diputus sepihak.
Begitu sampai di luar rumah, cepat-cepat Dea menutup pintu unitnya rapat-rapat. Bukan hanya satu kecoa, tapi ternyata ada dua kecoa yang sepertinya hendak untuk kawin itu.
"Mbak Dea?"
Dengan napas yang tersengal-sengal dan kaki yang sudah lemas, Dea tak peduli dengan lingkungan sekitar, dirinya duduk melantai dengan tangan yang masih memegang gagang pintu unitnya. Kepalanya menunduk dalam untuk menyembunyikan wajahnya. Dea memang ingin menyapa para tetangganya nanti, tapi tidak sekarang dimana gosipnya tengah panas-panasnya.
Apalagi berita tentang dirinya yang akan ia lihat besok pagi?
Dea Aliska Rahayu pindah apartemen dan panik ada kecoa di rumahnya.
"Dea?"
Sungguh Dea benar-benar tak ingin mengangkat kepalanya sekarang. Namun mau tak mau kepala Dea terangkat sedikit sambil tersenyum. Tak benar-benar membuat kontak mata dengan tentangannya ini.
"Pindah ke sini? Kebetulan sekali saya juga baru pindah. Tiga kali bertemu, itu berati memang kita berjodoh"
Mendengar suara tawa yang kini terasa sedikit familiar, Dea mengangkat kepala sepenuhnya guna melihat siapa yang bicara dengannya sekarang. Dan dugaannya benar. Dia Alaska.
"Kamu?" dahi Dea berkerut dalam. Jarinya menunjuk ke unit 435 yang langsung mendapat anggukkan dari Aska. Entah memang dunia yang begitu sempit atau memang Aska yang mengikutinya hingga ke sini. Nggak mungkin kan, seorang direktur dari perusahaan besar tinggal dikawasan ini?.
"Kita tetangganya mbak"
"Kamu ngikutin saya ya?" tebak Dea. Dia benar-benar harus waspada sekarang. Meski kemarin Aska berkata dia bukan suruhan Ardigo ataupun Ria, Dea tak boleh langsung percaya begitu saja. Bisa saja Aska berbohong sekarang.
"Saya sudah 2 hari ini tinggal di sini" jawabnya.
Dea masih menyipitkan matanya. Rasanya dunia terlalu kecil jika mereka benar-benar bertemu lagi hanya karena sebuah kebetulan.
"Ngomong-ngomong kamu nggak kenapa-kenapa? Duduk dilantai dan berkeringat seperti itu"
Seakan baru sadar dengan posisinya sekarang, Dea langsung berdiri dan merapihkan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Memang kecoa sialan.
"Nggak kenapa-kenapa" bohong. Dea nyaris pingsan sekarang karena bingung akan tidur dimana malam ini. Dompet, kunci mobil bahkan sampai ponselnya ada di dalam semua.
"Oh ya sudah. Kalau gitu saya permisi ya mbak"
Tunggu.
Dea benar-benar ingin mengatakan itu sekarang. Tapi barusan dia baru saja menunduh Aska menguntitnya hingga ke sini, rasanya akan sangat memalukan jika dia meminta bantuan sekarang.
Tapi balik lagi, semua barang yang bisa menyelamatkannya malam ini ada di dalam rumah. Dea tak bisa menghubungi siapapun, bahkan sampai Arin sekalipun.
Saat Aska menoleh ke arahnya sambil tersenyum hendak berpamitan masuk ke dalam rumah, Dea mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi "Permisi" oke. Dia seperti anak murid yang hendak bertanya pada gurunya.
"Boleh minta bantuan?" Dea bisa melihat Aska kembali menutup pintu unitnya dan berjalan mendekat. Tentu saja mendekat, karena Dea berkata dengan suara lirih nyaris berbisik saking malunya.
"Iya, kenapa De?"
"Boleh minta tolong" ulang Dea. De? Aska memanggilnya De? Sok akrab sekali.
"Kenapa?"
Dea menghela napasnya lega. "Ada kecoa di dalam. 2. Lagi mau kawin. Pada terbang kejar-kejaran macam remaja aja tarik ulur" Dea bisa melihat Aska tersenyum sekarang.
Bagian mana dari kalimatnya yang lucu?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Upnya kurang malam bu.. hehe maaf kan ya.
ayo ramaikan biar aku rajin up nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments