Rahim Impian
10 tahun sudah berlalu sejak aku berganti status menjadi seorang istri. Aku menatap penuh harap sebuah tespect yang baru digunakan 5 menit yang lalu, berharap dua semburat biru muncul dari sana. Napasku tertahan menantikannya, jantung pun berdebar-debar seperti saat diberikan surat cinta untuk pertama kali di bangku SMA. Namun, selang beberapa menit hanya 1 garis lurus yang terpampang nyata, meleburkan semua angan dan harapanku selama 7 tahun penantian. Entah sudah keberapa tespect yang aku lempar ke dalam tong sampah. Memberikan sesak yang memaksaku untuk menitikkan air mata, keseharian baru selain buang air besar di toilet.
“Gagal lagi?”
Aku baru saja keluar dari ratapan, saat ucapan tersebut meluncur mulus mencemoohku. Aku diam tidak menimpali. Sikap pria itu sangat berbeda dari 10 tahun yang lalu, sebelum aku mengabdikan hidupku padanya. Melepaskan semua impianku saat masih menjadi seorang guru di sebuah taman kana-kanak.
Apa aku menyesal? Jika boleh aku ingin melakukannya. Aku ingin berteriak, mengapa hidupku menjadi seperti ini? Kata orang jika ingin memiliki anak, aku harus beristirahat total. Tidak boleh bekerja agar tidak lelah, tapi yang ada rasanya lebih letih dari pada dulu aku bekerja. Letih dengan sikap meremehkan dirinya yang seharusnya memberikan aku semangat. Aku menjadi semakin tidak berguna dan ia sangat menyukai aku yang seperti itu. Menjadi pecundang.
“Aku tidak percaya harus masturbasi di pagi hari!” keluh Andre suamiku sambil memberikan sebuah tube kecil.
“Ini untuk Inseminasi,” jawabku pelan.
“Lakukanlah, karena jelas benihku baik-baik saja. Tidak kah kamu merasa jika semua karena dirimu yang tidak kompeten?” aku sudah terbiasa dengan segala ucapannya yang menusuk.
“Bagaimana jika kita melihatnya bersama-sama,” tawarku.
Setidaknya jika seorang ahli yang berbicara aku akan menerimanya dengan lapang, dari pada terus menerka dan menebak karena akhirnya aku lagi yang harus menjadi kambing hitam.
“Kau lupa jika aku sibuk bekerja? Semua karena aku harus menghidupimu. Menghidupi keluarga ini,” tambahnya membuatku bungkam seketika.
“Aku berangkat!”
BLAM
Pintu tertutup dengan keras, aku mengelus dadaku yang bergemuruh.
Di matanyanya aku hanya seorang pengangguran yang tidak bisa melahirkan anak, lalu apa lagi yang bisa aku banggakan?
***
Aku memegang erat tas yang terdapat tube berisi benih Mas Andre, pikiranku menerawang hingga kereta yang kutumpangi berhenti di salah satu stasiun. Aku melihat seorang wanita hamil yang berjalan mendekatiku kemudian ia duduk bersebelahan denganku. Di antara banyaknya kursi kosong, mengapa harus di sampingku? Aku merasa ditertawakan oleh kenyataan.
Segera aku menuruni kereta saat sampai ke stasiun yang kutuju. Aku menatap nanar tube tersebut lalu membuangnya ke tong sampah. Aku tidak ingin memakai cara ini, membuatku semakin tidak berharga karena hanya aku yang berjuang.
Kakiku melangkah ke rumah sakit tempat aku melakukan program kehamilan serta yang menyarankan dilakukannya Inseminasi.
Inseminasi adalah teknik reproduksi buatan yang bertujuan untuk membantu ****** mencapai rahim/saluran indung telur dengan memasukkan ****** secara langsung ke dalam rahim/saluran indung telur pada masa ovulasi wanita, melalui katater kecil, sehingga membantu terjadinya pembuahan yang berujung kehamilan.
“Dengan Nona Keysha Geraldine?”
“Saya, Sus!”
“Mari masuk ke ruang pemeriksaan!”
Aku mengikuti perawat yang menuntunku menuju sebuah ruang serba putih dengan bau khasnya. Bau-bauan steril seperti karbol dan obat-obatan. Di sana aku dipersilahkan untuk berbaring dan merentangkan kedua pahaku agar terbuka lebar. Beruntung dokter yang menanganiku adalah seorang wanita hingga aku tidak begitu malu ketika organ intimku di perlakukan layaknya onderdil di sebuah bengkel motor.
“Apa Anda membawa yang saya minta?”
“Maafkan saya Dokter, suami saya kebetulan sedang dinas luar hingga tidak bisa memberikan spermanya.” Aku berkilah.
Pemeriksaan pun selesai, dokter itu menuliskan sesuatu di selembar kertas yang tidak asing bagiku.
“Besok sampai beberapa hari ke depan adalah waktu subur Anda. Kapan suami Anda akan pulang dari dinasnya?”
Aku tersentak ditanya seperti itu karena sejak tadi aku terus termenung. “Kira-kira nanti malam, Dok!”
“Bagus, lakukanlah hubungan suami istri saat suami Anda sudah ada di rumah, setelah itu Anda bisa kembali lagi untuk memeriksa perkembangannya.”
“Baik, Dok!”
“Ini beberapa resep vitamin untuk menunjang vitalitas Anda.”
“Terima kasih, Dok!”
Aku keluar dari ruang pemeriksaan dan melihat daftar vitamin yang harus aku tebus. Setelah menebus obat aku harus segera pulang, tapi entah mengapa aku enggan untuk kembali ke tempat yang hanya membuatku sesak. Di sana hanya ada kenangan buruk tentang dirinya yang akan kembali memandangku dengan dingin, memperlakukan aku seperti orang lain.
Aku menghela napas lelah, dan menengadah menghadap langit-langit rumah sakit. Memejamkan mata sejenak menikmati keramaian lewat indera pendengaranku. Sebentar saja, aku ingin lebih lama di sini.
Beberapa menit berlalu, aku sudah mengumpulkan sedikit energi untuk kembali pada kenyataan. Aku mencoba menghibur diri dengan kemungkinan nanti malam. Semoga kami bisa saling menghangatkan, sebuah kegiatan yang sudah lama tidak kami lakukan. Satu tahun yang lalu, kami masih melakukannya meski hanya sebulan sekali, tapi sekarang hampir 4 bulan berlalu dia tidak juga menyentuhku.
Jika melihat dari itensitas hubungan kami. Rasanya wajar jika kami tidak kunjung mendapatkan momongan. Alasan lelah karena bekerja membuatku tidak berani berharap banyak atau memaksa. Mas Andre paling tidak suka dibantah, dan aku berusaha mengimbanginya dengan diam tanpa berkomentar. Karena jika aku memberikan respon hanya pertengkaran yang akan terjadi.
“Kali ini mungkin aku akan merayunya,” gumamku saat menebus resep. Aku berjalan tanpa melihat ke depan hingga tanpa sengaja menabrak seseorang.
BRUK!
Obat-obatanku terjatuh, aku segera memungutinya, dan yang aku tabrak itu ikut membantuku.
“Maafkan saya!”
“Tidak apa-apa, saya yang salah,” ucapku maklum dengan sedikit malu. Kami pun berpapasan dan saling menatap.
Orang itu ternyata seorang pria tampan dengan stelan rapi. Aku langsung memalingkan muka dan mengambil obat yang ia ulurkan padaku. Di saat yang bersamaan seorang wanita cantik dan modis menghampiri pria itu.
“Ada apa, sayang?”
“Ini, aku menabrak orang,” sahut sang pria.
Ternyata mereka pasangan suami istri, sungguh pemandangan yang menyejukkan hati. Andai Mas Andre seperti pria itu, menemaniku memeriksakan diri. Aku tersenyum miris.
“Oh, tidak luka ‘kan?” tanya istri pria tersebut dengan menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tatapannya membuatku tidak nyaman.
Aku menggeleng sungkan. “Saya tidak apa-apa!”
“Baiklah kalau begitu, ayo sayang! Giliran kita sudah dipanggil!” serunya menarik suaminya.
“Begitu ya, ya sudah.” Pria itu menoleh pada sang istri kemudian kembali beralih padaku. “Sekali lagi saya minta maaf, permisi.”
Aku mengangguk dan pasangan itu pun pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Astri Tri
aku mampirr ia
2023-05-11
1
Ria Vtria
aku mampir k,,, semangat ya
2023-03-29
1
Erni Handayani
Aku mampir ya thor🙏💕
2023-03-29
1