10 tahun sudah berlalu sejak aku berganti status menjadi seorang istri. Aku menatap penuh harap sebuah tespect yang baru digunakan 5 menit yang lalu, berharap dua semburat biru muncul dari sana. Napasku tertahan menantikannya, jantung pun berdebar-debar seperti saat diberikan surat cinta untuk pertama kali di bangku SMA. Namun, selang beberapa menit hanya 1 garis lurus yang terpampang nyata, meleburkan semua angan dan harapanku selama 7 tahun penantian. Entah sudah keberapa tespect yang aku lempar ke dalam tong sampah. Memberikan sesak yang memaksaku untuk menitikkan air mata, keseharian baru selain buang air besar di toilet.
“Gagal lagi?”
Aku baru saja keluar dari ratapan, saat ucapan tersebut meluncur mulus mencemoohku. Aku diam tidak menimpali. Sikap pria itu sangat berbeda dari 10 tahun yang lalu, sebelum aku mengabdikan hidupku padanya. Melepaskan semua impianku saat masih menjadi seorang guru di sebuah taman kana-kanak.
Apa aku menyesal? Jika boleh aku ingin melakukannya. Aku ingin berteriak, mengapa hidupku menjadi seperti ini? Kata orang jika ingin memiliki anak, aku harus beristirahat total. Tidak boleh bekerja agar tidak lelah, tapi yang ada rasanya lebih letih dari pada dulu aku bekerja. Letih dengan sikap meremehkan dirinya yang seharusnya memberikan aku semangat. Aku menjadi semakin tidak berguna dan ia sangat menyukai aku yang seperti itu. Menjadi pecundang.
“Aku tidak percaya harus masturbasi di pagi hari!” keluh Andre suamiku sambil memberikan sebuah tube kecil.
“Ini untuk Inseminasi,” jawabku pelan.
“Lakukanlah, karena jelas benihku baik-baik saja. Tidak kah kamu merasa jika semua karena dirimu yang tidak kompeten?” aku sudah terbiasa dengan segala ucapannya yang menusuk.
“Bagaimana jika kita melihatnya bersama-sama,” tawarku.
Setidaknya jika seorang ahli yang berbicara aku akan menerimanya dengan lapang, dari pada terus menerka dan menebak karena akhirnya aku lagi yang harus menjadi kambing hitam.
“Kau lupa jika aku sibuk bekerja? Semua karena aku harus menghidupimu. Menghidupi keluarga ini,” tambahnya membuatku bungkam seketika.
“Aku berangkat!”
BLAM
Pintu tertutup dengan keras, aku mengelus dadaku yang bergemuruh.
Di matanyanya aku hanya seorang pengangguran yang tidak bisa melahirkan anak, lalu apa lagi yang bisa aku banggakan?
***
Aku memegang erat tas yang terdapat tube berisi benih Mas Andre, pikiranku menerawang hingga kereta yang kutumpangi berhenti di salah satu stasiun. Aku melihat seorang wanita hamil yang berjalan mendekatiku kemudian ia duduk bersebelahan denganku. Di antara banyaknya kursi kosong, mengapa harus di sampingku? Aku merasa ditertawakan oleh kenyataan.
Segera aku menuruni kereta saat sampai ke stasiun yang kutuju. Aku menatap nanar tube tersebut lalu membuangnya ke tong sampah. Aku tidak ingin memakai cara ini, membuatku semakin tidak berharga karena hanya aku yang berjuang.
Kakiku melangkah ke rumah sakit tempat aku melakukan program kehamilan serta yang menyarankan dilakukannya Inseminasi.
Inseminasi adalah teknik reproduksi buatan yang bertujuan untuk membantu ****** mencapai rahim/saluran indung telur dengan memasukkan ****** secara langsung ke dalam rahim/saluran indung telur pada masa ovulasi wanita, melalui katater kecil, sehingga membantu terjadinya pembuahan yang berujung kehamilan.
“Dengan Nona Keysha Geraldine?”
“Saya, Sus!”
“Mari masuk ke ruang pemeriksaan!”
Aku mengikuti perawat yang menuntunku menuju sebuah ruang serba putih dengan bau khasnya. Bau-bauan steril seperti karbol dan obat-obatan. Di sana aku dipersilahkan untuk berbaring dan merentangkan kedua pahaku agar terbuka lebar. Beruntung dokter yang menanganiku adalah seorang wanita hingga aku tidak begitu malu ketika organ intimku di perlakukan layaknya onderdil di sebuah bengkel motor.
“Apa Anda membawa yang saya minta?”
“Maafkan saya Dokter, suami saya kebetulan sedang dinas luar hingga tidak bisa memberikan spermanya.” Aku berkilah.
Pemeriksaan pun selesai, dokter itu menuliskan sesuatu di selembar kertas yang tidak asing bagiku.
“Besok sampai beberapa hari ke depan adalah waktu subur Anda. Kapan suami Anda akan pulang dari dinasnya?”
Aku tersentak ditanya seperti itu karena sejak tadi aku terus termenung. “Kira-kira nanti malam, Dok!”
“Bagus, lakukanlah hubungan suami istri saat suami Anda sudah ada di rumah, setelah itu Anda bisa kembali lagi untuk memeriksa perkembangannya.”
“Baik, Dok!”
“Ini beberapa resep vitamin untuk menunjang vitalitas Anda.”
“Terima kasih, Dok!”
Aku keluar dari ruang pemeriksaan dan melihat daftar vitamin yang harus aku tebus. Setelah menebus obat aku harus segera pulang, tapi entah mengapa aku enggan untuk kembali ke tempat yang hanya membuatku sesak. Di sana hanya ada kenangan buruk tentang dirinya yang akan kembali memandangku dengan dingin, memperlakukan aku seperti orang lain.
Aku menghela napas lelah, dan menengadah menghadap langit-langit rumah sakit. Memejamkan mata sejenak menikmati keramaian lewat indera pendengaranku. Sebentar saja, aku ingin lebih lama di sini.
Beberapa menit berlalu, aku sudah mengumpulkan sedikit energi untuk kembali pada kenyataan. Aku mencoba menghibur diri dengan kemungkinan nanti malam. Semoga kami bisa saling menghangatkan, sebuah kegiatan yang sudah lama tidak kami lakukan. Satu tahun yang lalu, kami masih melakukannya meski hanya sebulan sekali, tapi sekarang hampir 4 bulan berlalu dia tidak juga menyentuhku.
Jika melihat dari itensitas hubungan kami. Rasanya wajar jika kami tidak kunjung mendapatkan momongan. Alasan lelah karena bekerja membuatku tidak berani berharap banyak atau memaksa. Mas Andre paling tidak suka dibantah, dan aku berusaha mengimbanginya dengan diam tanpa berkomentar. Karena jika aku memberikan respon hanya pertengkaran yang akan terjadi.
“Kali ini mungkin aku akan merayunya,” gumamku saat menebus resep. Aku berjalan tanpa melihat ke depan hingga tanpa sengaja menabrak seseorang.
BRUK!
Obat-obatanku terjatuh, aku segera memungutinya, dan yang aku tabrak itu ikut membantuku.
“Maafkan saya!”
“Tidak apa-apa, saya yang salah,” ucapku maklum dengan sedikit malu. Kami pun berpapasan dan saling menatap.
Orang itu ternyata seorang pria tampan dengan stelan rapi. Aku langsung memalingkan muka dan mengambil obat yang ia ulurkan padaku. Di saat yang bersamaan seorang wanita cantik dan modis menghampiri pria itu.
“Ada apa, sayang?”
“Ini, aku menabrak orang,” sahut sang pria.
Ternyata mereka pasangan suami istri, sungguh pemandangan yang menyejukkan hati. Andai Mas Andre seperti pria itu, menemaniku memeriksakan diri. Aku tersenyum miris.
“Oh, tidak luka ‘kan?” tanya istri pria tersebut dengan menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tatapannya membuatku tidak nyaman.
Aku menggeleng sungkan. “Saya tidak apa-apa!”
“Baiklah kalau begitu, ayo sayang! Giliran kita sudah dipanggil!” serunya menarik suaminya.
“Begitu ya, ya sudah.” Pria itu menoleh pada sang istri kemudian kembali beralih padaku. “Sekali lagi saya minta maaf, permisi.”
Aku mengangguk dan pasangan itu pun pergi.
“Haris Bintara,” gumamku membaca nama yang tertera pada kartu karyawan itu. Ternyata pria itu seorang konsultan di sebuah Bank swasta. Aku melihat ke arah pintu ruang pemeriksaan.
“Apa sebaiknya aku menunggu mereka sampai ke luar?”
Melirik jam yang terdapat pada dinding ruangan, menunjukkan pukul 16.00 di mana Mas Andre akan segera pulang ke rumah.
Sementara, aku belum menyiapkan makan malam. Karena waktu yang mendesak, akhirnya aku memilih untuk pulang terlebih dulu. Mungkin, esok aku akan mengembalikannya.
***
“Kau bilang apa?! Samplenya hilang? Apa kamu bodoh?!” pekik Mas Andre saat aku bilang jika sample benihnya telah hilang. Padahal aku sengaja membuangnya.
Aku diam dengan terus mengunyah makanan yang ada di mulut. Mas Andre mengambil sekaleng softdrink dan membukanya.
“Kau benar-benar membuang waktuku yang berharga, semua sia-sia!”
Mas Andre menenggak minumannya dengan terus menggerutu. “Kenapa kamu selalu ceroboh? Tidak bisakah melakukan hal yang benar?”
“Maafkan aku,” jawabku pelan.
“Berapa banyak hari ini?”
“Hari ini tidak begitu banyak yang datang, jadi-“
“Tidak, maksudku berapa banyak uang yang kau keluarkan?”
Aku pikir dia menanyakan jumlah pasien yang datang. “500 ribu, konsultasi dan vitamin.”
Mas Andre menghela napas panjang. “Untuk sesuatu yang tidak setimpal, mereka meminta terlalu banyak. Ini namanya perampokan!”
Aku menelan makanan dengan serat. Di matanya hanya ada untung-rugi. Padahal ini untuk kebaikan bersama. Di mana-mana namanya memakai jasa spesialis tentu akan merogoh kocek yang cukup dalam.
Pembicaraan kami tidak terlalu bagus, tapi kalau tidak memulainya Mas Andre pasti akan langsung tidur cepat. Aku mengingat hal yang harus kami lakukan malam ini. Kegiatan suami istri.
“Uhm, dokter bilang hari ini adalah masa suburku … bisakah malam ini kita melakukannya?”
Aku mengumpulkan keberanian menahan malu mengungkapkan maksud, tapi apa yang kudapat? Sebuah ******* lelah Mas Andre berhasil membuat hatiku terhempas ke dasar jurang. Apa segitu melelahkan? Apa sangat membebani?
Aku tidak berbicara lagi setelah mendapatkan respon seperti itu. Kami meneruskan ritual makan yang terasa sangat lama dan membosankan. Saling diam hingga Mas Andre selesai lalu memasuki kamar. Aku merapikan bekas makan dan mencucinya. Secepat mungkin membereskan tugasku untuk menyusul Mas Andre.
“Mas, kamu sudah tidur?” tanyaku saat memasuki kamar lalu menaiki ranjang. Mas Andre sedang berbaring memunggungiku.
“Aku belum tidur. Cepatlah! Buka bajumu, karena aku harus bangun pagi-pagi besok!”
Aku tersentak mendengar perintah Mas Andre. “Maksudnya kita langsung? Itu akan menyakitkan, tidak bisakah Mas melakukan pemanasan terlebih dahulu?”
Mas Andre menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Entah pergi ke mana senyuman yang dulu selalu ia berikan padaku. Mungkinkah karena waktu yang telah terbuang? Penantian membuatnya bosan. Padahal bukan hanya dirinya, aku pun lelah.
Tanpa sadar aku mencontohnya. Sangat sulit untuk menarik setiap sudut bibir hingga terasa kaku.
“Kalau begitu pemanasan saja sendiri, bangunkan aku ketika kamu sudah basah.”
Aku memandangnya dengan tidak percaya, bisa-bisanya ia menyuruhku untuk merangsang diri sendiri? Memangnya aku gadis kemarin sore? Aku ini istri yang mempunyai suami.
“Aku sudah terlalu lelah dengan drama di kantor jadi, tolong berikan aku sedikit udara untuk bernapas!” tambahnya dan kembali memunggungi ku.
Aku mengepalkan tangan yang gemetaran, rasanya sangat sesak. Dia meminta udara untuk bernapas seolah tidak ada oksigen di rumah ini. Apa dia tau jika aku pun sangat sulit untuk melakukannya? Ibarat penyakit aku sudah dalam keadaan kronis.
***
Akhirnya aku melakukan hal yang diperintahkan Mas Andre, merangsang diri sendiri dengan menonton film melalui internet. Aku berusaha dengan sekuat tenaga agar bisa terpancing birahi, tapi percuma. Aku tidak kunjung basah. Menatap pasrah ponsel yang menayangkan berbagai adegan panas. Sama sekali tidak mempengaruhiku.
Ini tidak bisa dibiarkan, hanya membuang waktu saja. Aku membalik badan dan menggoyang bahu Mas Andre.
“Mas, aku tidak bisa. Ya sudah, tidak masalah jika harus kesakitan. Yang penting kita harus tetap melakukannya, karena sekarang adalah masa suburku.”
Mas Andre tidak menjawab. Ia memilih mendengkur menuju ke dunia mimpi. Aku melepaskan pakaian dengan kesal. Turun dari ranjang dan meniti diri di depan cermin.
“Apa Mas Andre sudah tidak tertarik dengan tubuhku lagi?” gumamku mengoyak hati.
Tanpa sadar air mataku menetes, padahal aku tidak ingin menangis. Aku mengusap jejak tangis itu sambil tersenyum kemudian terkikik geli.
“Apa yang aku tangisi? Aku sama sekali tidak sedih karena, sudah biasa seperti ini.”
Anehnya, air mata malah terus mengalir membuatku terisak, tubuh pun gemetaran.
‘Aku berusaha kuat, tapi sampai kapan?’ Aku luruh ke lantai dan memeluk diri dalam kedinginan.
***
Keesokan harinya aku terbangun dengan wajah sembab, apa Mas Andre menyadari atau sekedar menanyakannya? Jawabannya adalah tidak. Ia sarapan sambil menatap layar ponsel. Seolah kami berada di dunia berbeda, dunia yang tidak bisa aku gapai.
Setelah selesai sarapan pun dia sama sekali tidak melihat padaku. Tidak ada rasa bersalah telah meninggalkanku tidur semalam dan tidak mengungkit masa ovulasiku. Ia segera bersiap-siap untuk pergi bekerja.
“Aku akan pulang agak malam,” ucapnya mengambil tas kantor lalu menghilang dari balik pintu tanpa menunggu aku mengucapkan sepatah kata pun.
Aku menarik nafas berusaha mengendalikan diri. “Mungkin Mas Andre memang sedang terburu-buru,” batinku.
Masih banyak yang harus aku lakukan dibandingkan memikirkan sikapnya. Mencoba berpikir positif untuk mengembalikan moodku pagi ini.
Aku membersihkan diri lalu berpakaian, saat ingin berdadan tanpa sengaja menyenggol tasku yang ada di meja rias. Dari dalam tas itu terdapat sebuah kartu karyawan. Aku pun memekik karena sempat melupakannya.
“Ya ampun, aku harus mengembalikannya!”
Secepat mungkin aku menyelesaikan ritual dandan yang sempat tertunda kemudian pergi menuju alamat yang tertera di kartu tersebut.
Selang beberapa saat aku sampai di depan sebuah gedung bertingkat yang menjulang layaknya mercusuar. Sangat tinggi, aku sampai tidak bisa menghitung banyaknya lantai yang ada di gedung itu.
Bangunan tersebut memiliki banyak perusahaan di dalamnya. Karena memang disewakan di setiap lantainya. Dan, aku tidak tahu lantai berapa perusahaan pemilik kartu tersebut.
Tidak mau tersasar tidak jelas, aku berinisiatif untuk bertanya pada bagian recepsionist.
“Ehm, permisi ….”
“Itu kartuku!”
Aku menoleh pada asal suara, pria tampan yang pernah aku temui berbinar ketika aku menyerahkan kartunya.
“Terima kasih banyak! Aku hampir dinyatakan bolos karena kartu itu.”
Aku melebarkan mata karena merasa bersalah. “Maaf, seharusnya saya mengembalikannya kemarin, tapi-“
“Tidak apa-apa, yang penting kartu ini sudah kembali,” selanya maklum.
Aku mengangguk dengan senyum lega.
“Ngomong-ngomong Anda menemukannya di mana?”
“Di rumah sakit, di poli kandungan,” ucapku membuat pipi pria itu merah.
“Anda benar-benar dewi penolongku,” ucap pria yang bernama Haris. Ia terus memuji hingga membuatku malu.
“Saya tidak melakukan apa pun, hanya mengembalikan kartu milik Anda.” Aku mengibaskan tangan, menepis pemikirannya yang berlebihan.
“Tidak, aku akan kesulitan tanpa kartu ini. Aku membutuhkannya untuk bisa memasuki ruang kerjaku,” jelasnya.
Aku mengangguk mengerti.
***
“Maaf, aku hanya bisa membalasnya dengan makan siang,” sesalnya.
“Tidak perlu repot-repot, kopi saja sudah cukup.”
“Aku tidak akan tenang jika hanya segelas kopi.” Seorang pelayan menghampiri dan memberikan daftar menu pada kami.
Haris memaksaku untuk makan siang bersama sebagai ucapan terima kasih. Aku sungguh merasa sungkan karena jasaku tidak terlalu besar. Lain halnya bila aku menolongnga dalam sebuah musibah mungkin, malah aku akan meminta lebih banyak. Tentu saja, itu hanya karanganku saja. Mana berani aku menagih seperti itu?
“Di sini terkenal dengan pizzanya, bagaimana? Mau?” tawarnya.
“Apa saja, aku bukan orang yang pemilih.”
“Sempurna,” ucapnya riang lalu memesan beberapa menu untuk kami pada pelayan.
Saat pelayan pergi, Haris kembali memberikan senyum menawan. Aku tidak terbiasa berbicara
dengan lawan jenis selain dengan Mas Andre, apalagi sikapnya sangat berbeda. Pria ini memperlakukan aku dengan sangat baik. Hingga membuatku canggung.
“Ngomong-ngomong, aku belum tahu nama Anda?”
Aku terperanjat dengan malu. “Maaf, nama saya Keysha!”
“Keysha!”
Aku mengangkat wajah karena ia langsung memanggilku.
“Namaku Haris, itu lebih enak di dengar.”
Aku menarik setiap bibirku yang hampir setiap hari mengatup rapat. Aku sudah lebih dulu tahu namanya. “Ya, itu lebih baik,” sahutku setuju.
***
Tidak lama pesanan kami sampai, berbagai hidangan menggugah selera tersaji. Haris pun memesan dua kudapan untuk pencuci mulut. Saat semua pesanan telah terkumpul, Haris mengajakku untuk segera menyantapnya.
Kami makan dengan khikmat, entah mengapa makan siang kali ini sangat berkesan. Selain
hindangannya yang lezat, mungkin karena aku ditemani orang semenyenangkan Haris. Aku sampai tidak sadar jika sudah menghabiskan 4 potong pizza seorang diri. Seperti bukan diriku yang selalu tidak berselera ketika waktu makan tiba.
“Ah, aku sangat kenyang.” Haris mengusap perutnya yang sedikit membuncit dan itu membuatku refleck terkekeh geli.
“Mau tambah lagi?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan. “Tidak! Aku sudah menghabiskan hampir semua makanan. Maaf, pasti memalukan.”
“Justru aku yang malu, ternyata kita pernah di poli yang sama dan aku tidak menyadarinya,” ucap Haris.
“Tidak apa-apa,” ujarku memaklumi. “Haris selalu datang bersama istrinya, ya?”
Wajah Haris tiba-tiba berubah, binar di wajahnya sedikit meredup. “Hampir setiap konsultasi.”
Aku menepuk tangan. “Aku sangat iri dengan istrimu.”
Haris yang ingin menyesap kopi hanya mengedikkan bahu. “Tidak perlu? Itu adalah hal normal.”
Aku menggeleng dengan senyum tipis. “Aku selalu datang sendirian, karena itu aku sangat
senang melihat pasangan yang selalu datang bersama-sama ke poli. Karena aku tidak bisa seperti kalian.”
Hening sesaat hingga Haris berdehem. Ia membuka kembali pembicaraan.
“Berapa lama kamu ikut program kehamilan?”
"Tujuh tahun," jawabku cepat.
Haris tampak terkejut. “Tujuh tahun? Aku baru jalan empat tahun. Pasti sangat berat.”
“Yah, aku berusaha menjalani yang aku bisa. Berbagai treatment aku lakukan, tapi belum membuahkan hasil. Aku terus mencoba dan mencoba hingga tanpa sadar tujuh tahun sudah
berlalu. Kadang aku merasa depresi ketika melihat temanku sudah mempunyai momongan
melalui jejaring sosial.”
Haris meletakkan cangkir lalu merubah rautnya menjadi serius. “Aku mengerti bagaimana rasanya, aku juga pernah mengalaminya sampai menutup akunku agar tidak terpengaruhi dunia luar.”
Aku melebarkan mata setengah percaya. “Jadi, pria pun bisa merasakan hal seperti itu?”
“Tentu saja bisa! Aku sering iri dengan saudara atau temanku yang telah memiliki anak. Sampai
atasanku pernah berkata jika tidak mempunyai anak, kita tidak memiliki tujuan hidup dan itu membuatku kesal.”
Aku sampai menutup mulutku merespon perkataan Haris, ternyata ia pernah seprustasi itu. “Itu adalah pelecehan verbal.”
“Semua akan terjadi karena kami satu gender. Bahkan kadang lebih menyakitkan," ucapnya dengan tawa renyah.
Kami menghabiskan waktu cukup lama dengan membicarakan banyak hal, hingga tanpa sadar hari telah menjelang sore. Aku sampai tersentak melihat jam di ponselku lalu memperhatikan sekitar. Langit telah mulai menampakkan kemerahan.
"Ya ampun, bagaimana ini? Haris tidak kembali ke kantor? Ini sudah waktunya pulang," seruku panik.
"Tidak masalah, kebetulan sehabis istirahat tadi aku tidak ada pekerjaan lagi."
Aku menghela napas lega mendengar hal itu. Kami pun keluar dari restaurant. Haris mengantarku sampai ke stasiun.
"Terima kasih untuk traktirannya. Sungguh sangat menyenangkan, aku sudah lama tidak merasa sebebas ini."
Haris tersenyum sambil menatapku. "Aku yang seharusnya berterima kasih." Ia mengusap tengkuknya. "Aku tidak memiliki banyak orang yang bisa aku ajak berbicara masalah ini, aku senang kita di dalam situasi yang sama."
Aku mengangguk lalu menunduk. Barusan terlintas wajah Mas Andre yang selalu memasang ekspresi datar. Berbanding terbalik dengan Haris yang sejak tadi memberikan senyum penuh ketenangan. Seolah menyalurkan energi kehidupan dan, itu membuatku senang serta sedih di waktu bersamaan.
"Ini memang benar-benar sangat menyenangkan," ucapku lirih. "Apa yang harus aku lakukan? Ini
terlalu menyenangkan."
Aku tidak bisa mengendalikan diri karena bulir air mataku menetes tanpa permisi. Emosi jiwaku memuncak tidak terbendung yang malah membuat hatiku amat pedih. Sayup-sayup aku mendengar Haris yang memanggil namaku, ada kekhawatiran di nada suaranya.
"Keysha, kamu baik-baik saja?"
Aku menggeleng. "Aku di ambang batas lelah. Semua orang disekelilingku telah menjadi seorang Ibu, sedangkan aku? Tidak peduli seberapa keras aku mencoba. Dia bilang bahwa aku tidak layak sebagai wanita, Jika Tuhan berkata seperti itu mungkin aku akan menerimanya, hingga bertahun-tahun berlalu suamiku tidak menginginkanku lagi. Sebagai seorang wanita atau sebagai manusia, aku tidak memiliki tempat di hatinya."
Tidak ada suara sampai aku tersadar telah bertindak berlebihan. Aku baru saja mengumbar aibku, kekuranganku pada Haris. Aku menyeka kasar jejak air mata yang masih saja mengalir.
"Maaf, tidak seharusnya aku berbicara hal tidak penting padamu," aku memalingkan muka dan berniat untuk pergi dari sana. Namun, Haris mencekal pergelangan tanganku. Kami pun
saling bersitatap,
"Hidupmu sangat bernilai. Kamu boleh mengabaikannya, tapi sejak kita saling mengenal satu sama lain. Aku merasa kita memiliki kesamaan dalam berbagai hal. Bahkan hari ini, waktu yang aku habiskan denganmu terasa sangat spesial. Dan, jujur ... aku mengajakmu
untuk makan siang adalah karena bagiku kamu menarik sebagai wanita."
Aku tercenung dengan segala perkataannya. Apa aku seperti itu, apa aku benar-benar sangat berharga?
"Jadi, jangan merasa rendah diri. Karena kamu istimewa, Keysha."
Apakah Haris seorang malaikat di kehidupan yang lalu? Karena sejak kami mulai berbicara hanya kebaikan yang tercetus dari lisannya. Tidak ada hujatan, tidak ada kebencian. Yang ada hanya
keakraban yang membuatku nyaman.
“Ah, selain itu sebagai rasa terima kasihku karena telah menemukan kartuku,” tambahnya salah tingkah. Aku dapat menangkap semburat merah di telinganya. Pria itu malu?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!