Pagi ini begitu cerah, mentari bersinar terang menghangatkan bumi dan membuat embun yang menempel di dedaunan seketika menguap hilang.
Di sebuah taman pemakaman milik keluarga Aryawiranata yang sangat luas dan sepi, David tengah berjongkok sambil mengusap nisan putih bertuliskan nama Maharani. Di sisinya Langit yang mengenakan kaca mata hitam berdiri dengan kepala tertunduk dan raut penuh duka.
Hari ini adalah hari ulang tahun Rani dan mereka datang untuk berziarah.
"Selamat ulang tahun, Rani. Kami datang membawakan mawar merah kesukaan mu," ucap David dengan suara bergetar sembari meletakkan seikat bunga mawar merah segar di atas pusara istrinya itu.
"Aku memang marah padamu, tapi bukan ini yang aku mau. Aku mencintaimu dan berharap kita menua bersama, kenapa kau pergi secepat ini?" David pun terisak.
Langit langsung berjongkok di sisi David dan mengusap punggung belakang pria itu yang berguncang hebat karena menangis, "Papa, sudahlah. Mama sudah tenang."
"Bagaimana mama kamu bisa tenang kalau sampai sekarang orang yang telah menghabisinya masih berkeliaran bebas di luar sana!" sungut David dengan mata yang basah.
"Aku berjanji akan mencari tahu dan mengungkapkan kasus ini, Pa. Aku akan menjebloskan keparat itu ke penjara," sahut Langit seraya mengusap sudut matanya yang juga mulai basah.
"Bagaimana caranya, Lang? Sampai sekarang saja polisi belum menemukan petunjuk baru, pembunuh itu benar-benar lihai menyembunyikan dirinya."
"Pasti ada cara, Pa. Sebaik-baiknya bangkai ditutupi, pasti akan tercium juga bau nya. Aku yakin Tuhan akan memberikan petunjuk nanti," ujar Langit, dia sudah punya rencana untuk mengungkap kasus kematian sang mama.
"Papa enggak menyangka mama kamu akan meninggal dengan cara seperti ini. Andai saja malam itu kami enggak bertengkar, mungkin mama kamu enggak akan ke villa dan pulang ke rumah seperti biasanya. Ini salah Papa, Lang!" ujar David.
"Sudahlah, Pa. Ini bukan salah Papa, semua ini sudah takdir. Yang harus kita lakukan sekarang adalah, mengungkapkan kasus kematian Mama dan menghukum pembunuh itu dengan seberat-beratnya."
David hanya mengangguk dengan kepala tertunduk, walaupun rumah tangganya dan Rani tak berjalan mulus serta penuh dengan pertengkaran, tapi jauh di hati kecilnya, dia sangat mencintai wanita itu. Makanya dia begitu cemburu dan marah saat mendengar kabar sang istri berselingkuh.
Dari kejauhan Daniel sedang mengawasi ayah dan anak itu dengan tatapan sendu, dia begitu iri dengan kebersamaan serta kedekatan mereka. Di tangan kanannya ia menggenggam sebuket bunga mawar merah yang cantik yang akan dia letakkan di atas makam Rani nanti.
Usai mengirimkan doa, Langit dan David pun beranjak meninggalkan pemakaman keluarga yang dipenuhi dengan rerumputan hijau itu.
Setelah memastikan kedua orang tersebut telah pergi, barulah Daniel keluar dari persembunyiannya dan melangkah mendekati makam Rani. Dia meletakkan buket bunga mawar merah yang dia bawa tepat di samping seikat mawar milik David tadi.
"Hai, Ran. Selamat ulang tahun, ya," ucap Daniel sembari mengusap nisan Rani, matanya dengan cepat memanas dan digenangi cairan bening.
"Aku merindukanmu, Ran." Daniel pun mencium batu nisan itu dengan penuh duka.
***
Senja tengah sibuk merapikan rambutnya di depan cermin, hari ini dia berdandan sedikit tebal dan mengenakan pakaian yang sangat terbuka. Dia benar-benar terlihat seksi dan menawan.
Mimi yang baru keluar dari kamar mandi tercengang melihat penampilan sahabatnya itu, "Ja, kamu enggak salah makan, kan?"
"Enggak," jawab Senja tanpa memandang Mimi, dia masih sibuk menguncir rambutnya menyerupai ekor kuda.
"Pakaian kamu seksi banget, Ja. Kamu mau ke mana?"
"Ya ke bar lah, memangnya mau ke mana lagi?"
"Kamu yakin mau ke bar dengan pakaian seperti ini?"
"Iya, aku sengaja berpakaian seperti ini karena kakak enggak menyukainya. Aku berharap kakak marah dan menemui aku, karena aku tahu dia pasti sedang mengawasi ku sekarang."
"Iya, tapi kalau kamu ke bar dengan pakaian super seksi seperti ini, bisa-bisa kamu digodain oleh pria-pria hidung belang itu. Aku takut kamu diperlakukan enggak baik, Ja."
Senja berbalik menatap Mimi yang tampak khawatir, "Kamu tenang aja, aku bisa jaga diri, kok!"
"Tapi, Ja ...."
"Sudah, kamu buruan pakai baju dan dandan, entar kita bisa telat," potong Senja sebelum Mimi sempat melayangkan protesnya lagi.
"Hari ini aku enggak ke bar."
Senja mengernyit, "Kenapa?"
"Aku enggak enak badan, perutku juga sakit, dari tadi buang air terus," adu Mimi sembari memegangi perutnya.
"Kalau gitu kamu minum obat, dong!" pinta Senja yang mendadak cemas dengan sahabatnya itu.
"Iya, nanti aku minum obat. Tapi kamu gimana kalau aku enggak masuk? Nanti kamu pulang sama siapa?"
"Gampang, aku bisa naik taksi, kok!"
"Tapi aku khawatir kamu pulang sendiri apalagi dengan pakaian seperti itu."
"Sudahlah, kamu jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Semua pasti aman dan baik-baik saja. Sekarang aku pergi dulu, kamu baik-baik di rumah."
"Hati-hati, Ja!" ujar Mimi.
Senja mengangguk dan bergegas pergi meninggalkan sang sahabat.
Mimi mengembuskan napas pasrah melihat sikap keras kepala Senja, dia tahu Senja begitu ingin Cakra pulang, tapi dia tak setuju dengan cara yang dilakukan oleh sahabatnya itu. Dia tahu seperti apa pria-pria hidung belang yang datang ke bar, dia hanya tak ingin Senja mendapatkan perlakuan buruk dan terlibat masalah.
Satu jam kemudian, Senja tiba di depan klub malam super mewah milik mendiang Rani itu. Beberapa pasang mata pria seketika memperhatikan Senja yang baru turun dari taksi, membuat gadis mungil itu risih sendiri.
"Mereka kenapa lihatin aku begitu?" batin Senja risih.
Senja tiba-tiba merasa gugup, tadinya dia percaya diri untuk datang ke bar dengan penampilan seperti ini, tapi nyalinya menciut ketika pria-pria itu menatapnya seolah dia sesuatu yang menarik. Senja pun menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskanya untuk menenangkan diri, serta menghilangkan rasa gugup dan canggungnya.
"Ini demi rencana ku agar kakak mau menemui aku," gumam Senja yang berusaha mengabaikan tatapan pria-pria genit tersebut, dia pun celingukan kesana-kemari, berharap bisa menemukan Cakra yang mungkin sedang mengawasinya dari jauh.
Namun dia tak menemukan sang kakak, dengan sedikit kecewa, dia berjalan memasuki klub malam tersebut.
Tak lama kemudian mobil Langit pun tiba diparkiran, disusul oleh mobil Bastian yang berhenti tepat di samping mobil sepupunya itu. Keduanya pun turun dan melangkah memasuki bar.
Namun saat di dalam bar, Langit dan Bastian berpapasan dengan Senja. Langit terkesiap dan sontak memandangi Senja dari bawah sampai atas. Begitu juga dengan Bastian.
Bagaimana tidak, tube top alias kemben berwarna maroon yang Senja kenakan mengekspos dada serta pundak putih mulusnya, bahkan belahan dadanya sedikit terlihat. Ditambah lagi rok mini ketat yang dia kenakan memamerkan paha seputih susu miliknya. Benar-benar seksi.
Karena kejadian kemarin dan masih kesal, Senja pun berusaha mengabaikan Langit meskipun dia sedikit risih sebab pemuda itu menatapnya. Dia berjalan melewati Langit dan Bastian begitu saja tanpa menegur keduanya.
Bastian berbalik memandang Senja yang semakin menjauh, "Kenapa dia seksi sekali hari ini?"
Langit hanya bergeming, entah mengapa dia tidak suka Senja berpakaian terlalu terbuka seperti itu, tapi dia berusaha mengabaikannya dan melanjutkan langkah menuju ruang kerja sang mama yang kini menjadi ruang kerjanya. Bastian pun mengekori sepupunya itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments