Senja menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas sofa begitu tiba di rumah. Hari ini benar-benar penuh drama, dia tak menyangka akan berkali-kali berurusan dengan Langit. Untung saja dia bisa mengelabui pemuda itu agar mengurungkan niat untuk memecatnya.
"Apa kamu masih akan tetap bekerja di sana, Ja?" tanya Mimi yang sudah mendengar semuanya dari Senja.
"Masihlah! Aku butuh uang untuk bertahan hidup," jawab Senja enteng.
"Tapi bagaimana kalau dia terus mengganggu mu? Aku enggak ingin kamu terlibat masalah terus, Ja."
"Kamu tenang saja! Aku bisa mengatasinya, kok. Buktinya hari ini aku berhasil lolos dari tuduhannya," ujar Senja bangga.
"Iya, tapi tetap saja aku khawatir," keluh Mimi.
Tring.
Sebuah pesan dari nomor Cakra kembali masuk ke ponsel Senja, gadis mungil itu buru-buru membuka lalu membacanya.
"KAKAK MAU KAMU BERHENTI DARI BAR DAN JAUHI LANGIT!"
Wajah Senja sontak berubah tegang setelah membaca pesan itu, dan ternyata Mimi memperhatikannya.
"Ada apa, Ja? Siapa yang mengirimkan pesan?"
"Kakak. Dia tahu aku bekerja di bar," sahut Senja.
"Apa aku bilang, Kak Cakra pasti bereaksi saat tahu kamu bekerja di bar."
"Itu berarti Kak Cakra ada di sekitar aku, dia mengawasi aku. Makanya dia tahu sekarang aku bekerja di bar."
"Iya, kamu benar."
"Kalau begitu aku akan hubungi Kakak, siapa tahu kali ini dijawab." Senja langsung menelepon nomor kakaknya itu, namun lagi-lagi tak dijawab sama sekali. Dia pun mendengus jengkel.
"Enggak dijawab lagi, ya?" tanya Mimi.
Senja mengangguk dengan wajah cemberut.
"Kamu kirim saja pesan, bilang kalau kamu enggak akan berhenti dari bar dan menjauhi Langit jika dia enggak pulang," usul Mimi.
"Percuma aku kirim pesan, Kakak enggak akan balas," keluh Senja.
"Setidaknya dia baca, kan? Siapa tahu dia akan pulang karena ancaman kamu itu."
"Iya juga, ide kamu boleh dicoba."
Mimi mengembuskan napas seraya memutar bola matanya.
Dengan lihai jari jemari kecil Senja mengetikan pesan sesuai dengan apa yang Mimi sarankan tadi lalu mengirimkan nya ke nomor Cakra.
"Sudah!" seru Senja.
"Kalau begitu kita tunggu saja apa yang akan Kak Cakra lakukan, mudah-mudahan dia segera pulang untuk memarahi mu."
Tring.
Namun tanpa diduga, pesan balasan dari nomor Cakra pun masuk.
"Mi, kakak membalas pesanku!" Senja heboh saat mendapat balasan dari sang kakak.
"Buruan baca, Ja!"
Senja membuka dan membaca pesan itu dengan tidak sabar, "Kamu akan menyesal jika enggak menuruti permintaan kakak!"
Senja langsung menatap Mimi setelah membacakan pesan dari sang kakak, "Kakak kembali mengancam ku, Mi."
Mimi terkesiap, "Kak Cakra balik ngancam kamu?"
Senja mengangguk, "Iya. Aneh, sebelumnya kakak enggak pernah seperti ini, dia enggak pernah ngancam aku."
"Aku jadi takut, Ja. Apa sebaiknya kamu berhenti saja dari bar?"
"Kamu ini plin-plan banget, sih! Tadi nyuruh aku ngancam kakak, sekarang malah nyuruh aku berhenti bekerja," gerutu Senja yang kesal karena Mimi mendadak berubah pikiran.
"Iya, tapi aku takut Kak Cakra malah melakukan sesuatu yang bisa membuat masalah baru jika kamu tetap bekerja di sana. Jadi kayaknya lebih baik kamu resign aja, deh! Cari aman, Ja!"
Senja menggeleng, "Enggak, Mi. Justru ini kesempatan bagus, aku akan terus memancing Kakak agar marah dan akhirnya keluar dari persembunyiannya. Aku ingin bertemu dia, aku kangen."
"Senja!"
"Sudah, kamu tenang aja!" pungkas Senja.
"Terserah kamu aja, deh! Pokoknya aku sudah peringatkan, jangan menyesal kalau nanti."
Senja tersenyum, dia pun membalas pesan dari nomor Cakra itu.
"AKU ENGGAK PEDULI, POKOKNYA KALAU KAKAK ENGGAK PULANG, AKU AKAN TETAP BEKERJA DI BAR DAN MENDEKATI LANGIT!"
Pesan yang Senja kirim itu tak dibaca apalagi di balas, tapi dia berharap sang kakak mau pulang setelah membaca pesan tersebut.
***
Langit pulang ke rumah dengan lesu, hatinya masih bertanya-tanya siapa yang merobek foto sang mama dan di mana Cakra berada saat ini. Sementara Bastian hanya membuntuti pemuda itu.
"Kalian sudah pulang?" tanya Daniel yang masih terjaga dan duduk di ruang tamu.
Langit dan Bastian menghentikan langkah mereka lalu menoleh bersamaan ke arah pria paruh baya itu.
"Kenapa Om belum tidur? Ini sudah hampir pukul tiga pagi," cecar Langit, sedangkan Bastian hanya bergeming.
"Om enggak bisa tidur," jawab Daniel yang beranjak kemudian berjalan ke arah dua pemuda itu, "bagaimana keadaan bar? Semua aman?"
Langit mengangguk, "Aman, Om."
"Hem, aku ke kamar dulu. Sudah ngantuk," sela Bastian.
Langit mengalihkan pandangannya ke Bastian, "Oke, Bas. Thank you, ya."
Bastian hanya mengangguk sambil tersenyum, dia pun bergegas meninggalkan ayah dan sepupunya itu.
"Kalau begitu kamu juga istirahat!" pinta Daniel.
Langit kembali menatap Daniel, "Iya, Om. Tapi ada yang mau aku tanyakan dulu pada Om."
Daniel mengernyit, "Apa, Lang?"
"Apa Om dan Mama pernah punya hubungan sewaktu SMA?" tanya Langit tanpa basa-basi.
Daniel tertegun, wajahnya mendadak tegang mendengar pertanyaan Langit itu.
"Jawab, Om!"
"Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu, Lang?" Daniel balik bertanya.
"Aku menemukan foto Mama dan Om saat masih mengenakan seragam SMA, kalian terlihat mesra di dalam foto itu," terang Langit.
"Di mana kamu menemukan foto itu?"
"Di ruang kerja Mama."
Daniel tertawa, "Jadi gini, Lang. Om, Mama kamu dan kedua orang tua Cakra itu dulu berteman baik saat masih SMA. Kami berempat sempat mengikuti perlombaan sains bareng dan cukup dekat satu sama lain, bahkan kedua orang tua Cakra sampai cinlok dan akhirnya menikah. Makanya mama kamu sangat menyayangi Cakra dan adiknya."
"Lalu bagaimana dengan Om dan Mama? Apa hubungan kalian tetap sebatas teman baik, atau lebih dari itu?" selidik Langit.
Daniel kembali terdiam, namun dengan cepat dia bisa menguasai diri dan tersenyum.
"Om sudah menganggap Mama kamu seperti saudara karena saat itu Mama kamu telah dijodohkan dengan kakak Om, yaitu papa kamu," jawab Daniel kemudian.
"Terus di mana Papa? Kenapa dia enggak ada difoto itu?"
"Kamu lupa? Papa kamu kan sekolah di luar negeri. Dia baru pulang saat lulus dan langsung menikahi mama kamu," beber Daniel, ekspresi wajahnya berubah sendu.
Langit bergeming, dia mencoba untuk percaya dengan apa yang Daniel katakan, walaupun foto itu menunjukkan ada sesuatu yang tak wajar di antara Om nya itu dan sang mama.
Tanpa keduanya sadari, sejak tadi seseorang menguping pembicaraan mereka dari balik tembok.
"Sebaiknya sekarang kamu istirahat, Lang! Om juga mau tidur, sudah ngantuk," ujar Daniel.
"Iya, Om. Aku ke kamar dulu." Langit segera berlalu dari hadapan Daniel.
Selepas kepergian Langit, Daniel tertunduk sembari memejamkan matanya dengan kuat untuk menahan perasaan sedih bercampur perih.
"Maafkan aku Rani, aku terpaksa membohonginya. Aku belum siap dia tahu tentang hubungan kita yang sebenarnya," gumam Daniel lirih.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments