"Lea, masuklah."
Lea yang baru saja selesai dengan pekerjaannya, dikejutkan dengan kehadiran Rangga. Lelaki itu berdiri di depan butik dengan penampilan yang sudah rapih.
"Rangga?"
Rangga mempersilakan Lea untuk masuk ke dalam mobilnya. Tanpa banyak bertanya, Lea pun segera masuk lalu duduk di jok depan, tepatnya di samping tempat duduk pengemudi. Setelah Lea duduk di sana, Rangga pun segera menyusul dan siap melajukan mobil tersebut.
"Aku sudah bilang kepada sopirmu bahwa aku yang akan menjemputmu," ucap Rangga ketika melihat Lea yang bersiap menghubungi sopirnya.
"Oh, syukurlah. Memangnya kita mau ke mana sih, Rangga?"
"Aku ingin mengajakmu ke taman. Ada sesuatu yang penting, yang ingin aku bicarakan."
Lea terdiam sejenak sambil berpikir. "Apa yang ingin kamu bicarakan? Apa ini soal tadi pagi?"
Rangga tidak menjawab. Ia hanya diam dengan tatapan fokus ke depan.
"Jika ini soal tadi pagi, aku minta maaf, Rangga. Aku benar-benar minta maaf karena tidak bisa menuruti semua keinginanmu. Kamu tahu sendiri 'kan kalau aku—"
Belum selesai Lea berkata-kata, tiba-tiba Rangga menyela ucapannya.
"Sudah berjanji pada mendiang ibumu bahwa kamu tidak akan melakukannya sebelum menikah. Ya, aku tahu itu," sela Rangga dengan wajah malas.
Lea tersenyum kecut dan ia tampak serba salah.
"Oh ya, Rangga. Aku ingin bertanya soal gelang ini," ucap Lea, mencoba mengalihkan topik pembicaraan mereka. Ia memperlihatkan gelang yang masih melingkar di pergelangan tangannya kepada Rangga.
Rangga melirik untuk sejenak. "Ada apa dengan gelang itu? Apakah kamu tidak menyukainya?"
Lea menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, bukan begitu, Rangga! Begini, bukankah tadi pagi kamu bilang padaku bahwa gelang ini spesial. Didesign khusus untukku, tapi kenapa Amanda juga memilikinya? Sama persis seperti milikku," ucap Lea.
Rangga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ehm, itu mustahil. Rasanya tidak mungkin dia juga memiliki gelang yang sama. Kecuali ...." Rangga tampak berpikir.
"Kecuali apa?" tanya Lea penuh selidik.
"Entahlah, nanti akan aku tanya ke orang yang mendesign gelang ini dan meminta penjelasan darinya," jawab Rangga.
Lea menarik napas panjang lalu menghembuskannya kembali dengan perlahan. Kini ia memilih diam. Begitu pula Rangga. Ia pun tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu.
Sepanjang perjalanan menuju taman kota, baik Rangga maupun Lea hanya diam seribu bahasa dengan isi pikiran mereka masing-masing. Hingga akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Rangga pun tiba di tempat yang dituju. Taman kota, di mana banyak muda-mudi yang berkumpul di sana untuk menghabiskan waktu mereka bersama pasangan.
"Mari," ajak Rangga setelah selesai memarkirkan mobil kesayangannya itu.
Lea segera keluar dari mobil lalu mengikuti Rangga yang berjalan beberapa langkah di depannya. Dengan tertatih-tatih, Lea mencoba mensejajarkan langkahnya bersama lelaki itu. Namun, karena Rangga melangkah terlalu cepat, Lea pun menjadi kesusahan untuk mengikutinya.
"Ehmm, Rangga. Bisa pelankan langkahmu? Aku kesusahan mengikutimu," ucap Lea.
Rangga melihat ke belakang, di mana Lea masih mencoba mengejar ketertinggalannya. Ia menghembuskan napas berat lalu kembali berbalik.
"Kamu kenapa sih, Rangga? Kamu malu ya datang ke tempat ini bersamaku?" tanya Lea sambil mencoba menormalkan napasnya yang terengah-engah.
"Tidak. Kenapa mesti malu? Bukankah aku sendiri yang mengajakmu kemari?" kilah Rangga.
"Biasanya kamu selalu menggandeng tanganku jika kita berjalan bersama, tapi sekarang —"
"Sudahlah, Lea. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Lihatlah, semua orang mulai memperhatikan kita dan aku yakin mereka pasti sedang memikirkan yang tidak-tidak tentang kita," sela Rangga sembari menunjuk ke orang-orang yang saat itu memang tengah memperhatikan mereka berdua.
"Maaf," lirih Lea.
"Sebaiknya kita duduk di sana." Rangga berjalan menghampiri sebuah kursi yang berada tak jauh dari posisi mereka lalu duduk di sana. Lea pun segera menyusul kemudian duduk di samping Rangga.
"Huft! Aku sedang memikirkan Amanda." Lea membuka percakapan mereka.
"Amanda? Ada apa dengan Amanda?" tanya Rangga.
"Entahlah. Tadi pagi dia jatuh pingsan."
"Jatuh pingsan? Kenapa? Trus, bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja?" tanya Rangga dengan wajah cemas.
Lea melirik Rangga yang duduk di sebelahnya dengan mata memicing. Ia heran kenapa Rangga begitu antusias setiap kali mereka membahas apa pun soal Amanda.
"Aku tidak tahu dia kenapa. Mungkin saja dia kelelahan karena terus bekerja. Apalagi ketika aku masih dirawat di rumah sakit, dia lah yang mengambil alih semua pekerjaanku."
"Hhh, kamu ini. Sebagai pemilik butik, seharusnya kamu bertanggung jawab atas anak buahmu. Lalu bagaimana dia sekarang?" tanya Rangga, masih dengan wajah cemas.
"Aku belum mendapatkan kabar apa pun dari dia. Aku sudah chat dan coba menghubungi nomornya, tapi sayang tidak ia merespon sama sekali," jawab Lea.
"Ck!" Rangga berdecak dan membuat Lea semakin bingung.
"Kamu kenapa sih, Rangga? Kok, sepertinya kamu kesal banget sama aku," celetuk Lea.
"Siapa yang kesal? Aku cuma heran aja, kamu itu kok sebagai atasan gak bertanggung jawab sama anak buahnya. Heran," sahut Rangga sembari memalingkan wajahnya.
"Siapa bilang aku tidak bertanggung jawab? Aku sudah mencoba menawarkan bantuan, tetapi dia menolak karena dia bilang masih sanggup sendiri. Memangnya apa yang bisa aku lakukan dengan kondisiku yang seperti ini, ha?" kesal Lea dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah! Aku tidak ingin berdebat lagi. Sekarang katakan padaku, apa sebenarnya yang ingin kamu bicarakan?" lanjut Lea dengan tegas.
Rangga menghela napas berat. "Aku ingin membicarakan soal pernikahan kita, Lea." Nada suara Rangga yang tadinya meninggi, sekarang mulai normal.
Lea mengerutkan kedua alisnya. "Pernikahan kita? Ada apa, Rangga? Jangan bilang kalau kamu ingin membatalkan pernikahan kita, ya!" sahut Lea dengan wajah cemas. Jantungnya tiba-tiba berdebar, seolah merasakan firasat buruk soal pernikahannya dengan lelaki itu.
Rangga menggeleng pelan. "Sebenarnya bukan, tapi ... ayah dan ibu ingin kita menunda hari pernikahan yang sudah kita rencanakan sebelumnya," sahut Rangga.
"Apa?!" pekik Lea dengan begitu kesal. "Ditunda lagi?"
"Sabar, Lea. Yang penting pernikahan kita akan tetap dilaksanakan. Hanya ditunda saja," bujuk Rangga.
"Hanya ditunda saja? Enak sekali kamu bilang begitu, Rangga! Sementara aku harus kembali mengatur semuanya. Undangan, catering, dan lain-lainnya. Apa kamu pikir ini pernikahan ini hanya main-main saja?"
"Bukan seperti itu, Lea. Ayah dan ibu pun terpaksa memutuskannya sebab ada keluarga dari pihak ayah yang mengadakan hari pernikahan anaknya di hari yang sama. Tidak mungkin 'kan jika kita mengadakannya secara bersama-sama? Setelah berunding dengan pihak keluarga ayah, akhirnya ayah dan ibu pun terpaksa mengalah dan kembali menunda acara pernikahan kita," tutur Rangga.
"Tidak bisakah mereka yang mengalah untuk kita? Kenapa harus kita yang mengalah untuk mereka?" Lea mulai menitikkan air mata. Ia begitu kesal atas keputusan sepihak yang dilakukan oleh keluarga Rangga, tanpa memikirkan bagaimana dirinya.
"Maafkan kami, Lea," lirih Rangga.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Fera Kolut
jengkel deh ma Rangga. seenak jidat sendiri memutuskan
2023-06-30
1
Hamidah
.
2023-03-17
0
Mey-mey89
semangat thorrr
2023-03-16
2