Dengan tertatih-tatih, akhirnya Lea berhasil menyeret kaki palsunya hingga ke butik sederhana miliknya. Di mana ia biasa menuangkan semua ide yang ada di kepalanya di tempat itu.
"Hmmm, ternyata Manda sudah tiba lebih dulu." Lea tersenyum karena ternyata sahabatnya itu datang lebih awal dan membuka butiknya.
Perlahan Lea melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu. Ia melihat ke sekeliling, tetapi tidak ada sosok Amanda di sana.
"Di mana dia?" gumam Lea.
Samar-samar terdengar suara Amanda yang sepertinya tengah bicara dengan seseorang di dalam sebuah ruangan. Ruangan yang biasa mereka gunakan untuk beristirahat ketika sudah lelah bekerja. Beberapa kali Lea mendengar hembusan napas kasar yang dikeluarkan oleh sahabatnya itu. Entah apa yang ia bicarakan, yang pastinya Amanda terdengar sangat kesal.
"Amanda bicara dengan siapa, ya?" gumam Lea heran karena orang yang bekerja dengannya hanya Amanda. Tidak ada yang lain.
Lea berjalan menghampiri ruangan itu dan ternyata benar, Amanda berada di dalam ruangan itu sambil berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Karena tidak ingin mengganggu, Lea memutuskan untuk menunggu di ambang pintu dan diam di sana hingga Amanda selesai nanti.
"Lalu aku bagaimana, Mas? Apakah aku akan terus menjadi bayang-bayang kalian?" Amanda tampak geram. Ia lalu terdiam sejenak sembari mendengarkan seseorang yang menjawab pertanyaannya di sambungan telepon.
"Ahhh, itu lagi! Aku sudah bosan, Mas! Aku sudah bosan terus-terusan menjadi orang ke-tiga dalam hubungan kalian. Pokoknya aku tidak mau tahu, bulan ini kamu harus memutuskan hubunganmu dengannya! Kalau kamu tidak bisa melakukannya maka aku sendiri yang akan menceritakan semuanya kepada kekasihmu itu," ucap Amanda lagi dengan penuh penekanan.
Ia kembali terdiam dan mendengarkan lawan bicaranya. Hingga beberapa detik kemudian, raut wajah Amanda pun mulai terlihat sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
"Hmm, baiklah kalau begitu. Aku pegang ucapanmu, Mas! Aku akan menunggu kabar itu," ucapnya lalu memutuskan panggilannya bersama seseorang itu.
Lea yang saat itu masih berdiri di ambang pintu, tampak terdiam seribu bahasa. Ia tidak tahu dengan siapa sahabatnya itu bicara. Namun, mendengar dari isi percakapannya barusan, Lea tahu bahwa Amanda tengah bicara dengan kekasih misteriusnya.
Setelah menyimpan kembali ponselnya, Amanda pun berniat keluar dari ruangan itu. Namun, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa Lea sudah berada di ambang pintu.
"E ... Le-Lea?!" pekik Amanda dengan mata membulat sempurna.
"Ya, Tuhan! Apa dia mendengar semua yang aku katakan? Jika ya, maka matilah aku!" gumam Amanda dalam hati.
Amanda menyunggingkan sebuah senyuman hangat untuk menutupi kecemasannya.
"Se-selamat pagi, Lea. Ngomong-ngomong sejak kapan kamu berada di sini?" tanya Amanda dengan terbata-bata.
"Baru saja." Lea melenggang masuk sambil menyeret kaki palsunya ke dalam ruangan itu. Ia meletakkan tas yang sejak tadi berada di pundaknya ke atas meja.
"Baru saja?
"Apa itu artinya Lea tidak mendengar apa yang aku bicarakan?" Amanda kembali membatin. Ia menggulung-gulung ujung kemejanya sembari memperhatikan Lea dengan lekat.
Setelah selesai meletakkan barang-barangnya, Lea kembali menatap Amanda yang masih berdiri di posisinya.
"Kamu kenapa, Manda? Kenapa kamu masih berdiri di sana? Apakah ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan kepadaku?"
Amanda menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak-tidak. Baiklah aku akan kembali ke depan," jawabnya yang kemudian ingin segera beranjak dari tempat itu. Ia berbalik lalu melangkahkan kakinya. Namun, belum sempat ia melewati batas pintu, tiba-tiba saja Lea kembali memanggilnya.
"Amanda, sebentar!"
Mendengar Lea memanggil namanya, Amanda pun segera menghentikan langkahnya. Dengan ragu-ragu, ia membalikkan badan lalu melemparkan senyuman.
"Ya, Lea?"
"Maafkan aku, Amanda. Tadi secara tidak sengaja aku mendengar percakapanmu."
Lagi-lagi Amanda membulatkan matanya. Ia begitu kaget mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Lea barusan.
"Ya Tuhan! Ternyata Lea sudah mendengar percakapan kami. Mati aku!" gumamnya dalam hati.
"Manda, bukan maksudku ikut campur dengan urusan pribadimu, tapi entah kenapa aku merasa tidak enak saat mendengar bahwa kamu adalah orang ke-tiga."
Amanda masih diam. Namun, tatapan serta pendengarannya masih terfokus pada Lea yang saat itu berdiri di hadapannya.
"Menurutku, sebaiknya kamu mundur saja, Manda. Menjadi orang ke-tiga di dalam sebuah hubungan, bukanlah hal yang menyenangkan. Hubungan seperti itu sama sekali tidak sehat. Lagi pula kamu itu cantik dan menarik. Aku yakin banyak orang yang tergila-gila kepadamu," tutur Lea.
"Kok bisa, ya, Lea setenang itu. Padahal ...."
"Amanda?"
Karena Amanda hanya diam dengan ekspresi yang tidak bisa ia jelaskan, Lea pun kembali memanggilnya. Panggilan itu berhasil membuyarkan lamunan Amanda. Ia tersentak kaget lalu kembali tersenyum dengan tenangnya.
"Ehm, aku tidak mengerti apa maksudmu, Lea. Sebaiknya aku ke depan. Pekerjaan kita sudah menunggu," sahutnya kemudian dengan terburu-buru meninggalkan Lea di ruangan itu.
Sementara Lea hanya bisa menyaksikan Amanda yang pergi meninggalkannya sendirian di ruangan itu.
Tak berselang lama Lea pun menyusul ke ruangan depan. Ruangan di mana ia biasa mendesign serta membuat gaun-gaun pengantin pesanan para customer-nya. Dengan kembali menyeret kaki palsunya, ia pun tiba di ruangan itu.
Lea melihat Amanda yang tengah sibuk menempel manik-manik pada sebuah gaun pengantin mewah yang berdiri di tengah-tengah ruangan. Lea kembali menghampiri Amanda, tetapi wanita itu sepertinya terus mencoba menghindar.
"Apa kamu marah padaku, Manda?" tanya Lea. Ia heran karena tiba-tiba sikap sahabatnya itu menjadi aneh.
"Aku?" Amanda menunjuk ke dirinya sendiri kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak. Kenapa aku harus marah?"
"Tapi sepertinya kamu terus menghindar dariku," balas Lea.
"Ehm, tidak. Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Lea. Aku sama sekali tidak menghindar. Lihatlah, bukankah pekerjaan kita masih banyak? Lagi pula aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu ucapkan barusan," tutur Amanda sambil tersenyum kecut.
Lea menghembuskan napas berat. "Aku tidak sengaja mendengar semua yang kamu ucapkan, Amanda. Aku sebagai sahabat hanya ingin yang terbaik untukmu sebab itulah aku menasihatimu. Jika menurutmu apa yang aku katakan itu salah, maka aku minta maaf. Tapi tolong, jangan menghindar dariku."
"Ternyata Lea tidak mendengar semua yang aku bicarakan. Ah, syukurlah kalau begitu." Amanda kembali membatin dan kini wajahnya tampak semringah.
"Tidak, Lea." Amanda menghampiri Lea lalu merangkul pundaknya. "Kamu adalah sahabatku, tidak mungkin aku menghindarimu. Seandainya aku marah pun, aku pasti akan mengatakannya langsung kepadamu agar tidak ada kesalahpahaman di antara kita," tuturnya.
Lea pun ikut tersenyum. "Apa sekarang kamu ingin bercerita tentang kekasih misteriusmu itu kepadaku? Siapa tahu aku bisa membantu sedikit masalahmu."
"Ehmm, tidak sekarang. Nanti saja. Jika semuanya sudah siap, maka akan kuceritakan semua tentang kekasih misteriusku itu," tolak Amanda.
"Serius, tidak ingin menceritakannya kepadaku?" tanya Lea lagi, mencoba meyakinkan.
Amanda mengangguk dengan penuh keyakinan. "Ya, tentu saja aku serius."
Lea menekuk wajahnya. Ia merasa sedikit kecewa karena Amanda masih tidak ingin memberitahu siapa sebenarnya kekasih misterius yang selama ini selalu disembunyikan oleh sahabatnya itu.
"Hmmm, jangan sampai aku mencari tahu sendiri, ya!" ucap Lea dengan sedikit mengancam.
Amanda terkekeh. "Jangan-jangan! Aku takut kamu kejang-kejang setelah tahu siapa lelaki itu."
"Hhh, memangnya siapa kekasihmu itu? Seorang artis?" celetuk Lea sambil mencebikkan bibirnya.
"Lebih dari itu!" sahut Amanda dengan bangganya. "Lebih dari itu ...."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
ary
sepertinya sudah biasa ya teman makan teman, ato istilahnya pagarakan tanaman mah ini judulnya.
2024-02-12
0
Arni
Cwe mumer aja bangga, urat malu putus ya amanda
2023-03-18
1
Eti Alifa
ko amanda sejahat itu sihh ...pingin da q jedogin kepalanya ke tembok😡
2023-03-17
0