"Mama," wajahnya tetap tenang meski ia cukup terkejut, kenapa mama bisa tau Aisya?
Biar ia tebak, pasti Caroline! Gadis itu yang mengadukannya pada mama Iren.
Mama Iren menurunkan kedua tangan yang sejak semula bersidekap, rupanya ia tau kedatangan Ernest lalu menunggunya di depan pintu.
"Apa dia cantik?"
"Kaya?"
"Pintar?"
"Punya apa?"
Serentetan pertanyaan yang bahkan pertanyaan awal saja belum berniat Ernest jawab.
"Maksud mama?" tanya Ernest.
"Mama tau, kalo kamu tau apa maksud mama. Karena ngga mungkin kamu tertarik sama cewek sampe ninggalin acara keluarga kalo dia ngga punya apa-apa, terlebih dia seorang yang berbeda?"
Mama mendekat dan mengusap lembut kepala Ernest, menatapnya penuh meneliti seolah sedang mencari tau apa yang terjadi dan alasan Ernest melakukan hal itu. Oh ayolah! Apakah gadis-gadis di sekeliling putranya itu sudah tak menarik lagi, sehingga Ernest lebih memilih gadis berjilbab, apakah Caroline tidak cukup menarik perhatian putranya itu? Mendengar pengaduan dari Caroline kemarin, suaminya hanya mencebik usil saja, papa Edo berpikir dekatnya modelan Ernest itu hanya sebatas pertemanan biasa, macam hubungannya dengan siswa-siswi lain. Tapi tidak dengannya, meskipun hubungan ibu dan anak yang terjalin antara dirinya dan Ernest tidak cukup dekat, ia merasa jika putranya itu ada something feel terhadap Aisya, apakah karena intuisinya sebagai seorang ibu, ataukah sensitifitasnya sebagai perempuan. Apa yang dilaporkan Caroline menunjukan sikap-sikap Ernest yang lain terhadap seorang gadis.
"Mama pasti tau dari Lin," tembak Ernest menjawab pertanyaan mama dengan pertanyaan.
"Ngga penting mama tau dari mana, yang jelas mama mau kasih warning Ernest, sebelum kamu sakit hati atau justru kalian akan lebih sakit hati lebih dalam lagi. Hentikan semuanya, Caroline jelas paling cocok."
Ernest memutar bola matanya seraya membuka jaket, sungguh mama adalah orang ke sekian yang mengatakan jika ia harus berhenti, dan Caroline adalah gadis yang cocok untuknya seolah di dunia ini stok gadis cuma ada dia.
"Ernest, do you hear me?"
"Denger. Kalo mama mau tau siapa Aisya, untuk saat ini Ernest cuma bisa bilang, dia teman, sekaligus gadis impian Ernest!" jawabnya mengakui, lalu melangkah ke lantai 2.
"Berenti sekarang Nest. Kalau hanya teman, mama ijinkan tapi untuk gadis impian, mama rasa itu ngga mungkin. Apa kata papa dan grandpa nanti, apa kata keluarga Aisya nanti?! Mama harap kamu denger ! ! !" teriaknya di kalimat terakhirnya, karena kini Ernest sudah menjauh.
Ernest menghempaskan pan tatnya kasar di kursi, kepalanya kembali berputar seperti komedi putar setelah kembali ke rumah.
Stelan seragam putih abu sudah rapi dipakainya, ia turun menuju meja makan, "bang Ernest! !" cebiknya kesal saat Ernest dengan usil menjiwir hidung adiknya yang tengah sarapan.
"Biar mancung!" ucapnya duduk di sana.
"Gue udah mancung kaliii!"
Di kursi paling pinggir ada papa Edo dengan lembaran korannya, menunggu sarapan yang dibuat asisten rumah tangga, mamanya masih dandan dengan roll'an menggantung cantik di atas kening, dan kedua adik yang kini sama dengannya menunggu sarapan.
"Kapan seleksi?" tanya papa buka suara melipat koran dan menaruhnya di samping gelas kopi.
"Hari kamis," jawab Ernest singkat menyambar selembar roti dan menuangkan susu rasa coklat. Sejak tadi pandangan mama tajam melihatnya, seolah ada sesuatu penting yang ingin ia peringatkan.
"Okelah, papa pergi sekarang. Semangat buat mu, papa harap kamu jadi yang terbaik! Ngga akan mengecewakan!" senyumnya jelas sedang menjatuhkan beban di pundak Ernest, beban nama besar, beban kebangaan serta beban-beban lainnya.
Mata mama Iren mengikuti pergerakan papa Edo yang keluar, "cepet ma! Kita berangkat!"
"Iya!" teriaknya menjawab.
Tapi sebelum benar-benar pergi, ia mulai buka suara pada Ernest, "Nest. Peringatan mama kemarin jangan sampai lupa! Jangan pernah teruskan rasa suka kamu sama Aisya!" ia bahkan sudah menunjukkan telunjuknya di depan wajah putra keduanya itu, tanpa sadar, remaja seperti Ernest semakin dilarang, maka ia akan semakin penasaran dan melanggar.
"Mama ngga tau apa yang aku rasain ma," gumamnya menarik tas dan mencangkloknya di punggung. Terkadang ia merasa jika orangtuanya tak pernah mau mengerti perasaannya, hanya terus menerus memberikan beban berat dan pemahaman yang harus ia maklumi.
Hari senin, dimana jadwal pelajarannya tersempil pelajaran agama, secara otomatis dirinya yang minoritas dengan rela pergi ke perpustakaan untuk belajar sendiri, namun seperti biasa...yang ia lakukan justru bukan melakukan apa yang menjadi pesuruh gurunya melainkan membelokkan arah sepatu ke tempat dimana pemadam kelaparan berada.
"Wah, enak si Ernest, bisa jamkos gini tiap senen! Pengen gue juga ah!" ujar Coki dikekehi Ernest.
"Mau?" tawar Ernest.
"Maulah!" angguknya. "Pura-pura ke kamar mandi Ki," usul Duta.
"Kamvrettt, udah terima nasib aja, belajar agama lo berdua biar jadi hamba yang beriman, kaya Aisyanya gue!" Ernest melangkah keluar.
Sebenarnya ada rasa tersisihkan dan juga sedih berbeda dengan yang lain, meski terlihat enak tapi percayalah ada kesedihan tersendiri di hati Ernest. Jujur, ia ingin seperti mereka, meskipun dihukum, dimarahi namun ramai-ramai, dan bersama-sama, tidak seperti dirinya yang sendiri.
"Sok ah! Keluarin buku, masuk ke Idgham sekarang!" setidaknya itu yang terdengar oleh telinga Ernest saat ia keluar dan pak Pram mulai mengajar.
"Apa itu idgham, seperti apa bentuknya, bagaimana hukumnya?"
"Dulu ikhfa, apa itu ikhfa..." benaknya berbicara. Sepertinya keyakinan yang Aisya percaya begitu ribet nan lengkap, setaunya...dulu ia sempat bertanya pada Coki yang sibuk dan panik mengerjakan tugas agama, ikhfa, idgham itu adalah hukum bacaan membaca kitab mereka.
Membaca kitab pun ada hukumnya? Ada aturan mainnya? Dahsyat! ! Namun selintas, jika ia mendengar Aisya melantunkan ayat-ayat, memang terdengar berbeda dan indah....seperti tembus merasuk ke dalam relung jiwa, apakah hukum itu yang membuat Aisya melantunkan ayat seindah itu? Jika iya, maka ia akui keyakinan Aisya, agama Aisya memanglah indah!
Semakin dipikirkan, Ernest semakin merasa penasaran dengan agama satu ini, agama dimana Aisya berada.
"Aisya?" matanya menangkap siluet Aisya di depan kelasnya saat ingin ke kantin, ia sedang bergerak gusar seraya menerima panggilan. Terkadang gadis itu manggut-manggut meski wajahnya merengut.
"Ai pengen ikut! Kok jahat sih ngga kasih tau, kirain berangkatnya besok!"
Dengan senyuman usil ia mendekati Aisya secara mengendap-ngendap.
"Aisya Nurul Huda! Kenapa di luar?! Ini jam pelajaran, bukan jamnya telfon-telfonan, lagi telfon peri cinta ya?! Nyuruh buat kirimin salam rindu buat Ernest?!"
Aisya sontak berbalik ke belakangnya, dimana sosok pemuda itu terkekeh-kekeh ria mengganggu panggilannya. Di sebrang panggilan umi tersenyum geli mendengar obrolan itu.
"Ernest ih! Kaget aku! Lagian aku udah ijin sama bu Farida! Kamu sendiri lagi ngapain?! Kabur ya!"
"Aku mah bebas, orang pinter sih! !" jawabnya jumawa.
"Ini umi tau!" bisik Aisya memperingatkan dan meminta Ernest untuk tak bersuara. Tapi bukannya Ernest menurut pemuda itu malah semakin mendekat dan merebut hape Ai macam jambret, "pagi ibu!"
Ai dibuat melongo olehnya.
"Wa'alaikumsalam." Umi diam sejenak lalu kemudian ia berseru, "ini tuh Ernest?" tanya umi.
"Betul ibu, calon anak barumu!" jawabnya dengan bangga, terdengar umi yang tertawa sementara Aisya sudah berusaha merebut kembali ponsel yang dipegang Ernest.
"Panggil saja umi," jawab umi.
"Iya umi. Denger-denger umi sama abi mau umroh ya? Wah! Keren! Hati-hati disana umi, tenang aja! Umi jangan khawatirin Aisya, disini Aisya banyak temennya! Ernest bakalan jagain Ai," jawabnya.
"Ihhh! Ernest!" Aisya sudah menggembungkan pipinya kesal, ia meronta-ronta hendak merebut tapi Ernest menahannya hingga akhirnya kedua remaja inu malah rebutan hape di luar kelas.
(..)
"Iya umi, salam buat abi." Jawab Ernest. Aisya sudah benar-benar membeliak marah, yang ia lakukan sekarang adalah menjambak rambut Ernest agar segera menyerahkan hapenya.
"Oyyy, galaknya bidadari surga!" goda Ernest.
Ai kembali menempelkan ponsel di telinganya, "hallo mi, ya udah mi, Ai harus balik lagi ke kelas. Umi sama abi hati-hati disana, jangan lupa kabari... Assalamu'alaikum," Aisya mematikan ponsel lalu memanyunkan bibirnya pada Ernest, "kamu tuh ih! Bikin malu tau! Ngga sopan!" desisnya galak.
"Sorry, abisnya aku kangen....."ucapnya.
"Umi..." Ernest melanjutkan.
"Ko kamu ngga ikut anter abi umi mu, owhhh---anak durhakim..." hardiknya mencibir usil.
"Enak aja!" Matanya kembali membeliak dan kemudian memukul bahu Ernest.
"Lagian aku ngga tau, kirain besok. Maunya aku juga ketemu dulu buat pamitan. Tapi umi sama abi malah udah pergi sekarang! Cuma tadi pagi doang ketemu,"
"Ya udah, sekarang aja temuin mereka di tempat ngumpulnya, umi sama abi masih disana kan?" tanya Ernest.
"Masih," angguk Aisya.
"Yuk, ikut aku! Babang Ernest siap mengantar dedek Ai ketemu umi sama abi'nya buat pamitan!" ajaknya menarik pergelangan tangan yang tertutup manset baju.
"Eh, kemana?! Kita bolos?!" tanya Ai khawatir.
"Sekali-kali ngga apa-apa atuh, ngga akan langsung di DO. Daripada ngga pamitan, kan ngga akan ketemu dalam waktu cukup lama, ngga akan kangen gitu?" tanya Ernest menghasut, membuat Aisya kini bimbang.
"Udah jangan kebanyakan mikir, tenang aja."
"Keburu gitu dari sini ke Dago?" tanya Ai.
Ernest melirik jam tangannya, "keburu!"
Ai mengangguk sebagai jawaban, lalu Ernest menyuruh Aisya untuk menunduk agar tak ketahuan bu Farida.
Ia senantiasa menggandeng Aisya demi lolos dari sekolah untuk menemui kedua orangtuanya yang akan berangkat umroh.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Attaya Zahro
Ajakan sesat 🤣🤣🤣 Jadi ke inget waktu SMK gara² telat eh malah bolos sekalian 😅😅😅
2024-12-27
0
Happyy
😘😘
2023-11-05
1
Qaisaa Nazarudin
Harusnya kamu juha ikutan Nest dlm pelajaran agama itu jalo kamu ngotot dekatin Aisyah,atau pengen Aisyah jd ratu dihati mu,Sama2 belajar agama,.
2023-05-13
2