Namun sejurus kemudian umi tersenyum, "ini temennya Aisya yang waktu itu nemenin Ai di depan sekolah kan?" tebaknya lupa-lupa ingat.
"Iya bu, bukan cuma di depan sekolah aja. Aku juga bisa nemenin Aisya sampe pelaminan kok!" kelakarnya, bukannya marah umi malah tertawa.
"Huu!" sorak lainnya ricuh, mirip suporter bola yang jagoannya kalah.
"Maksudnya pelaminan orang, nemenin doang salim sama penganten!" lanjut Ernest.
"Masya Allah, hahaha!" umi semakin tergelak.
"Siapa namanya tadi?" tanya umi sekali lagi.
"Ernest bu, bisa ibu hafalin takutnya nanti mau sekalian dicantumin di kartu keluarga," jawab Ernest, umi kembali tertawa bersama yang lain.
"Elu malu-maluin Nest---nest ampun!" dorong Gibran di punggung Ernest.
Aisya yang sebenarnya sudah turun, ikut cekikikan geli di balik tembok, Ernest mampu membuat umi tertawa di pertemuan pertamanya oleh sifat absurd pemuda itu.
"Cie!" senggol Raudhah, "yang itu ya?!" ia mencolek-colek pipi gemoy adiknya.
"Apa sih!" raut wajahnya kembali merengut jutek meski tak dipungkiri hawa panas nan malu membayangi wajah manisnya.
"Udah sii, ngaku aja! Kalo gitu kita samaan...lain kali kalo mau ngapel bareng aja, biar bisa janjian boongnya. Teteh ngga perlu sogok kamu lagi," Raudhah menaik turunkan alisnya. Seketika air muka Aisya semakin redup dan datar, karena tak semudah seperti yang dikatakan.
"Udah ah! Temen-temen aku udah nunggu!" cebiknya segera berlalu.
"Yuk!" ajak Aisya.
"Umi, Ai ijin pergi dulu ya!" Umi mengangguk, "hati-hati." umi menatap penuh makna dengan sorot mata menyiratkan suatu pesan yang hanya Aisya saja yang mengerti.
"Iya umi. Ai tau batasannya." gumamnya.
"Assalamu'alaikum!"
"Pamit umi,"
"Wa'alaikumsalam."
Ernest sudah memakai helm fullfacenya, dengan Aisya yang naik ke jok belakang dengan sedikit berjarak, bahkan ia memegang pundak Ernest bukan pinggang apalagi melingkar di perut sampe nempel-nempel.
Masih terlihat di balik helm itu, umi Aisya masih melihat mereka di gawang pintu, begitu menjaga nan sayang pada putrinya, sikap ramah yang ditunjukkan bikin hati adem. Tapi bagaimana jika beliau tau bahwa Ernest berbeda dengan Aisya? Apakah ia masih akan tetap sama baiknya seperti hari ini?
"Jalan kemana nih Nest?" tanya Gibran membonceng Nistia.
"Lodaya, nyari buku!" jawab Ernest, "nanti baliknya makan," lanjutnya, diangguki oleh yang lain.
Ketiga motor itu keluar dari komplek rumah Aisya, "akhirnya aku bisa ajak jalan kamu," ucap Ernest beradu dengan deru angin, membuat Aisya memiringkan badannya.
"Kamu ngomong apa?"
Ernest sampai harus mengulang ucapannya, "ya...akhirnya aku bisa ajak kamu jalan juga. Meskipun mesti bawa rombongan kaya mau tawuran!"
Aisya tertawa renyah, "biar ngga timbul fitnah," balasnya.
"Ini kamu ngga risih megang ke pundak gini?" tanya Ernest menggidikan pundaknya sekali.
"Emangnya kenapa? Kamu risih ngga?" Gadis itu balik bertanya.
"Engga sih. Biasanya kan kalo orang bonceng sukanya megang pinggang biar ngga pegel,"
Aisya menggeleng, sungguh gadis ini semakin menggemaskan saat helm yanh dipakai menjepit pipi chubbynya, "biasa aja. Kalo di pinggang nanti kamu geli. Bisa celaka nanti kita," jelasnya sungguh lugu.
Ernest mengu lum bibirnya, definisi gadis tak terjamah, "tapi kalo kaya gini, disangkanya lagi naik ojol?"
Aisya mengernyitkan dahinya, "emang muka kamu muka ojol ya?!"
Sepersekian detik keduanya tertawa bersama, gila aja! Cowok seganteng dan sekeren ini dibilang muka ojol. Tak sedetik pun tanpa keseruan saat bersama Aisya.
Ernest dan Aisya diekori 2 motor, tapi bak dunia hanya milik berdua yang lain dianggap lebah, keduanya bersenda gurau sepanjang jalan.
Deretan toko buku baru dan bekas berjejer di sepanjang sudut jalan kota. Buku apapun yang sudah tak dicetak lagi, mungkin akan kamu temukan disini, begitu pula yang dicari oleh Aisya dan Ernest.
"Gue mau cari komik sinchan versi lama lah!" keempat temannya sudah sibuk berpencar mencari apa yang mereka butuhkan.
"Sini!" Ernest menjiwir lengan baju Aisya.
"Kalo mau cari buku astronomi, aku tau toko yang cocok!"
"Bah!" sapa Ernest pada seorang pemilik toko berpeci maroon nan gendut.
"Eh, Nest! Kamana wae?!" ia menaruh makan siang di tangannya demi memberikan punggung tangan yang langsung disambut oleh Ernest, "ada aja bah! Gimana kabarnya bah? Ini bawa temen mau nyari buku astronomi," jawab Ernest.
"Ck, ke dalem aja atuh, sok! Kaya biasanya," giringnya.
"Sorry ganggu lagi makan siang ya bah?!" Ernest mengajak Aisya masuk ke dalam toko yang tak begitu besar terkesan sempit penuh buku-buku lama maupun baru. Di sudut dalan sedikit pojok kanan terdapat banyak buku yang menarik perhatian Aisya, bukan usang namun sebagian halamannya aga kekuningan menunjukan jika itu merupakan buku-buku lama. Tersusun rapi mungkin sengaja karena kondisi yang tak sebaru buku-buku terbitan tahun baru.
"Ah, biasa weh jam segini mah! Mau cari buku apa? Sok atuh, kan udah tau dimana-mana nya mah!"
Aisya melangkah menyisir mengamati seraya membaca setiap judul yang ditangkap netra indahnya.
*Sistem Tata Surya, Galileo*.
*Sejarah singkat waktu*.
*Astrofisika*
*Teori lubang hitam*.
Dan yang membuatnya terkekeh kecil, *teori makluk asing di planet merah*. Tapi kemudian sebuah buku melayang di depan wajahnya, *Antariksa pedia*.
"Ini bagus," ujarnya tersenyum bangga.
Aisya meraih itu dari tangan Ernest dan membuka sampul dengan gambar planet Saturnus di depannya.
"Kamu sering datang kesini?" tanya Aisya bernada tak percaya.
Ernest mengangguk, "daripada harus abisin uang di toko buku baru, mendingan disini. Sama aja, justru lebih lengkap, versi lama yang udah ngga dicetak terbitkan lagi bisa kamu cari disini," jawabnya duduk di bangku kayu yang ada disana, ia juga menggeser bangku untuk Aisya duduki.
"Waww, seorang Ernest yang terkenal tengil, mainannya di toko buku loak gini?" Aisya manggut-manggut.
"Kamu kira aku dapetin ilmu dari mana kalo bukan nyemilin buku disini kaya rayap?!" jawab Ernest, Aisya tertawa renyah.
"Jangan-jangan bangku di sekolah sering patah kamu pelakunya, yang suka kunyah?!" tembak Aisya berkelakar.
"Bener!" balas Ernest.
"Kamu sendiri?" tanya Aisya.
"Aku ngga perlu buku untuk saat ini, karena yang kubutuhkan adalah guru..." jawab Ernest. Aisya menarik senyuman miring, "guru? Buku juga guru,"
Ernest menggeleng, "tapi ngga bisa kasih rasa..."
"Maksudnya?"
"Aisya, ajari aku caranya untuk bersyukur..." Aisya menaikkan alisnya sebelah.
"Bersyukur karena Tuhan sudah mengirimkan kamu di kehidupanku..."
"Gimana caranya aku bisa berterimakasih pada Tuhanmu karena sudah membiarkan salah satu hambanya datang ke kehidupanku dan mengisi hari-hari indah bersamanya?" tanya Ernest sungguh-sungguh. Itu akan semudah membalikkan telapak tangan jika Ernest seorang yang sama, namun jika begini Aisya bingung harus menjawab apa.
"Cara bersyukurmu dan cara bersyukurku beda Ernest, apa yang kamu yakini dan yang kuyakini berbeda," jawab Aisya menatap Ernest nyalang, seolah menumpahkan seluruh kegelisahan yang selama ini gadis itu rasakan.
"Bagaimana caranya menyamakan perbedaan?" tanya Ernest.
"Jika alasannya hanya karena aku, maka aku ngga bisa kasih tau kamu. Semua itu harus karena keteguhan hatimu sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun," jawab Aisya.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Happyy
💖💖💖
2023-11-05
1
⋆.˚mytha🦋
semangat nest... samakan imanmu dengan ai soalnya umi udah suka tuh kayanya ma km 😁
2023-07-07
1
Han Lifa
malah ngelawak dirumah orang kamu Nest🤣🤣🤣🤣
2023-05-08
1