Dengan wajah yang terlihat berbinar dan reaksi excited meski tak sampai lompat-lompat sambil goyang dumang, Aisya masih membuka mulutnya sedikit demi mengagumi gerbang Kala Makara yang memayungi pintu masuk ini, menyambut para pengunjung bak memasuki timeline. Sesuai maknanya, lorong waktu. Tiga lengkungan yang menjadi gerbang ini digagas ibu Tien Soharto untuk menggambarkan makna diciptakannya tmii ini yaitu masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Satu ucap Aisya dalam hati, masyaAllah.
Hingga suara berbisik Ernest jelas terdengar di sampingnya, mengganggu Aisya dengan gurauan ciri khas pemuda tengil ini, "awas nanti lalat masuk," ia terkekeh.
Dengan segera Aisya mengatupkan mulut dan mendesis sepaket delikan sinis mata indahnya, membuat Ernest semakin gemas dan tertawa.
"Ish, aku tuh sebenernya udah pernah kesini waktu SD, tapi sekarang kayanya kok lebih bagus ya?! Ngga tau mungkin akunya baru ngeuh," gadis itu memberikan alasan agar Ernest tak menganggapnya kampungan. Rupanya sisi gengsi dari Aisya sebagai seorang gadis remaja masih ada, Ernest kira gadis ini lemah lembut terkesan boring dan sering mengalah, tapi rupanya semakin hari, Aisya dapat membuka dirinya yang sebenarnya pada Ernest, dan satu hal yang pasti...Ernest semakin menyukainya.
"Mau mangap sampe ngences juga ngga apa-apa saking terpukaunya, kamu tetep cantik kok!" balasnya.
"Gombal!" gerutu Aisya berjalan meninggalkannya dan lebih memilih menghampiri Nistia juga Ajeng yang sedang heboh menunjuk-nunjuk ke arah dalam.
Pak Wage sudah teriak-teriak dengan toa yang tak pernah lepas dari ketiaknya, demi menertibkan ke 20 anak peserta dalam tur ini. Tapi jelas fokus mereka bukan untuk pak Wage, melainkan sudah celingukan jauh ke arah dalam, tak sabar untuk segera masuk.
Tak ada semenit pun Ernest membuang pengawasannya dari Ai, seolah tempat ini tak lebih menarik dari Aisya.
Gibran menepuk pundak Ernest seraya berkata, "udah, kasian anak orang ditempelin mulu! Cewek kaya Aisya tuh mesti tarik ulur, aa bro!" jelas Ernest tak sependapat dengan Gibran, apakah ia semacam penasihat cinta? Karena yang ia lihat Gibran saja masih jomblo sampai sekarang.
"Bukan Ernest namanya kalo tarik ulur kaya main layangan, kalo mau tarik ya tarik, kalo ulur mendingan lepas sekalian," seringainya lalu tertawa usil.
"Aku udah bilang kan, jangan jauh-jauh dari aku? Nanti kamu hilang," suara berat khas remaja lelaki mengejutkan Aisya, sampai-sampai ia mengira itu bisikan setan.
Namun Aisya tak menggubris ucapan Ernest barusan, ia lebih memilih memberengut kesal tanpa berkata-kata lagi karena percuma saja pemuda ini selalu memiliki jawaban untuk membalasnya.
Senyuman usil ditunjukkan Nistia dan Ajeng, "si Ernest mah jadi ajang, ajang pendekatan diri ya Nest! Yang jomblo mah minggir!" keduanya memberi jarak dari Aisya, tentu saja gadis berjilbab ini keberatan.
Aisya berdecak kesal, "apaan deh!" ucapnya pada teman-teman yang tak habis-habis menggodanya.
"Sini, tasnya kubawa?! Biar kamu ngga keberatan, bidadari-ku mah ngga boleh kecapean," Ernest terkekeh sendiri dengan ucapan lebaynya, sementara Aisya sudah memeletkan lidahnya, kejiji'an.
"Ngga usah, Nest." tolaknya, namun Ernest tak menghiraukan penolakan Aisya, ia justru sudah mengambil alih ransel yang ada di punggung Aisya, seolah itu miliknya dan Aisya hanya meminjam, "kan aku titip makanan juga di situ, jadi biar aku yang bawa. Masa udah nitip minta dibawain," jelasnya merayu, Aisya yang tak memiliki jawaban hanya bisa menurut saja, daripada pemuda ini berisik terus ditambah kini rombongan sudah beranjak masuk.
Akhirnya mau tak mau Aisya harus terikat dengan Ernest sepanjang perjalanan kali ini.
Tepat disaat situasi beranjak ramai pak Wage membawa rombongan untuk memasuki destinasi pertama mereka, anjungan provinsi.
Tak peduli dengan penjelasan dari tour guide dan bu Indah, anak-anak justru lebih tertarik untuk berselfi ria lalu memostingnya di sosial media masing-masing. Udara di sini cukup hangat beranjak panas karena kebetulan memasuki musim kemarau. Di tengah puluhan bahkan ratusan manusia, Ernest menariknya untuk mendekati satu anjungan, dengan struktur atap yang memiliki ujung-ujung runcing inilah rumah Gadang.
"Rumah Bagonjong, papahku ada turunan minangnya," jelas Ernest menatap bangga pada rumah besar di depan mereka, lantas ia menoleh pada Aisya, "mau foto? Siapa tau nanti punya jodoh turunan Minang?" lanjutnya tersenyum lebar, lebih tepatnya sih berharap.
"Boleh," angguknya manis. Aisya mengambil beberapa langkah dari tempat Ernest berdiri. Pemuda itu mengeluarkan ponselnya dan mengambil 2 jepretan dari lensa kamera.
Dan saat Aisya mengeluarkan senyuman manis ke arah kamera dengan gaya yang tak terlalu berlebihan terkesan kalem, degupan jantung Ernest mendadak melamban, waktu seakan berhenti untuknya demi melihat senyuman terindah yang pernah ia temui. Ernest begitu terpana, memang cocok julukannya untuk Aisya, karena nyatanya gadis ini bak bidadari yang turun ke bumi hanya untuknya.
Tangannya sempat kaku saat memotret tapi langsung buyar saat Aisya angkat bicara, "udah belum?" tanya nya.
"Eh, udah--udah!" jawab Ernest tergagap menurunkan ponsel.
"Orang Minang bisa nyangkut di tanah sunda," Aisya kini tertawa renyah menghampiri dan kembali berada di samping Ernest, gadis itu penasaran dengan potret dirinya di ponsel Ernest, "nanti kirimin ke aku ya," lanjutnya meminta.
"Siap. Bisa lah, kebawa banjir bandang. Terus betah karena ketemu mojang Bandung, akhirnya beranak pinak!" balasnya dengan nada candaan.
Sebelum benar-benar tertinggal dari rombongan, keduanya kembali bergabung saat melihat punggung teman yang lain semakin menjauh.
"Berasa kaya keliling Indonesia," gumam Aisya seraya menoleh pada Ernest.
"Iya, tapi ngga seru ah. Yang ini boongan. Kalo seandainya dikasih kesempatan tempat mana yang pengen kamu datengin? Papua? Aceh? Bali, pulau dewata. Lombok, Raja Ampat?" sahut Ernest bertanya, namun tepat disaat yang sama Ernest berpindah posisi dari kanan ke kiri Aisya, rupanya pemuda itu sedang menghalau sorot matahari yang masih datang dari arah timur, membuat Aisya sedikit mengernyitkan dahi.
"Jabal Rahmah, tempat paling romantis yang ada di muka bumi..." jawab Aisya mantap seraya tersenyum penuh makna.
"Ada apa disana? Kenapa bisa jadi tempat romantis? Apa presiden cinta pernah kesana? Atau kisah mengharukan sepanjang sejarah yang ngalahin kisah romeo juliet?" sungguh penjelasan Aisya memancing rasa penasaran yang kembali menyeruak di diri Ernest.
Aisya mengu lum senyumannya, "Jabal Rahmah sering disebut gunung kasih sayang, tempat bertemunya kembali Adam dan Hawa setelah bertaubat, yang kemudian Hawa melahirkan buah cinta mereka memenuhi penjuru dunia. Tempat dimana nabi Ibrahim diuji kecintaannya terhadap Allah, untuk mengorbankan anak laki-laki yang telah lama ia rindukan kelahirannya."
Ernest mengerutkan dahi mendengar jawaban Aisya, "Hah?! Tuhan kamu nyuruh nabinya ngorbanin anak yang bener-bener ia tunggu?" ekspresi Ernest begitu terkejut mendengarnya.
Belum Ernest kembali bersuara, Aisya sudah buka suara terlebih dahulu, "iya. Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi 3 kali berturut-turut, atas perintah Allah untuk menyembelih putranya nabi Ismail, demi kesungguhan dan kecintaannya terhadap Allah hingga beliau mendapatkan gelar khalilullah atau kekasih Allah, meskipun pada akhirnya Allah mengganti nabi Ismail dengan seekor kambing."
Seolah suara riuh disini tak kentara, Ernest lebih asik mendengar cerita Aisya ketimbang suara disekitarnya, apalagi suara tour guide yang lebih terdengar seperti orang tengah kumur-kumur.
"Di Jabal Rahmah pula, tempat dimana ayat Al-Qur'an yang mengatakan islam telah sempurna diturunkan, itu semua ada di surat Al-Maidah ayat 3. Sekaligus tempat dimana banjir air mata, karena disana pula kekasih Allah wafat, baginda rasul." Aisya menutup ceritanya barusan dengan meraih tumbler dari bagian samping tas miliknya yang digendong Ernest, rupanya banyak bicara di tengah kota yang cuacanya panas cukup bikin tenggorokan kering.
Ernest masih termangu dengan cerita Aisya barusan, sekaligus tak paham, "kamu percaya kalau Tuhanmu ada?" tanya Ernest, membuat Aisya terkejut bukan main atas pertanyaan yang dilontarkan Ernest, sampai-sampai ia tersedak .
Uhukk! Uhukk!
Refleks tangan Ernest memang baik, ia dengan cekatan menepuk-nepuk punggung Aisya pelan, "emh...hati-hati neng, apa perlu kutiup pucuk kepala kamu?" jelas Ernest tidak sedang bertanya karena kini ia sudah meraih kepala Aisya dengan kedua tangannya lalu menarik mendekat dan meniup ujung kepala yang tertutup kerudung itu, bahan tipis jilbab yang dipakai membuat hembusan sejuk kini menerpa kepala Aisya meskipun tak begitu terasa, memancing reaksi nyinyir dari Aisya yang menatap Ernest dengan mencibir, "ngaruh gitu? Mitos ah, kamu kaya enin-enin jaman dulu!" gadis itu tertawa renyah.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Lia Bagus
semoga ya ai.aamiin
2024-08-25
0
Happyy
😚😚😚
2023-11-04
1
Efrida
aku jg turunan minang
2023-09-02
0