Ernest melirik tautan tangan Caroline yang melingkar di perutnya erat, bukan rasa hangat atau vibes yang ia dapatkan, melainkan risih dan ilfeel. Tak ada rasa seperti yang ia dapatkan saat dekat dengan Aisya.
Mungkin jika tidak sedang mengendarai motor ia akan menghempaskan tangan Caroline dari sana.
Ernest membawa motornya tepat disaat jemaat lain masih banyak memarkirkan kendaraan, udara sejuk kawasan ini membuat pagi minggu cukup sejuk, meski ramai.
"Itu mobil om, tante sama mama-papa gue!" tunjuk gadis berdress hitam selutut, senada dengan kemeja hitam lengan panjang Ernest.
Ernest menyugar rambutnya lalu melihat ke arah sudut lain parkiran. Setelah menaruh helm di atas motornya, Ernest masuk ke dalam tempat ibadah.
Namun dengan tanpa aba-aba, Caroline menelusupkan tangannya melingkar di lengan Ernest, "Lin!" Ernest menepis.
Dengan raut wajah merengut Caroline mencebik, "kenapa sih Nest?!"
"Tadi juga meluk ngga apa-apa."
"Karena di motor gue fine-fine aja. Tapi sekarang kita di depan tempat ibadah. Please, hargai gue!" dengan wajah datar Ernest masuk duluan meninggalkan Caroline.
Sikap Ernest barusan membuat Caroline menghembuskan nafas kasar, kenapa sih Nest lo ngga bisa liat gue?! Gue kasih tau om tante tentang Aisya, lo baru tau!
Hawa dingin nan sejuk membuat damai suasana. Kursi-kursi kayu berderet membentuk dua baris di kiri kanan menghadap altar dengan sesuatu yang selama ini Ernest tau itulah sosok jelmaan Tuhan.
Di sudut kiri kedua orangtuanya, grandpa, adik-adik dan keluarga Caroline tengah duduk diantara puluhan jemaat lain. Ernest sengaja memilih duduk di bangku yang masih kosong dengan tidak bersatu dengan keluarganya, termasuk aga penuh, agar Caroline tidak membuntutinya.
Puji-pujian serta ayat Tuhan mulai mengisi setiap sudut tempat ibadah dan rongga hati setiap jemaat, bahkan ada diantaranya yang setia menitikkan air matanya. Tapi di tengah kekhusyuan ibadah, yang Ernest bayangkan bukannya merenungi dan bertasbih pada Tuhan-nya.
"Kamu tadi nanya, apa aku percaya pada Tuhanku?"
"Aku sangat percaya 1000 persen aku sangat meyakini dengan sepenuh jiwa. Dan inilah buktinya, alam semesta bersama seluruh isinya!"
Senyum Aisya menghiasi setiap helaan nafas yang saat ini Ernest hirup.
"Aisya! Tunggu, maksudnya dosamu itu aku apa?!"
Aisya membalikkan badannya masih diantara keramaian taman mini.
"Kamu bukan mahromku Ernest, tapi aku mau-maunya bersentuhan. Aku----" Terlihat sangat jelas nafas Aisya yang berburu.
"Aku berani menatap kamu lama, dengan perasaan yang beda!" akhirnya Aisya mengakui itu. Ernest mengulas senyumannya.
"Terus apa masalahnya?"
"Masalahnya kita tidak SEIMAN!" Aisya lantas berlari meninggalkan Ernest dan lebih memilih bergabung dengan Nistia.
Seiring semakin lantangnya nyanyian di hari minggu yang menggema di tempat ibadah, semakin keras pula suara Aisya di dalam otak Ernest.
"*Al-Baqarah 164, Al-Imran 190*...."
Suaranya lembut bak nyanyian alam, membuat Ernest terhanyut dalam dawai cinta yang menggebu pada sebuah keyakinan, ia jatuh cinta pada agama....
"*Q.S An-Najm ayat 49, dan sesungguhnya dialah Tuhan (yang memiliki) bintang Syi'raa*...."
Bagaimana jika grandpa tau, bagaimana jika kedua orangtuanya tau, dan seluruh keluarganya tau kalau Ernest mulai jatuh cinta pada Aisya dan agamanya.
Ernest menghampiri kedua orangtuanya yang tengah bercengkrama bersama sepasang suami istri dengan riangnya.
"Ini dia! Calon-calon suksesnya mas Edo! Nest, gimana-gimana nih, lancar kan buat OSN nya?" om Martin menepuk pundak Ernest.
"Pasti dong pa! Ernest selalu jadi kebanggan sekolah, iya kan Nest?!" seru Caroline.
"Ah, bisa saja! Caroline juga pinter!" jawab papa Edo.
"Mas Edo punya penerus yang mantep lah!"
"Gimana kalo kita makan bareng sekarang?!"
Ernest hanya mengulas senyuman kaku saja, "pa, grandpa mana?" tanya Ernest.
"Masih sama pas tor di dalem, kita tunggu sebentar. Nanti kamu pulang bareng Car----"
"Pa, Ernest mau ijin keluar. Ngga bisa anter Caroline, ada perlu sama Gibran sama Nistia," balas Ernest.
"Loh kok gitu?!" seru Caroline.
"Sorry Lin, gue mesti cari buku buat hafalan. Udah mepet soalnya waktunya, takut kegeser lagi nanti posisi," jelasnya yang sebenarnya ingin menghindari acara keluarga tak penting ini.
Om Martin tertawa garing, "oh ya ngga apa-apa. Toh Ernest juga belajar untuk OSN, iya to?"
Tatapan papanya cukup tajam namun tak mampu melarang Ernest.
"Apa harus sekarang Nest?" tanya mama Iren.
"Iya ma. Besok kalo sekolah susah carinya. Soalnya nyarinya di toko-toko buku lama, bisa jadi di toko bekas," jawabnya. Mata mereka kompak jatuh ke arah sosok tua namun berkharisma dengan kumis tebal dan kemeja putih lengan panjang.
"Ernest pamit dulu sama grandpa," pemuda ini berlari ke arah kakeknya bersamma seorang pas tor.
"Grandpa,"
"Ernest!"
"Nah ini dia cucu saya, Ernest!" ia tersenyum renyah, Ernest mengangguk dalam.
"Grandpa, maaf Ernest ngga bisa lama. Mau pamit karena ada keperluan,"
"Loh kok, cepet sekali? Belum ngobrol sama grandpa?"
"Iya grandpa, maaf ya. Lain kali Ernest ke rumah grandpa deh," ia meraih punggung tangan kakek dan salim takzim.
Tanpa tunggu lama, Ernest langsung melangkah menuju motornya.
"Ernest!" teriak Caroline.
"Sorry Lin, aku sibuk menjelang OSN." ia memutar kunci motor dan menghidupkannya.
"Jangan bilang kamu mau ketemu Aisya?!" matanya menatap tajam dan bersidekap dada. Ernest menghentikan sejenak langkah memundurkan si kuda besinya.
"Dan apa urusan lo?"
"Tentu jadi urusan gue Nest, lo ngga liat keluarga kita tuh deket banget Nest? Nest kamu tuh ngga sadar apa gimana, Aisya sama kamu tuh jauh?!"
"Jika jauh maka akan gue dekatkan," jawab Ernest mantap.
"Maksud lo?! Jangan gila Nest!" jerit Caroline berapi-api.
"Gue emang gila Lin, tapi gilanya gue beralasan. Dan sekarang lo minggir,"
"Nest!" sengitnya menahan motor Ernest.
"Lo tuh udah dipelet apa gimana?! Gimana kalo keluarga lo tau, keluarga Aisya?! Mereka ngga akan biarin ini terjadi!"
"Gue yang lebih hafal sama keluarga gue, Lin. Maka gue tau resikonya,"
"Wah, lo parah sii! Lo rela kaya gini cuma karena cewek kaya Aisya?!" namun Ernest tak menggubris ucapan Caroline, ia memilih pergi dari sana secepatnya.
"Ernest! !"
Pikirannya tengah terombang ambing dilema yang teramat kali ini. Biasanya jika begini, maka Aisya lah orang yang mampu memberinya ketenangan. Hingga saat ia berhenti di sebuah perempatan jalan, suatu suara membuatnya tersadar.
Yeah, itulah suara adzan dzuhur, seruan bagi umat muslim yang berkumandang dari sebuah masjid terdekat disana. Dari matanya Ernest melihat aktivitas yang sama selalu di lakukan oleh para umat baginda rasul itu sebelum solat, yaitu berwudhu.
"Ngapain juga mesti begitu tiap mau ibadah? Biar apa?!" gumamnya terhentikan oleh lampu merah yang sudah berubah hijau.
Lantas ia mengesampingkan motornya, mencoba menelfon Gibran, Ardi, Nistia dan Ajeng.
"*Gue traktir sepuasanya, asal temenin gue ketemu Aisya*,"
"Kuyyy!"
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Happyy
😊😊
2023-11-04
1
Fitria_194
caroline, hati org mana bisa dipaksa.
2023-04-08
1
Idku Nursaman
seru... semakin suka aq... aq nabung bab g percuma... habisin cerita si jaka dulu baru melipir ke mari...
2023-04-02
1