PELITA (SI PIPI MERONA)

Dengan membawa lembaran yang sama, Ernest keluar dari ruangan guru. Digulungnya kertas yang seharusnya di tanda tangani oleh sang papa atau mama. Ia terkekeh sendiri disaat tak ada siapapun ditengah pelajaran menuju bel pulang. Entah sengaja atau kebetulan, Tuhan sepertinya selalu memiliki cara untuk membuat dirinya dan Aisya menghabiskan waktu bersama.

Tuhan? Oh ayolah, bahkan ia tak ada disini bahkan untuk memperhatikan hidupnya.

Ernest mencangklok tasnya di sebelah pundak sesaat baru saja keluar dari kelas ditemani dengan riuh sedang teman-teman sekelas lainnya, candaan dan saling dorong-mendorong antara Duta dan Coki, entah apa yang membuat mereka bisa berdebat manja begitu, "lo yang *cepu*!"

"Enak aja, lo yang jual nama temen," keduanya masih saling dorong-dorong manja.

Ernest tak terlalu fokus pada tingkah keduanya, ia lebih peduli dengan selembar surat sekolah yang baru saja ia masukkan ke dalam tas hingga tangannya tiba-tiba saja terasa berat, "Nest, pulang bareng yuk! Papa--mama katanya udah lama ngga liat kamu ke rumah," senyuman manis gula biang dilemparkan Caroline yang bergelayut manja tanpa permisi di lengan Ernest.

"Lin," ia mencoba melepaskan lengannya yang berat bak digelantungin emaknya ba bbon, bahkan Caroline sudah memasang tampang manja nan cemberutnya, siapa tau bisa menjadi senjata untuk meluluhkan Ernest meski sekedar kata kasihan.

"Lin, gue ngga bisa. Gue mau keluar dulu," jawabannya beralasan, yang jelas ia malas saja harus mengantarkan Caroline pulang ke rumahnya, pasti akan drama penahanan oleh seluruh anggota keluarganya dengan mengatasnamakan papa-mama Ernest.

"Kalo gitu gue ikut, kemanapun lo pergi. Mumpung hari ini lagi bosen di rumah," jawabnya kekeh.

"Aduh Oline....sini sama aa Duta aja atuh gelayutinnya, si Ernest ngga mau tuh," colek Duta sontak membuat Caroline menatapnya sengit.

Coki tertawa, "iya pantes lo digelayutin. Kaya bapaknya monkey!" cibirnya, kembali keduanya saling toyor-menoyor. Ernest menggelengkan kepala, memang selalu begini kedua temannya itu.

"Lo colak colek, ngga sopan banget! Emangnya lo siapa mesti gue gelayutin!" sengak Caroline galak.

"Lin, lepasin...ini tangan gue berat!" pinta Ernest.

"Ihh, masa gini doang?!" ia bahkan sudah menaruh kepalanya di bahu Ernest agresif, membuat Ernest dapat mengeksplore keseluruhan lekukan wajah dan tubuh Caroline, bukan Ernest tak normal sebagai pemuda yang sudah puber, namun melihat Caroline begini bagi Ernest sudah biasa, tak jarang Caroline yang sering ikut dalam acara keluarga juga memakai bikinnii saat aktivitas berenang bersama.

"Lin!" tegur Ernest berusaha menjauhkan kepala Caroline tak nyaman, sebelum gadis itu lebih menempel lagi.

Sesosok gadis yang hari ini memakai swetter rajut berwarna pink manis itu menunggu jemputannya, ia masih berdiri bersama Retno dan Ayu tepat di pojokan gerbang sekolah sambil ketawa-tiwi. Lengkungan bibir Ernest sontak mengembang melihatnya.

Sadar akan tatapan Ernest lurus ke depan sana sambil tersenyum Caroline menepuk lengannya, "Nest! Ngapain sih liatin dia?!"

"Lo ngga seriusan kan suka sama Aisya?!" tanya Caroline memicu keterkejutan Duta, dan Coki.

Caroline memegang lengan Ernest dan mengguncangnya kuat, "inget Nest, dia itu jauh sama kamu!" sengitnya menyadarkan Ernest, mengingatkan Ernest pada kepahitan yang akan ia dapatkan nantinya. Seolah mengingatkan Ernest jangan banyak berkhayal atau bertindak nekat kali ini.

"Gue tau, terus kenapa? Bukan urusan lo," jawab Ernest, ucapan Caroline barusan entah kenapa membuat Ernest begitu kesal, ia sangat tau...tapi apakah pantas hati yang baru bersemi lalu disiram dengan racun hingga tandus?

Ernest mengibaskan tangannya dari genggaman tangan Caroline, "urus urusan masing-masing, lo memang kenal baik sama keluarga gue Lin, begitupun gue sangat menghargai keluarga lo. Tapi bukan berarti lo boleh acak-acak privasi dan urusan hati gue, gue tau lo peduli, thanks. Tapi biar ini gue yang urus!" jawab Ernest membuat Caroline diam dalam amarahnya.

"Ih, Ernest!" ia menghentakkan kali kesal saat Ernest justru dengan sengaja berlari meninggalkannya.

"Bye Aisya, assalamu'alaikum!" Retno yang sudah dijemput oleh ibunya dengan motor matic kini meninggalkan Aisya dan Ayu.

"Wa'alaikumsalam," Aisya melambai begitupun pada ibu Retno yang sudah mengangguk ramah, "hayokk atuh, Ai kapan main lagi ke rumah?!" tanya ibu Retno.

"Insya Allah lain kali bu," jawab Aisya lembut. Tatapan mata bulat itu mengikuti kepergian Retno.

Tak lama motor bebek dengan supir yang memakai jaket khas ojol berhenti tepat di depan Ayu dan Aisya.

"Dek Komang Ayu?"

"Iya pak,"

"Ai, yakin ngga mau pesen ojol aja?" Ayu menerima helm dari si bapak ojol.

Aisya menggeleng, "ngga apa-apa, biar aku nunggu umi sebentar lagi..." jawab Aisya.

"Ya udah, hati-hati nanti diterkam cowok ganteng!" tawanya.

"Om swastiastu, bye..." Ayu melambaikan tangannya.

"Wa'alaikum." gumamnya lembut namun masih dapat terdengar oleh Ayu.

"Wa'alaikum. Salamnya mana? Ngga lengkap tuh..." Aisya menoleh ke arah samping, dimana sesosok pemuda sudah berdiri di sampingnya, ia bahkan meminta Aisya pindah tempat karena posisinya saat ini riskan tersenggol orang.

"Nunggunya disitu, nanti kamu kesenggol sama ngalangin jalan orang..." ujar Ernest.

"Kamu belum pulang? Apa ada ekskul?" tanya Aisya menatapnya singkat lalu kembali ke arah jalanan yang masih terlihat sibuk dengan orang dan kendaraan yang berseliweran karena jam pulang.

"Tadinya mau pulang, tapi liat bidadari lagi berdiri di depan sekolah...sayang kalo dianggurin!" kekehnya membuat Aisya tersenyum simpul.

"Bisa ngga sih kalo ngomong ngga usah gombal ujungnya? Geli dengernya tau!"

Ernest menaikkan alisnya, "ini udah mode normal loh! Bawaannya kalo ngomong sama bidadari surga ya begini," senyum sejuta watt, ia lemparkan agar Aisya klepek-klepek, kaya ikan yang lompat ke daratan.

Bibit yang terlalu sering ditabur setidaknya akan ada satu yang tertanam, dan kini tengah di pupuk subur oleh Ernest.

"Oh iya, barusan aku sempet denger jawaban kamu beda antara Ayu sama Retno...kenapa bisa gitu? Wah, jangan-jangan kamu pilih kasih nih, antara yang satu *kaum* sama yang engga? Atau biar bisa ke'arab-araban? Terus sama aku apa dong nanti jawabannya? Pake sayang ngga?" tanya Ernest menggoda.

"Kamu tau ngga, salam yang kata kamu ke'arab-araban itu adalah salam paling indah yang ada di muka bumi," jawab Aisya.

Ernest mengangkat alisnya sebelah, ia menunduk demi melihat kini Aisya yang duduk di tembok sekolah dan meniru apa yang gadis ini lakukan.

"Bukannya semua salam agama sama aja artinya, semua salam punya artian sama." Jawab Ernest, karena setaunya begitu menurut pengakuan Coki.

Aisya menyunggingkan senyuman, "dalam kalimat assalamu'alaikum itu mengandung makna semoga keselamatan, rahmat Allah, dan keberkahannya terlimpah untukmu. Ada do'a mujarab di setiap kata assalamu'alaikum..." jelas Aisya menatap lurus ke arah jalanan ber-paving block yang dilalui para siswa.

"Dari hadist Abdullah bin 'Amr disebutkan, ia bertanya pada baginda rasul...wahai rasulullah amalan islam apa yang paling baik?" Aisya bercerita seperti sedang mendongeng pada anak kecil, tapi anehnya pemuda itu mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut manis gadis cantik ini.

Bahkan logat dan pembawaan Aisya layaknya pendongeng ulung di playgroup, "Beliau lantas menjawab...memberi makan (kepada orang yang membutuhkan) dan mengucapkan salam pada semua orang yang dikenali maupun tidak. (HR. Bukhari). Lalu apa hukumnya menjawab salam ya rasul? Wajib!"

"Bagi muslim itu wajib Ernest. Tapi kemudian riwayat lain mengatakan ada seorang Yahudi melintas dan menyapa rasulullah...assa-mu...alaikum!" Aisya kemudian menatap Ernest dengan mata tajam namun senyuman gemas, "kamu tau ngga artinya apa?" tanya Aisya.

Ernest menggeleng dengan senyuman simpul, ia bahkan sudah menopang dagunya dengan tangan demi memperhatikan gadis cantiknya bercerita.

"Artinya celakah engkau!" jawab Aisya membuat Ernest mengangkat kedua alis terkejut.

"Lantas para sahabat rasul berkata, ya rasul! Apakah harus kita bunuh saja yahudi itu?!" Ernest terkekeh-kekeh demi melihat Aisya yang mendongeng, menggemaskan sekali.

"Baginda menjawab, jangan! Jika mereka mengucapkan salam, maka jawablah wa'alaikum. Cukup itu, yang artinya *dan atas kalian*. Do'a yang sama untuk yang mengucapkan salam..."

"Sebenarnya assalamu'alaikum memang tidak diperkenankan untuk non muslim, Ernest." Aisya menunduk.

Raut redup Aisya memantik gurat penasaran dan menghujat dari Ernest, "tapi kemaren kamu..."

Aisya langsung mengangguk memotong ucapan Ernest yang belum selesai berbicara, "aku keceplosan. Abisnya kamu mancing-mancing, kamu bilang muslim itu sombong! Angkuh, jadinya kan bawaannya pengen do'ain!" ketusnya menggerutu membuat pipi merona itu semakin menggemaskan, Ernest sampai mengeratkan tangannya saking gemas.

"Kok pengen do'ain? Bukannya aku udah bilang kaum kamu sombong?" tanya Ernest penasaran, lebih tepatnya ia tak habis pikiran pemahaman darimana yang Aisya yakini. Karena dari segi apapun, secara tak langsung Ernest mempertanyakan dengan nada menghujat satu umat.

"Karena keyakinanku tidak mengajarkan umatnya untuk membalas dengan hal yang sama. Kamu tau ngga peribahasa--apa yang kita tanam apa yang kita tuai, maka suatu hari jika kejelekan yang kita sebar maka keburukan yang disemai tak akan ada habisnya, kalo terus terusan dibales kapan dong berakhirnya keburukan yang tadi?" jawab Aisya tersenyum usil, gadis itu kemudian berdiri saat melihat sosok seseorang yang ia kenali sedang berbincang dengan satpam untuk mencarinya.

"Umi!"

"Umi aku udah jemput. Aku duluan ya," gadis itu beranjak menyambut sang ibu berjilbab yang tersenyum sekilas ke arah Ernest. Ernest mengangguk dalam, ia tak heran Aisya mendapatkan kecantikannya darimana.

Ernest kemudian mengernyitkan dahi, ia beranjak ke arah motor gedenya seraya mencerna obrolan singkat dengan Aisya barusan, kok bikin asyik...lalu ada ajaran dan cerita apalagi dalam keyakinan yang Aisya anut? Hatinya terasa tersentil, Ernest merasa *interest* dengan keyakinan Aisya. Apakah keyakinan Aisya selembut itu, masuk di akal sehat, dan diterima nalar. Selama hidup dengan keyakinan berbeda terkadang ia sering bertanya-tanya apa alasan setiap amalan yang sering dilakukan keluarganya, tapi bahkan semua penjelasan grandpa tak menemukan titik terang di akal sehat Ernest, sementara Aisya....hanya 10 menit mereka berbicara tapi satu amalan sederhana saja dapat dijelaskan dan masuk di logika otaknya, memancing rasa kepuasan di diri Ernest atas pertanyaannya.

Jiwa logisnya bergejolak, semakin penasaran saja ia pada gadis berpipi merona dan berparas cantik itu dengan segala dunianya.

.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Happyy

Happyy

😚😚

2023-11-04

1

🩸bunga

🩸bunga

habis klepek klepek langsung koit nest 😁

2023-04-28

1

ᴍ֟፝ᴀʜ ᴇ •

ᴍ֟፝ᴀʜ ᴇ •

wah ernest mulai tertarik dgn agama ai,

2023-04-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!