Dengan wajah semangat 45, keempat remaja pejuang gratisan ini sudah menunggu Ernest di dekat komplek rumah Aisya. Di bawah pohon rindang kaya tukang cukur asgar. Siang-siang gini bikin alis mengernyit karena silau nan panas, ngga ada lagi gitu waktu yang paling yahud? Buat ngajak jalan, nunggu bedug ashar kek biar teduh. Emang kalo rindu udah kebelet mah mau cuaca sepanas di padang mahsyar juga aa tempuh demi neng.
"Siang-siang gini mah enaknya tidur Nest! Kalo mau ngapel kenapa ngga pilih malem aja!" tembak Gibran berjongkok di bawah pohon sukun.
"Terus lo pikir gue sebe go itu, ngajakin Aisya pergi malem-malem? Dikira gue demit mau nyulik anak orang. Yang ada belum juga ngajak, gue udah ditembak pake biji tasbe!"
"Kenapa ngga langsung ajak aja si Nest, to the point? Show the love with action!" tanya Ajeng, menatap lurus penuh percaya diri.
"Ck, kalian pikir si Aisya mau? Abi uminya ijinin anaknya pergi berduaan sama Ernest? Lagian kalo Ernest ajak langsung Aisya terus Aisyanya mau, kita semua ngga akan dapet traktiran siang ini!" jawab Ardi, sontak ketiganya tertawa mengangguk cepat, "bener juga!"
Sementara Ernest hanya mengehkeh mendengus sambil menggelengkan kepalanya, apapun alasannya hanya saja setelah Aisya mengatakan jika ia adalah dosa untuk Aisya. Rasanya Ernest perlu belajar memperlakukan wanita muslim dengan hormat, dan lebih menghargai, terjauh dari fitnah keji persis seperti yang dikatakan Aisya. Selama mengenal makhluk bernama perempuan, baru Aisyalah yang benar-benar menjaga kehormatannya, membuat Ernest semakin mengagumi sosok Aisya.
Mungkin ia juga perlu merogoh kantong cukup dalam untuk sekedar menemui Aisya di jam luar sekolah, tapi bagi otak realistisnya harga tak akan menipu, apapun yang mahal harganya pasti akan memuaskan. Ada harga mahal yang harus ia bayar untuk dekat dengan Aisya.
"Aisya!"
"Permisi!"
"Paket Sya!"
Mereka cekikikan di luar pagar rumah.
"Siapa itu?" umi mengernyitkan dahi disaat tengah mengecek list barang-barang yang akan dibawa minggu depan untuk umroh.
Aisya yang duduk saja di sofa sambil bermain gadget dan memperhatikan umi tak begitu peduli, sementara Raudhah memainkan rambut adiknya sembari bibir yang manyun karena batal bertemu dengan Ahsan.
"Aisya!"
Sayup-sayup terdengar namanya dipanggil oleh Gibran dan Ardi, Aisya langsung terdiam dan menatap penuh mencermati, namun rupanya pendengaran Raudhah cukup tajam untuk mengetahui jika yang memanggil adalah suara lelaki. Mendengar itu, Raudhah langsung bangkit dan melompat dari sofa menuju pintu rumah.
"Ih teteh!" Aisya yang panik segera menaruh gadget miliknya dan menyambar kerudung instan lalu memakainya.
Ceklek
Raudhah tersenyum usil terkesan cekikikan seraya membuka dan menyambut teman-teman Aisya.
Melihat seseorang membuka pintu rumah, Ernest dan yang lain menoleh ke arah rumah, meski awalnya ia langsung terkesiap dan berharap itu adalah sang pujaan hati kini dibuat gugup karena jelas itu bukan Aisya.
Seseorang mirip Aisya namun versi beberapa tahun kemudian.
"Assalamu'alaikum teh," angguk mereka menyapa.
"Wa'alaikumsalam. Kalian temennya Ai? Sekolah atau les?" tanya nya antusias.
"Temen sekolah teh, kebetulan satu tim di OSN juga," jawab Nistia.
"Oh," Raudhah membuka pagar rumah seraya mengamati satu persatu dari kelima anak yang kini ada di depannya, hanya saja ada satu yang membuatnya tertarik, satu pemuda kece badai yang harus ia katakan apa? Mungkin calon-calon the most di kampusnya nanti ataukah anggota Senat idola?! Dengan kemeja hitam ia terlihat menawan.
*Apa sih Raudhah, kan lo udah punya Ahsan! Masa suka sama bocah*!
"Saya Gibran teh,"
"Saya Ardi,"
"Aku Nistia,"
"Ajeng,"
Ernest maju ke depan, "Ernest. Aisyanya ada kak?" tembaknya to the point. Well, pertanyaan sangat jelas itu membuat Raudhah semakin mengerucutkan pengamatannya pada Ernest.
"Ada. Dia lagi---"
"Teteh!" teriak Aisya.
"Dipanggil umi!" bohongnya berjalan cepat, jangan sampai teh Raudhah tau siapa Ernest dan sejauh apa hubungannya dengan Ernest, serta sebelum si pemuda absurd itu keceplosan sesuatu yang membuat Raudhah curiga.
"Ah bohong!" jawab Raudhah tak percaya.
Aisya berjalan dengan bibir manyun, "Oh ya, aku mau nanya deh! Dari kalian, siapa yang dulu pernah kirim bunga sama makanan ke sini? Makasih loh, enak banget donatnya!" tawanya membuat kelima anak ini terbengong tak mengerti seraya menatap satu sama lain.
Tapi disaat yang lain kebingungan, Ernest tiba-tiba buka suara, "sama-sama kak."
"Cilaka 12!" Aisya menepuk jidatnya.
*Kena kamu*! Raudhah menyeringai.
"Teteh ihhhh!" geramnya.
"Suka kepo urusan orang! Pamali tau!" Aisya mencebik kesal. "Umi manggil, suruh cuci piring!" pintanya.
"*I catch you*!" bisiknya pada Aisya.
"Ya udah deh, teteh masuk ya! Umiiii ada si temennya Aisya loh!" teriaknya menggoda.
"Ihhh, teteh! Aku aduin ya kalo teteh pacaran sama bang Ahsan!" jeritnya tak kalah kencang.
"Ngapain kesini?!" tanya Aisya.
"Hay Ai,"
"Emhh, mulai nih jadi kacong!" imbuh Gibran berdecak.
"Hah? Ben conk?!" tanya Ardi.
"Kacong saravvv, kambing conge!" toyor Ajeng.
"Sambil jajan kali Nest, pegel nih kaki!" sindir Nistia sudah melompat-lompat sebagai kode mereka butuh amunisi untuk jadi setan diantara Aisya dan Ernest.
"Aisya, jalan yuk! Sekalian cari buku buat hafalan, mereka juga butuh di suap buat mau nemenin," Ernest melebarkan senyuman dan menaik turunkan alisnya.
Aisya tertawa kecil, "kamu manggil mereka buat kesini?"
"Heem lah Ai, gue yang lagi ngitungin awan ditelfon Ernest tengah hari begini buat nyamper kamu,"
Aisya mengulas senyuman, sampai begini perjuangan Ernest atas perasaannya.
"Kalo gitu aku ijin umi dulu ya, sambil ganti baju dulu! Eh iya, kalian masuk dulu deh!" ajak Aisya.
Sejuk, menenangkan nan tenang, begitulah kesan yang terpatri di relung hati Ernest saat ia memasuki ruang tamu rumah Aisya.
Tak lebih besar ataupun lebih mewah dibanding rumahnya tapi ada sesuatu yang berbeda, entah apa?!
"Kata orang nih ya, kalo rumahnya adem gini, nenangin...itu artinya yang punya rumah suka ngaji!" bisik Gibran.
"Heem, kata ibu gue juga gitu!" angguk Ajeng setuju, mereka duduk di sofa depan.
"Lah, kalo gue ke rumah lo panas Gib. Berarti lo jarang ngaji, banyak se tannya!" bisik Ernest.
"Hahahaha!" mereka meledakan tawanya seketika.
"Kamvreett, panas soalnya atap rumah gue pake asbes," jawab Gibran.
"Mau kemana sih?"
"Mau cari buku umi, buat belajar menjelang OSN minggu depan!"
"Halah boong tuh mi, Ai mau pacaran, cieee!" goda Raudhah.
Umi menggelengkan kepalanya melihat kedua adik kaka itu bertengkar, lalu ia melangkah menuju ruang tamu.
"Assalamualaikum, umi!"
Ernest mengangguk dalam tanpa mengucapkan salam, "bu."
"Yang ini...." umi seperti sedang mengingat-ingat.
"Nistia umi," tembak Nistia.
"Ah, iya Nistia..."
"Gibran, umi..."
"Ajeng..."
"Ardi yang ganteng umi..."
"Huu!"
Umi tersenyum dan saat tiba saatnya Ernest, pemuda itu meraih tangan umi, "Ernest bu,"
Ditatapnya lama oleh wanita berjuluk ibu dari Aisya itu membuat Ernest gugup setengah matii.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Happyy
💖💖
2023-11-04
1
Han Lifa
camer ya Nest😍 aminnn😁
2023-05-08
1
Han Lifa
😂😂😂😂😂😂😂
2023-05-08
1