Tak pernah terbayangkan untuk Aisya bisa mengobrol panjang lebar, menjelaskan sesuatu dalam waktu yang hanya beberapa puluh menit saja dengan Ernest.
Tiba-tiba saja, secara sukarela Aisya merasa begitu akrab seperti sudah mengenal lama dengan pemuda itu. Pemuda yang awalnya begitu ia hindari dan tolak mentah-mentah.
Aisya menyerahkan selembar surat berkop surat logo sekolah beserta permohonan ijin atas kunjungan yang akan digelar, dengan kolom tanda tangan orangtua siswa yang bersangkutan di akhir kata. Tanpa ragu umi membubuhkan tekennya setelah membaca isi kunjungan itu akan diadakan di akhir pekan dengan tujuan Taman Mini Indonesia Indah. Lalu Aisya simpan baik-baik surat itu.
"Tumben taun sekarang mah meni totalitas dukungannya, donatur siapa emangnya?" umi menaruh piring berisi capcay yang baru saja matang. Capcay umi emang paling best dengan segala isian sayuran yang masih nampak segar tak layu, dilengkapi udang, tofu dan baso, yummy!
Aisya menyendok nasi dan lauknya sebelum nanti ia harus bersiap-siap ke tempat les. Perputaran aktivitas Aisya sehari-hari ya di 4 tempat yang itu-itu saja, sekolah, pengajian, tempat bimbel dan rumah, mungkin cukup membosankan bagi sebagian anak, tapi tidak dengan Aisya. Definisi gadis rumahan dan tak neko-neko.
Sebelum ia berangkat bimbel diantar umi yang seorang multi talenta... chef bisa, tukang ojek hayuk, dokter juga iya ke tempat dimana ia bimbel. Terlebih dahulu ia mengisi asupan nutrisinya biar otaknya kuat nopang ilmu, ngga berat sebelah.
"Ngga tau." Jawabnya singkat, karena bukan siapa dan apa alasan sekolah mengadakan kunjungan yang ia pikirkan saat ini, ia lebih tertarik memikirkan jika nantinya ia akan pergi kesana bersama siapa.
Segaris senyuman gadis remaja itu tersungging dengan manisnya. Rupanya bibit Ernest sudah mulai berakar di dalam relung hati.
°°°°°°
Aisya memasukkan setiap bekal yang dibutuhkan, seperti minuman, cemilan dan kaos ganti tak lupa otak yang waras, karena ngadepin Ernest butuh otak yang sehat biar ngga ikut oleng nantinya. Ernest?? Ayolah! Pikirannya udah ke Ernest aja.
"Jangan lupa uang sama hape simpen di tempat aman, kalo perlu dompetnya di rantein!" pesan ibu memanglah selalu seheboh itu jika anaknya hendak pergi sendiri ke keramaian. Seolah bumi adalah tempat paling kejam diantara gugusan bima sakti, dan sisanya lembah beracun.
"Cie, anak tk mau tamasya!" goda Raudhah yang pagi itu memilih bersantai di rumah membantu umi, berhubung sabtu ini tak ada jadwal kuliah dan kegiatan forum lainnya.
Celana piyama kaos jadi pilihan Raudhah bersama kerudung instan biru, awalnya rencananya malam minggu ini ingin bertemu Ahsan, tapi berhubung si orang ketiganya mau jelong-jelong sambil belajar ke taman mini jadinya acara mereka harus diundur.
"Biarin. Biar ngga kodim!" jawab Aisya dengan kerudung segitiga warna birunya, ia sampirkan ujungnya dan menautkan sebuah bros di bagian dada kiri. kodim--kolot di imah [ jadi tua di rumah ]
"Cih," Raudhah berdecih seraya memutar matanya malas, adiknya itu selalu punya jawaban untuk membalas. Ia kemudian keluar untuk memanaskan motor di carport.
"Abi, ngga pengen kasih uang jajan lebih gitu takutnya air minum disana harganya jadi 50 ribu sebotol?!" teriak Aisya saat abi baru saja keluar dari kamar dengan membawa buku tebal berwarna putih, majmu syarif.
"Engga makasih," jawab abi'nya. Sontak aja Raudhah dan Ikhwan tertawa melihat muka kecut adiknya itu.
"Nih, aa kasih uang jajan tambahan tapi kalo anak kecil mah 2 ribu aja, jangan banyak-banyak!" godanya mengeluarkan selembar uang abu dimana tokoh nasionalnya cemberut mirip Aisya sekarang yang tengah digoda.
"Kalo ngga ikhlas mendingan ngga usah. Uang Ai dari abi lebih banyak dari itu," manyunnya.
"Ikhlas ih, makanya aa ngasih sama Ai."
"Engga ah, itu mah Ai sedekahin aja buat aa!" jawabnya, Ai memang selalu di bully oleh kedua kakaknya, tapi ia tak pernah mau kalah, dan itu yang selalu menjadi hiburan di rumah ini.
"Hati-hati neng, mukena dibawa ngga?" tanya umi.
Aisya mengangguk, "dibawa." Mukena berbahan tipis dan ringan selalu ia bawa kemanapun saat dalam perjalanan termasuk ke sekolah.
"Batre ponsel penuh? Awas disana jangan ceroboh," lanjut abi saat Aisya meraih punggung tangannya untuk ia kecup.
"Udah abi. Ai pergi dulu, assalamu'alaikum!"
Kini ia bergantian menyalami umi, teh Arin dan a Ikhwan.
Berhubung hari ini Raudhah yang libur, maka tugas umi sebagai ojek Aisya diemban olehnya.
Gadis berusia 20 tahun ini melapisi baju dengan swetter tipis dan memakai helm tanpa mau repot-repot mengganti terlebih dahulu piyamanya.
"Ai pergi ya, assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam."
Dipegangnya pundak sang kakak sebagai tumpuan lalu ia naik ke atas motor matic, diantara suasana yang belum terang...keduanya keluar dari rumah.
"Tadinya teteh mau ketemu Ahsan, tapi dibatalin soalnya kamu mau ke tmii..." Raudhah buka suara seraya gerakan tangan membelokan stir motor melewati blok-blok di komplek perumahannya.
Aisya tertawa kecil, "ya udah, ngapelnya ke rumah aja. Biar sekalian ditanyain kapan mau khitbah?!"
"Ck. Itu mah setor nyawa---auto di suruh putus sama abi, umi apalagi aa..." jawab Raudhah mengomel.
"Ya lagian teteh, udah tau ngga boleh pacaran masih nekat. Bener kata aa, kalo memang niat serius mah sok datang ke rumah, bawa orangtuanya khitbah perempuannya, bukan cuma berani ngajak jalan doang, terus nanti ujungnya ditinggalin bikin sakit hati..." jawab Aisya.
"Ya engga gitu juga konsepnya. Namanya juga penjajakan, nyari yang cocok. Kalo di khitbah terus ternyata pas nikah ngga cocok kan malah memicu perceraian," alibinya berargumen. Sesekali Raudhah menghentikkan laju motor disaat laju jalanan tersendat entah karena antrean kendaraan ataupun lampu stop'an.
"Terserah teteh lah. Ai ngga terlalu paham kalo diajak debat gini. Masih polos," Jawabnya terkekeh.
"Emang kamu ngga ada gitu temen cowok yang di demenin di sekolah? Biasanya masa-masa SMA tuh masa paling indah karena nemu temen, moment sama temen tapi demen yang paling manis. Masa ngga ada rasa-rasa suka sama lawan jenis? Atau seenggaknya ada temen cowok yang deket, itu yang waktu kemaren ngirimin bunga sama makanan ke rumah, siapa tuh?!" tanya Raudhah, sontak saja Aisya merasa tersentak dan terlucuti oleh pertanyaan Raudhah, mungkin jika seseorang yang sama, Aisya tak akan ragu menjawab pertanyaan kakaknya ini, tapi masalahnya Ernest....Aisya menunduk dan menggeleng, "ngga ada. Ngga tau, ngga kenal," tukasnya takit diserobot lagi dengan tembakan lebih mematikan teh Raudhah.
Aisya berdadah ria pada teh Raudhah yang sudah berlalu pergi. Sebuah mobil bus sudah disiapkan untuk kepergian mereka, riuh sedang dari anak-anak calon jenius sekolah mengiringi persiapan kepergian mereka.
Aisya mengeratkan tali tas gendongnya hendak melangkah ke arah Nistia, namun sesosok tangan menyodorkan gelas cup ciri khas bread point sebuah minimarket berisi coklat panas yang masih mengepulkan asapnya tepat di depan Aisya hingga gadis itu mengerem langkahnya pakem.
Lantas ia mendongak pada si pemilik tangan dengan hoddie hitam yang tak lain adalah Ernest, "udah sarapan?"
Aisya tersenyum bertanya balik, "emangnya kamu belum?"
Ernest menggeleng, "ngga sempet," jawabnya singkat, "kalo gitu temenin aku," tanpa repot-repot menunggu jawaban Aisya, ia menarik tangan gadis itu untuk duduk bergabung dengan Gibran, Nistia dan anak lain yang masih berada di luar bus untuk sekedar melakukan hal yang sama.
"Eh,"
"Sarapan Ai," tawar Gibran mengangkat sendok berisi nasi kuning yang akan dilahapnya.
Aisya mengangguk singkat, "monggo. Ai udah, makasih."
Rupanya karena harus pergi sepagi ini, banyak dari mereka yang tak sempat sarapan di rumah dan lebih memilih membekal sarapannya.
Ernest mengangsurkan kresek putih minimarket berisi roti dan camilan lain, "buat bekel di perjalanan, pegang." Benar, pemuda ini sepertinya mampir terlebih dahulu ke minimarket 24 jam untuk membeli makanan.
"Buat aku? Tapi aku udah bawa," tanya Aisya mengguncangkan tasnya dengan menggidikan pundak demi menunjukkan tas miliknya yang berisi bekal.
"Buat kita, aku ngga bawa tas soalnya," jawab Ernest beralibi sambil nyengir lebar membuat Aisya mengerutkan dahinya tak mengerti namun tak urung menarik kresek itu ke dalam dekapannya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Berat ngga? Nanti disana biar tasnya aku yang bawa," ujar Ernest.
"Haduhhh, berasa jadi lope di tengah ini mah, euy!" goda Gibran, dikekehi lainnya. Ernest menyeringai sementara Aisya hanya menunduk dalam.
"Heem, gemes sendiri gue! Ah!" Nistia bahkan memukul-mukul bahu Gibran saking gemasnya.
Pak Wage keluar bersama 2 guru lain dari arah ruang guru membawa serta pengeras suara mirip dengan yang dipakai Ernest untuk menyatakan cintanya waktu lalu.
"Tes!"
"Diberitahukan buat anak-anak, silahkan berbaris, di absen dulu ya! Yang sudah disebutkan namanya masuk satu persatu ke dalam bis,"
Aisya baru sadar maksud dari *bekal kita* itu ternyata Ernest sudah menarik tangannya, "duduk bareng aku ya?!" wajah ganteng ala remaja itu menaik turunkan alisnya dan tersenyum geli, rupanya bekal bersama ini adalah akal-akalan Ernest agar bisa bersama Aisya saban hari.
"Kamu tuh sengaja ya ngga bawa tas?" Aisya mengangkat tinggi alisnya dengan wajah sengit.
Ernest terkekeh tak menjawab dengan tebakan tepat Aisya.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Happyy
💖💖
2023-11-04
1
Han Lifa
semua ibu kek gitu😍 ngalamin sendiri, kalau anak sekolah segala pesan disampaikan dan disugestikan🤭 yang mendengarkan, kadang mendengerkan kadang tidak sepertinya, tapi ya sudahlah tergantung mood anak dipagi hari intinya ibu² mah cerewet kejalur yang baik untuk anak²nya😍❤❤❤❤❤❤❤
2023-05-08
1
π!!
sengaja banget ai
2023-04-28
1