"Assalamu'alaikum umi ! !"
"Umi ya umiiii ! !" teriak Aisya, ia menaruh tasnya begitu saja di sofa tengah, dengan masih berbalut sepatu ia langsung menyerbu kucing jenis persia himalayan miliknya yang ia beri nama Sachi. Kucing lucu dengan hidung pesek ini berlari begitu mendengar suara Aisya.
"Sachiii! Sini sayang--sini, kamu udah dikasih makan belum sama umi?" ia menimang Sachi layaknya menimang bayi, mengangkat dan mengejar Sachi yang berlari dan menghambur ke arah sembarang membuat kalung di lehernya bergemirincing. Sachi adalah hadiah miladnya dari a Ikhwan sang kakak.
"Pulang sekolah tuh buka dulu seragamnya, sepatu...baru pegang Sachi...jadwal groomingnya kapan?" seorang perempuan dengan raut wajah lembut nan cantik meski keriput di ekor mata tak dapat dihindari lagi di usia hampir 50nya itu harus selalu speak up--speak up bernada tegas kalau si bungsu pulang. Umi memasukkan puding untuk berbuka nanti, kebetulan di rumah ini abi, Aisya, dirinya dan putra melakukan puasa Senin-kamis bersama.
"Besok," jawab Aisya singkat mengusap bulu lembut putih dan abu Sachi.
"Umi jadi nih pergi umroh?" Aisya melepaskan Sachi yang kembali berlari ke arah dapur.
"Jadi, kan kemarin abi udah beresin pembayarannya sama Al-Jabar Tour,"
Aisya membuka kerudung putihnya dan menampakkan sesuatu keindahan yang memang seharusnya ia simpan untuk mahromnya.
"Terus, Ai OSN ngga ada dukungan dari umi sama abi? Tega ih! Anaknya mau OSN pada pergi," ketusnya menggerutu menjatuhkan diri di sofa lalu membuka sepatunya.
"Meni lebay, kaya di rumah ditinggalin sebatang kara aja. Kan ada a Ikhwan, ada teh Arin, ada teh Raudhah. Umi sama abi dukungnya pake jalur langit, di Mekkah, biar lebih afdol!" alis umi naik turun.
Aisya tertawa, "hebat ya...ketimbang ikut OSN aja pake ada dukungan jalur langit! Ha-ha-ha,"
"Iya dong, tos dulu! Sugan weh atuh sekarang mah sampe tingkat nasional, terus melenggang tingkat Internasional, wah, hebat! Bayangin... Aisya Nurul Huda anak bapak haji Rabbani Huda terbang ke LN mengikuti olimpiade sains tingkat Internasional, menyisihkan negara-negara asia lain..." (semoga aja atuh)
"Huuu! Ngarep dotkom!" tiba-tiba saja wajah Aisya yang sedang melambung ke angkasa membayangkan ucapan halusinasi umi diusap kasar oleh teh Raudhah, kakak keduanya yang baru saja pulang kuliah.
"Assalamu'alaikum!" ia salim takzim pada umi.
"Wa'alaikumsalam," balas umi.
"Teteh ih! Aku udah terbang jauh malah dijatohin, ngga sopan! Bukannya di do'ain adeknya sukses malah dibully!" omelnya sewot, sementara Raudhah tertawa dan kabur masuk ke dalam kamarnya sambil memeletkan lidah. Aisya boleh pendiam, tapi itu di luar! Di sini ia adalah anak abi-umi yang manja, cerewet dan bahan rujakan kedua kakaknya. Umi sudah biasa dengan pertengkaran ketiga anaknya itu, selalu Aisya yang menjadi bahan kejahilan kedua kakaknya entah karena bungsu atau memang Aisya sangat mudah terpancing emosinya.
"Ck, ngeselin deh ah! Udah ah, ke kamar dulu...mau rebahan, sambil nunggu buka!" ia beranjak dari duduknya melangkah menuju lantai atas dimana kamarnya dan Raudhah berada, para jomblowati di rumah ini tempatnya ya diatas, sementara untuk pasangan ganda campuran di atas...demi kesejahteraan bersama biar tak ada drama kuping panas atau otak travelling ke arah macam-macam.
Pemuda ini menghela nafasnya, selalu seperti ini jika pulang...kedua orangtuanya bekerja, di rumah hanya ada asisten rumah tangga, kedua adik lelakinya yang masih di bangku SMP dan SD itu pun jika mereka tak sibuk dengan kegiatan dunia mereka. Lalu kakak perempuan pertamanya? Sudah menikah dan pisah rumah. Ernest bukanlah anak broken justru terkesan harmonis, namun keadaan rumahnya selalu sepi jika menuju sore begini, paling-paling ramai jika hari sudah mulai gelap.
Ia berjalan menapaki tangga yang beralaskan kayu jati masih dengan kaos kakinya, menatap satu persatu barang yang di tempel mama di dinding.
Ada Juru selamat yang selalu menghiasi rumah di setiap sudut ruangan rumah mewahnya, tak lupa lukisan berframe indah yang menampilkan kebesaran Tuhannya saat kenaikannya dulu ke langit.
Dibukanya pintu hitam kamar Ernest, kembali otaknya me-rewind kejadian seharian ini demi mengingat kesalahan apa yang telah ia perbuat agar tak mengulanginya di kemudian hari, namun yang selalu ada dalam bayangannya adalah gadis berjilbab putih, Aisya pipi merona dan mata bulatnya. Bukan soal latihan OSN apalagi teknis pelaksanaannya, ada segaris senyum dan begitu banyak pertanyaan di benak Ernest tentang dunianya dan dunia Aisya.
Keyakinan...kenapa ia harus memiliki perasaan suka pada gadis yang berbeda keyakinan dengannya. Lagipula, apa sulitnya seperti orang lain?! Aisya saja yang repot dan lebay!
"Prinsip," Ernest mendengus mencibir.
*Minta dan adukan semuanya pada Tuhan*, kalimat religius dari seorang yang begitu religius yang ada di keluarganya, grandpa.
Tapi apakah Tuhan akan mengabulkan permintaannya, secara...ia saja bukan hamba yang religius dan taat, satu kali seminggu saja ia kadang tak datang ke tempat ibadah dan lebih memilih menghabiskan waktu berolahraga pagi. Lantas apakah Tuhan Aisya pun rela mengabulkan permintaan dan memberikan salah satu hambanya untuk Ernest.
Cinta memang bikin pusing, harus melibatkan perasaan. Ngomong-ngomong soal perasaan hari ini si pemilik tahta hatinya sedang berpuasa, dan sebentar lagi akan berbuka, Ernest mencari ponsel miliknya dan mulai mengetik memesan sesuatu. Per set an dengan keyakinan, yang jelas hati manusianya mengatakan, *ia jatuh cinta pada Aisya*.
Ting nong!
"Permisi! Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam, ya!!! Sebentar!"
Di rumah ini tak ada asisten rumah tangga, abi dan umi rasa tak perlu memakai jasa asisten rumah tangga mengingat jumlah personel keluarga yang banyak untuk sekedar mengerjakan tugas rumah.
"Coba diliat dulu Ai, di depan ada siapa?!" umi meminta Aisya mengingat ia yang sibuk memasak ditemani Raudhah yang mencuci wadah kotor, sementara gadis ini hanya sibuk melihat umi seraya bermain dengan Sachi.
"Iya," Gadis itu berjalan ke arah depan dengan membawa Sachi di gendongannya. Tapi belum ia menyambut tamu yang datang, pintu sudah terbuka oleh teh Arin sang kakak ipar.
"Hubby, sini dulu!" panggilnya pada Ikhwan, membuat Aisya ikut penasaran dan mengerutkan dahinya.
"Kenapa?" balas a Ikhwan berteriak menyambut dari arah kamar yang baru saja keluar berganti pakaian.
"Ini ada paket, tapi karangan bunga kaya buat grand opening!" jawabnya saat Ikhwan sudah berada di depan.
"Aisya mana? Ai! !" Arin memanjangkan lehernya mencari Aisya seakan ini semua adalah ulah Aisya.
"Kenapa teh?" Aisya semakin mempercepat langkahnya menyerbu ruang depan.
Dua punggung kakak ipar dan kakaknya langsung tersaji di gawang pintu rumah sedang bicara bersama kurir paket dengan nada bicara kekeh sumekeh.
"Ini siapa pengirimnya sih mas?" tanya Ikhwan.
"Disini ditulisnya temennya Aisya," ucap si kurir menunjukkan kertas nota pengiriman dari florist ternama di Bandung.
"Bwahahaha!" Arin tertawa kencang melihat ini, ia lantas menutup mulutnya rapat-rapat ke arah belakang, dan menarik Aisya untuk menyaksikan, "kamu sini, liat nih..."
Mata bulat itu semakin membulat sempurna saat kini di depan teras rumahnya berdiri cantik rangkaian bunga macam ucapan selamat pembukaan tempat usaha baru dengan ucapan.
...Selamat berbuka puasa untuk Aisya...
...Temennya Aisya,...
"Iya temennya tuh siapa, mas?" tanya Ikhwan kekeh.
"Tapi disini ditulisnya cuma temennya Aisya aja mas, masalah siapa-siapanya saya ngga tau, cuma toko yang tau," jawabnya tak kalah kekeh.
"Salah orang kali, mas... Disini ngga ada grand opening apa-apa..." balas Ikhwan.
"Ini bener kan alamat sini?" tanya si kurir tak mau kalah, Ikhwan mengangguk, "iya bener! Aisya juga adik saya, tapi..."Ikhwan sampai berpikir keras. Arin masih tertawa-tawa dengan hal ini.
"Ai, ini temen kamu yang kirim?" tanya Ikhwan kini menatap sengit adiknya.
"Mana Ai tau," Aisya mengernyit kebingungan namun pandangannya tak sedetik pun lepas dari karangan bunga setinggi hampir 2 meter ini sambil tertawa-tawa kecil.
"Kalo gitu saya permisi mas, yang penting kan paket sudah saya antar...mas juga ngga perlu bayar soalnya sudah dibayar di muka. Assalamu'alaikum.." Si tukang bunga pergi begitu saja dari rumah Aisya.
"Wa'alaikumsalam," jawab ketiganya.
"Abi!" panggil Ikhwan, sementara Arin masih tertawa-tawa bersama Aisya.
"Siapapun yang kirim ini, dia kocak orangnya, orang kasih tuh setangkai, sebucket ini sekebon! Sweet tau ngga!" bisik Arin masuk ke dalam menyusul suaminya.
Aisya menatap bunga itu sambil menggelengkan kepalanya, "Ernest,"
Aisya masih berada di teras hingga seseorang kembali menyapanya dari luar pagar.
"Permisi, apa betul ini rumah Aisya Nurul Huda?"
"Iya betul," angguk Aisya.
"Oh, ini dek...pesanannya..."
Aisya kembali terbengong, "apalagi nih?"
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Kirana di Nabastala
ternyata q udah baca yg ke-2 ini/Joyful/, soale bagus e ceritanya, semangat kakak
2024-11-10
0
Happyy
😁😁😁
2023-11-04
1
Kawaii 😍
ngucapin selamat berbuka aja pakai karangan bunga. hahaha🤣
2023-10-09
1