*Kemarahan Ikbal*
Sore itu, ketika waktu sudah semakin larut, pak Erwin pun menginstruksikan kepada murid-muridnya untuk mengakhiri sesi latihan hari ini.
“Anak-anak… kita istirahat dulu ya. Besok kita lanjut lagi latihannya.” Ujar pak Erwin menginstruksikan kepada murid-muridnya.
“Oh iya Disma… Besok bapak tunggu disini jam 3 sore ya.” Ujar pak Erwin kepada Disma.
“Siap pak… besok jam 3 sore saya usahakan kesini” Sahutnya.
“Ya udah pak… kita permisi dulu ya.” Ujar Darma kepada guru Disma.
“Iya dik… makasih ya.” Sahut pak Erwin kepada Darma.
Setelah berpamitan kepada pak Erwin. Disma dan Darma pun dengan segera meninggalkan tempat itu untuk balik ke-rumah mereka. Dan seketika, Disma pun berkata kepada sang kakak:
“Bang.” Ujar Disma.
“Iya dek” Ujar Darma menyahuti adiknya itu.
“Besok gimana ya bang. Apa Darma masih bisa ikut latihan.?” Tanya Darma kepada sang kakak.
“Ya bisa dong dek… pokoknya kamu itu harus tetap ikut latihan, gak boleh gak.” Jawab Darma.
“Tapi… gimana caranya bang? Alasan apalagi yang kita kasih ke ibu besok.” Ujarnya.
“Udah… kamu gak usah mikirin itu. Pokoknya masalah ibu biar abang yang pikirin” Sahut Darma meyakinkan Disma jika ia tetap bisa ikut latihan.
“Pokoknya… kamu pokus ajah sama latihan kamu ya.” Lanjutnya.
“Hemm.. iya bang.” Ujar Disma yang percaya dengan sang kakak.
Setibanya dirumah. Terlihat, ibu Siti sedang duduk merenung di teras rumahnya, dan pada saat itu Disma dan Darma yang melihat sang ibu itupun seketika memberikan salam.
“Assalamualaikum bu.” Ujar Disma dan Darma sembari menghampiri sang ibu untuk memberi salim kepadanya.
“Walaikumsalam.” Ujar ibu Siti yang juga menyambut saliman tangan sang anak.
“Ibu kok diluar.?” Tanya Darma.
“Gak apa-apa kok… ini ibu lagi duduk santai ajah sembari nunggu Ba’da Magrib.” Ujarnya.
“Oh… Ya udah kalau gitu, kita masuk deluan ya bu.” Ujar Darma lagi yang ingin buru-buru masuk kedalam rumah karena takut jika sang ibu banyak melontarkan pertanyaan kepada mereka nantinya.
“Eh, eh bentar…” Ujar ibu Siti menahan anaknya.
Dan benar saja, apa yang ditakutkan Darma itupun terjadi. Ibu Siti pun dengan sigap menahan anaknya masuk kerumah dan sepertinya ingin mengintrogasi kedua anaknya itu.
“Kalian kok lama banget. Pedahal dari tadi siang loh kalian jalan, ini sudah jam berapa kalian baru balik.” Lanjut ibu Siti menanyakan.
“Ewhhh. Itu bu.” Ucap Disma yang bermaksud ingin menjawab pertanyaan sang ibu.
Namun, Sang kakak yang melihat Disma seperti gugup dalam menjawab pertanyaan ibunya itupun sontak memtong perkataan Disma dan iapun dengan sigap menjawab pertanyaan dari ibu Siti.
“Iya bu. Soalnya, barang-barang teman Darma itu banyak banget. Makanya, aku dan Disma telat pulang.” Ujar Darma menjelaskan. Lalu melanjutkan lagi:
“Sangking banyaknya, sampai-sampai aku dan Disma udah kepikiran mau tinggalin ajah. Tapi gak ebak juga kalau ditinggalin. Ya udah, kami lanjut ajah sampai selesai.” Lanjtnya.
“Benar Disma.? Ujar sang ibu yang seketika melirik Disma ketika Darma memberi penjelasan itu.
“Iya bu benar…” Ujar Disma.
“Udah ya bu. Aku sama abang masuk dulu ya, mau bersih-bersih dulu soalnya ini badan penuh keringat.” Lanjut Disma.
“Hem… Ya udah, kalian masuk gih bersih-bersih.” Sahut ibu Siti menyuruh anaknya itu untuk masuk.
Tanpa berlama-lama lagi, Disma dan Darma pun segera masuk kedalam rumah sambil mengelus-elus dadanya karena legah sang ibu mempercayai penjelasan mereka tadi.
Malam itu saat ibu Siti baru saja selesai melaksanakan sholat Isya, dan pada saat itu iapun memanggil anak-anaknya untuk segera berkumpul di meja makan. Karena rumah yang ia sewa itu tidaklah memiliki ruang keluarga. Sehingga ketika ingin menyampaikan sesuatu atau me-musyawarakan sesuatu, mereka pun dengan terpaksa harus berkumpul di meja makan tersebut.
“Ada apa bu.? Tanya Ikbal yang sudah berada di meja tersebut.
“Iya… ada apa si bu.? Ujar Ratih yang juga penasaran dengan maksud ibunya untuk mengumpulkan mereka semua di meja makan itu.
“Ibu mau ngomong sesuatu ke kalian semua.” Ujar ibu Siti yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu yang serius kepada anak-anaknya.
“Apa bu.?” Tanya Darma yang juga penasaran.
“Sebaiknya kalian jujur ke ibu. Dan ibu minta tolong jangan kalian tutupi permasalahan ini.!” Ujarnya ibu Siti lagi.
Dan tentunya Susana pun semakin tegang pada saat ibu Siti berkata seperti itu. Apalagi Disma terlihat begitu cemas, ia takut jika maksud tujuan ibunya mengumpulkan mereka disitu adalah untuk membahas persoalannya. Karena diam-diam dan tanpa se-izin ibunya ia pergi latihan sepakbola.
“Ada apa ya? Ibu kok terlihat serius banget. Apa jangan jangan...! Ibu udah tau kalau aku itu ikut latihan.” Ujar Disma dalam hati karena cemas jika sang ibu mengetahui hal itu.
“Sebaiknya kalian jujur. Siapa yang ambil perhiasan ibu didalam laci kamar.?” Tanya ibu Siti dengan tegas.
“Haaa? Maksud ibu… perhiasan ibu hilang.?” Tanya Darma yang kaget mendengar perkataan sang ibu.
“Perhiasan itu satu-satunya yang ibu punya nak. Kalau kalian memang yang mengambil, tolong kasi tau ibu. Kalian gunakan untuk apa perhiasan itu.?” Ujar ibu Siti.
“Asal kalian tau, perhiasan itu pemberian dari Almarhum ayah kalian. Dan perhiasan itu sangat berharga buat ibu.” Lanjutnya.
Dan terlihat ibu Siti begitu sedih karena hilangnya perhiasannya. Perhiasan satu-satunya yang ia punya yang diberikan oleh Almarhum suaminya. Dan tentunya, dengan drama yang terjadi itupun membuat suasana tegang bercampur pilu karena tangisan ibu Siti yang tak terbendung lagi. Namun, seketika suasana itupun berubah ketika Ikbal berdiri dan memukul meja serta terlihat marah yang Kemudian berkata:
“Jadi ibu menuduh kami.?” Ujarnya.
“Ibu menuduh kami mengambil perhiasan itu.? Ibu harusnya mikir dong… untuk apa kami ambil perhiasan itu, kami ini anak ibu. Ya gak mungkinlah kami ambil diam-diam.!” Lanjutnya dengan nada suara keras.
“Bukan begitu maksud ibu nak..” Sahut ibu Siti.
“Ahh udahlah bu.. Bisa-bisanya ibu curiga dengan anaknya sendiri.” Ujar Ikbal lagi lalu pergi meninggalkan ibunya dan adik-adiknya yang masih berada di meja itu.
Sontak, tangisan ibu Siti pun tak tertahankan lagi dan tak terbendung lagi karena kemarahan sang anak yang membentaknya barusan itupun membuat ibu siti tak bisa menahan air matanya. Tentunya, Darma, Ratih dan Disma yang tak tega melihat sang ibu menagis itupun dengan cepat mendekati sang ibu lalu mencoba untuk menenangkan ibunya itu.
“Bu udah bu.” Ujar Darma mencoba menenangkan sang ibu sembari mengelus-elus bahu sang ibu.
“Iya bu udah ya.” Sahut Disma juga mencoba menenangkan sang ibu.
“lagian bang Ikbal jahat banget si.” Ujar Ratih yang terlihat marah karena sang kakak memperlakukan ibunya seperti itu.
“Hustttt” Tegur Darma menyuruh Ratih diam.
*BERSAMBUNG*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments