Lama terdiam di daun pintu, Safia akhirnya mengalah dan berjalan menghampiri Salman yang entah benar-benar tidur atau pura-pura saja untuk mengerjainya. Dia pun duduk di tepi ranjang dan berusaha membujuk Salman.
"Mas, boleh aku minta kuncinya? Aku lapar Mas, aku mau makan." pinta Safia memohon dengan air muka memelas.
Dia benar-benar lapar, tapi niat awalnya hanya ingin mencari celah agar bisa lari dari suaminya itu. Safia tidak mau dianggap wanita bodoh yang memberi maaf begitu saja setelah semua yang dilakukan Salman padanya.
"Kebetulan sekali, Mas juga lapar. Tunggu sebentar, kita pesan makanan saja." Salman bangkit dari pembaringan dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Melihat Salman mengotak-atik layar ponselnya, Safia pun mendengus kesal. Gagal total rencananya untuk bisa pergi meninggalkan pria sialan itu.
Safia lantas menjauh dari Salman, percuma juga membujuknya jika akhirnya langkah Safia terikat di samping keparat bermuka tampan itu. Untung saja wajahnya tampan, jika tidak Safia pasti tidak akan sudi melihatnya.
"Mandi dulu gih, biar Mas saja yang menunggu makanannya di bawah!" ucap Salman setelah berhasil memesan makanan lalu menaruh ponselnya di atas nakas.
"Malas," jawab Safia ketus dan memilih duduk di sofa.
"Loh, kok jawabnya gitu? Mas udah ngomong baik-baik loh," Salman mengerutkan kening bingung.
"Suka-suka aku dong, mulut mulut aku. Terserah aku mau ngomong apa, aku tidak butuh kebaikan palsumu itu." geram Safia membuang muka, dia benar-benar malas melihat tampang menjengkelkan suaminya itu.
"Sudah dong Safia, jangan menebar kebencian terus. Mas hanya-"
"Hanya apa? Hanya ingin membuatku terpenjara di dalam neraka ini?" sindir Safia dengan senyum mengejek.
Salman mengusap wajahnya kasar dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Benar kata orang, jika wanita sudah terluka maka akan sangat sulit mengambil hatinya kembali.
Itulah yang dirasakan Salman saat ini. Betapa sulitnya meyakinkan Safia bahwa dia benar-benar sudah berubah dan ingin memperbaiki hubungan mereka.
Salman kemudian turun dari ranjang dan berjalan menghampiri Safia. Dia duduk di samping istrinya itu namun Safia malah beringsut menjaga jarak.
"Bagaimana cara meyakinkan kamu, Safia? Mas benar-benar menyesal, tolong beri kesempatan pada Mas agar menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab!" keluh Salman dengan suara bergetar.
"Kesempatanmu sudah tidak ada. Lagian kenapa harus aku, bukankah kamu punya kekasih? Kenapa tidak kamu nikahi saja wanita itu dan biarkan aku pergi meraih kebebasanku. Aku bukan burung yang harus kamu kurung sesuka hatimu," sergah Safia yang sama sekali tidak mau menatap wajah Salman.
"Kamu yakin ingin menyuruh Mas menikahi wanita itu? Apa kamu tidak cemburu?" seloroh Salman mengulum senyum, dia mematut Safia dengan intens untuk melihat ekspresi kesal istrinya.
Ya, seketika wajah Safia memerah mendengar itu. Marah? Tentu saja, istri mana yang tidak akan meradang jika mendengar suaminya membahas wanita lain.
"Ya sudah, pergilah, nikahi saja dia. Lagian untuk apa aku cemburu? Aku tidak menyukaimu lagi, perasaanku sudah mati." tandas Safia dengan tatapan tajam membunuh.
Kesal mendengar jawaban asal yang keluar dari mulut Safia, Salman lantas mengikis jarak dan mengangkat tubuh Safia lalu mendudukkannya di atas pangkuannya. Salman membelit tubuh Safia erat dan mematut manik mata Safia dengan intim.
Safia yang ketakutan mencoba meronta melepaskan diri, akan tetapi kekuatannya tidak cukup kuat untuk menjauh. Safia hanya bisa pasrah meski dia sangat jijik bersentuhan dengan suaminya itu.
"Lihat mata, Mas. Katakan bahwa kamu tidak mencintai Mas lagi!" tegas Salman penuh penekanan.
Safia bergidik ngeri dengan sekujur tubuh gemetaran, dia menatap lekat manik mata Salman namun lidahnya tiba-tiba sulit untuk digerakkan.
"Kenapa diam saja? Katakan bahwa kamu tidak mencintai Mas lagi!" desak Salman dengan nafas tercekat di tenggorokan. Tatapan Safia membuat jantungnya bergemuruh kencang.
"A-aku tidak mencintai kamu lagi," ucap Safia menundukkan pandangannya. Dia tidak berani berlama-lama mematut mata elang suaminya itu.
"Bohong, kamu tidak berani menatap mata Mas. Itu artinya kamu masih sangat mencintai Mas." tebak Salman sembari mengangkat dagu Safia. Tatapan keduanya kembali bertemu, namun tiba-tiba saja butir-butir kristal tumpah di sudut mata Safia.
"Apa gunanya kamu mengetahui bahwa aku mencintaimu atau tidak? Kamu sendiri yang menghancurkan cinta itu. Kamu mengkhianatiku, dadaku sesak melihatmu bermesraan dengan wanita lain. Itu terlalu menyakitkan, separuh nyawaku hilang menyaksikan semua itu. Apa kamu pikir aku bisa memaafkanmu? Coba tempatkan dirimu di posisiku, apa kamu tidak akan marah jika aku yang berselingkuh? Apa kamu sanggup melihatku bercumbu dengan pria lain?" lirih Safia berderai air mata.
Seakan melepaskan anak panah ke arah musuh, namun tiba-tiba anak panah itu malah berbalik dan menikam dadanya sendiri. Begitulah sakitnya yang dirasakan Salman sesaat setelah mendengar ucapan Safia.
"Ya, kamu benar. Jika Mas yang berada di posisi kamu, Mas tidak akan sanggup." Salman menitikkan air mata lalu menyatukan kening mereka berdua.
"Tolong maafkan Mas, Mas benar-benar menyesal. Mas salah menaruh dendam sama kamu, Mas pikir kamulah penyebab kematian ibu Mas. Mas salah paham, tolong ampuni Mas kali ini. Mas tidak mungkin melepaskan kamu, Mas sudah lama mencari keberadaan kamu."
Salman kemudian menceritakan semuanya pada Safia. Dia memang bersalah karena sudah terlanjur menyakiti istrinya yang sama sekali tidak berdosa. Akan tetapi, dia tidak bisa menceraikan Safia.
Keduanya sudah terikat perjodohan sejak Safia masih berada di dalam kandungan. Ayah Salman sudah menceritakan semuanya sebelum menghembuskan nafas terakhir.
Tidak hanya dijodohkan, bahkan sebagian harta yang dimiliki Salman saat ini merupakan hak Safia. Safia memegang separuh saham perusahaan dan sebagian aset lain yang dikelola Salman saat ini.
Kedua orang tua mereka merintis usaha bersama-sama. Sayang takdir berkata lain saat keduanya baru saja mencapai puncak kejayaan.
Kedua orang tua Safia mengalami kecelakaan tunggal saat melakukan perjalanan ke luar kota. Ayah Salman kehilangan Safia yang ikut menjadi korban saat itu. Dia sudah berusaha keras mencari keberadaan Safia tapi tidak berhasil menemukannya.
Meskipun begitu, ayah Salman tidak ingin menikmati pencapaian itu sendirian. Dia mengembankan tanggung jawab itu di pundak Salman, dia menuntut Salman agar bisa menemukan Safia.
Safia harus mendapatkan haknya dan menjadi istri Salman sesuai perjanjian yang sudah disepakati.
Salman sendiri sudah berusaha mati-matian mencari jejak Safia namun usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Siapa sangka identitas Safia akan terkuak saat Salman sudah menikahi Safia untuk membalaskan dendamnya.
Kini Salman benar-benar menyesal atas kesalahpahaman yang sudah terjadi diantara dia dan Safia. Kenyataannya mereka berdua memang sudah ditakdirkan untuk bersama.
Salman berharap Safia mau memaafkannya dan memulai hubungan ini dari awal. Dia berjanji tidak akan pernah menyakiti Safia lagi.
Seketika hening menerpa di kamar itu. Safia nampak syok setelah mendengar penjelasan Salman.
"Percaya sama Mas, Mas janji tidak akan pernah menyakiti kamu lagi. Kamu jodoh Mas, kita sudah ditakdirkan untuk bersatu. Jangan kecewakan orang tua kita, mereka sudah merancang ini dari jauh-jauh hari." ucap Salman mencoba meyakinkan Safia.
"Tidak mungkin, aku tidak percaya. Ini pasti akal-akalan kamu saja agar aku tidak pergi dari rumah ini." geleng Safia menolak kebenaran.
Salman seketika menghela nafas berat dan membuangnya dengan kasar lalu membawa Safia meninggalkan kamar itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments