Bab 4.

"Antar dia ke kamar belakang!" titah Salman pada pelayan sesaat setelah tiba di rumahnya.

Ya, alih-alih membawa Safia ke kamarnya, Salman justru menempatkan istrinya di kamar belakang, bersebelahan dengan kamar pelayan yang bekerja di rumah itu.

Tidak ingin ikut campur urusan majikannya, Murni dan Ina pun lekas mengangguk pertanda setuju dengan perintah Salman. Keduanya membantu Safia yang masih sangat lemas, mereka membawa Safia ke kamar yang diperintahkan oleh Salman.

"Terima kasih, kalian pergilah, aku bisa sendiri." lirih Safia sesaat setelah tiba di ambang pintu.

"Tapi Nona-"

"Tidak apa-apa, aku masih kuat kok. Lagian tidak perlu memanggilku dengan sebutan Nona segala, aku di sini hanya seorang pelayan seperti kalian, derajat kita sama." ucap Safia tersenyum getir, dia sadar posisinya tidak lebih dari seorang pembantu di rumah itu.

"Baiklah, ini koper Anda. Jika Anda membutuhkan sesuatu, panggil saja kami. Kami siap membantu," ucap kedua pelayan itu sebelum berlalu pergi meninggalkan Safia.

"Hmm... Sekali lagi terima kasih," angguk Safia memaksakan diri untuk tersenyum.

Setelah mengatakan itu, Safia membuka pintu kamar dan menarik koper ke dalam. Dengan kaki yang masih gemetaran, dia menguatkan diri menaruh koper itu di sudut lemari dan memilih duduk di sisi ranjang.

Seketika hening menerpa menemani kesendirian Safia, dia termangu dalam ketidakberdayaannya.

Menyesal?

Ya, Safia sangat menyesal karena sudah salah menilai kebaikan seseorang. Kini dia harus terpenjara di rumah suaminya sendiri, pria jahat yang sudah menyakiti perasaan dan menancapkan duri di hatinya.

Safia juga menyesal mencintai Salman terlalu dalam. Dia merasa seperti orang bodoh, begitu mudahnya dia terjerat dalam permainan Salman, dia sama sekali tidak mengerti tujuan pria itu menikahinya.

Dalam kegalauan hatinya, Safia menjatuhkan diri di kasur. Tangisannya pecah memikirkan apa saja yang sudah dilakukan Salman padanya. Ini terlalu berat untuk dijalani, Safia tidak tau bagaimana cara melepaskan diri dari pernikahan semu ini.

Masih banyak yang harus dia raih di luar sana. Dia belum sempat mengabdikan diri sepenuhnya untuk membalas jasa ibu panti yang sudah membesarkan dirinya, dia belum bisa mengabadikan senyum di wajah adik-adik panti yang menaruh harapan besar padanya.

Sejak memutuskan mengambil kuliah kedokteran, Safia sudah mendedikasikan dirinya untuk menjadi pahlawan yang akan membantu orang-orang yang membutuhkan. Dia bahkan tidak pernah menyicipi gaji yang beberapa bulan ini menjadi haknya, dia memberikan semua itu pada ibu panti untuk mensejahterakan anak-anak yang senasib dengan dirinya.

Akan tetapi, kini semua harapan dan impiannya musnah dalam sekejap mata. Jangankan untuk kembali bekerja di rumah sakit, keluar dari rumah itu saja dia tidak bisa. Salman benar-benar membuatnya terpenjara, entah apa lagi yang akan dilakukan pria itu padanya?

Sebelum pulang tadi, Safia sudah memohon agar Salman bersedia melepaskan dirinya. Safia mengatakan kalau dirinya rela menjanda asal bisa hidup seperti biasanya. Sayang Salman tidak peduli dan malah mengancam dirinya tanpa rasa iba. Pria itu memanfaatkan anak-anak panti untuk menekan Safia.

"Ini untuk kalian," Salman menyodorkan dua buah amplop yang cukup tebal ke tangan Murni dan Ina. "Mulai detik ini kalian tidak perlu lagi bekerja di rumah ini. Aku sudah memiliki pelayan baru pengganti kalian berdua, cari saja pekerjaan lain di luar sana!"

Murni dan Ina seketika terkejut dan saling menatap satu sama lain, keduanya tidak mengerti kenapa Salman memecat mereka tanpa alasan yang jelas.

Akan tetapi, mereka tidak berani membantah ataupun bertanya. Mau tidak mau, keduanya terpaksa mengambil amplop itu dan meninggalkan Salman sendirian. Mereka memasuki kamar dan mengemasi barang-barang sesuai permintaan pria itu.

Merasa bangga atas keberhasilan yang sudah dicapainya, Salman meninggalkan ruang tengah dan melangkah masuk ke kamarnya. Dia benar-benar puas dan merasa bahwa kemenangan sudah berada di depan matanya.

...****************...

"Iya sayang, iya. Ini mau jalan, tunggu sebentar ya." Salman yang tadinya hendak berbaring, kini terpaksa urung mengistirahatkan tubuhnya.

Dia baru saja mendapat telepon dari sang kekasih yang baru pulang dari Kanada.

Ya, sejak dua tahun yang lalu Salman sudah tinggal satu atap dengan kekasihnya di negeri orang. Keduanya sudah seperti sepasang suami istri, hanya saja tidak ada status yang mengikat hubungan mereka.

Sebelum meninggalkan kediamannya, Salman menyempatkan mampir ke kamar Safia. Dia mendorong pintu dengan kasar tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

Braaak...

Safia yang tengah berbaring di kasur lantas terperanjat dan duduk dengan terburu-buru. Dia menundukkan kepala sembari meremas jemarinya, dia tidak sudi melihat wajah Salman yang kini sangat dia benci.

"Keluar dan kerjakan tugasmu dengan baik! Aku sudah memecat pelayan, kini semua pekerjaan rumah ini menjadi tanggung jawabmu."

Salman berbalik setelah mengatakan itu, namun beberapa detik kemudian dia kembali memutar leher menatap Safia. "Jangan lupa bersihkan kamarku sekalian. Hari ini kekasihku akan datang dan tinggal di rumah ini, aku harap kau bisa memposisikan diri layaknya seorang pelayan. Jangan kira aku akan mengakui mu sebagai istriku!" imbuhnya.

Mendengar itu, Safia tiba-tiba mengukir senyum getir sambil mengelus dada yang mendadak terasa ngilu. Dia pikir penyiksaan ini sudah cukup membuat Salman puas, tapi ternyata pria itu masih ingin menyakitinya lebih dalam lagi. "Baik Tuan, Tuan tidak perlu khawatir. Jangankan satu kekasih, sepuluh kekasih pun tidak akan membuatku keberatan."

Safia langsung berdiri setelah mengatakan itu, dia melewati Salman dan berjalan menuju luar. Dia akan memulai pekerjaannya dengan membersihkan kamar terlebih dahulu.

Sementara Salman yang melihat itu nampak terdiam beberapa saat. Dia pikir Safia akan membantah ataupun melawannya. Akan tetapi, Safia justru mengiyakan perintahnya dengan mudah.

Salman pun sedikit curiga melihat gelagat Safia, dia berpikir kalau Safia tengah merencanakan sesuatu untuk membalasnya.

Lama terpaku di tempatnya berdiri, Salman tersentak saat ponsel di kantong celananya tiba-tiba berdering. Segera Salman mengeluarkan ponsel itu dan mengangkatnya dengan cepat.

"Iya sayang, tunggu sebentar. Ini lagi di jalan," ucapnya dari balik telepon yang terhubung lalu mematikannya secara sepihak.

Salman mengalihkan pikirannya, dia melupakan Safia untuk sejenak dan berlari kecil meninggalkan rumah. Dia melajukan kendaraan miliknya menuju airport, kebetulan Mika kekasihnya baru mendarat di ibukota.

Hampir tiga bulan mereka berdua tidak bertemu sehingga perasaan rindu pun kian berkecamuk di hati Salman. Dia benar-benar tidak sabar ingin melihat kekasihnya dan melepaskan segala asa yang tertahan selama ini.

Awalnya Salman akan menikahi wanita itu di Kanada tapi karena lebih memprioritaskan dendamnya, dia pun memilih menunda pernikahan itu dan menjadikan Safia sebagai istri yang sengaja dia peralat untuk membalas kematian sang ibu.

Terpopuler

Comments

Sriutami Utam8

Sriutami Utam8

semoga ksu lekas nendapatkn karma yg jauh lbh parah dri safua ,salman biar kmu juga bisa merasakn yg nmnya menderita

2023-03-18

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!