Bab 6.

Usai membersihkan diri dan mengenakan pakaian, Salman meninggalkan kamar terburu-buru. Dia sama sekali tidak peduli pada Mika yang tengah menunggunya di tempat tidur.

Seketika Mika tersenyum getir, dia sama sekali tidak mengerti kenapa Salman tiba-tiba berubah setelah tiga bulan tidak bersama.

Sontak pikiran buruk mulai bergentayangan di benak Mika. Apa mungkin Salman sudah memiliki wanita lain? Mungkinkah Salman mengkhianatinya?

Entahlah, rasanya Mika ingin menangis mengingat perlakuan Salman yang mendadak berubah seratus delapan puluh derajat.

Di luar sana, Salman memilih duduk di halaman samping rumah. Dia sepertinya sangat galau setelah mengambil keputusan untuk menikahi Safia.

Kini posisinya sedikit terjepit. Dia sangat mencintai Mika dan sudah bertekad untuk menikahi gadis itu. Akan tetapi sekarang pikirannya jadi bercabang dua, dia takut Mika mengetahui siapa Safia sebenarnya.

Meski tujuannya menikahi Safia hanya untuk sekedar membalaskan dendam akan kematian ibunya, tapi pada kenyataannya Safia sudah resmi menjadi istrinya, dia bahkan sudah mengambil kesucian wanita itu dengan paksa.

Andai Salman tau bahwa Mika akan pulang secepat ini, dia bisa saja memikirkan cara lain tanpa harus menikahi Safia. Kini dia benar-benar dilema diantara cinta dan dendam yang bersarang di hatinya.

Lama termangu dalam pemikirannya, Salman tersadar saat menangkap keberadaan Safia yang tengah duduk di taman belakang. Wanita itu terhenyak di tanah sembari memeluk seekor kucing yang dia temukan di rumah itu.

Sambil mengelus kepala dan punggung kucing itu, air mata Safia jatuh berguguran tanpa bisa dia tahan. Hatinya remuk dan hancur setelah tau bahwa Salman sudah memiliki wanita lain di dalam hidupnya.

"Aaaah..." Safia tiba-tiba menjerit dan melempar kucing itu saking takutnya. Dia lekas berdiri dan berputar-putar seperti orang kebingungan.

"Hiks... Aku dimana?" Safia terisak sambil memukul kepalanya. Dia tidak bisa mengingat siapa dirinya dan dimana dia berada saat ini.

"Huu..." Safia kembali berjongkok dan menangis tersedu-sedu. "Aku dimana?"

Salman yang dari tadi mematut Safia, merasa heran dengan tingkah aneh istrinya itu.

Karena penasaran, dia pun berjalan menyusuri taman belakang dan berdiri di dekat Safia.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Salman dingin.

Safia yang mendengar suara bariton itu seketika mendongak dan mematut Salman dengan air mata yang terus berjatuhan membasahi pipinya.

"Anda siapa? Ini dimana? Tolong bantu aku, aku ingin pulang. Aku tidak tau tempat apa ini, tolong antar aku pulang!" pintanya terisak sembari menangkup tangan di depan dada.

Sontak Salman mengerutkan kening mendengar ucapan Safia yang seakan tidak mengenal dirinya. Pikirnya Safia pasti tengah berakting untuk mendapatkan simpati darinya.

"Hebat sekali, kau pikir aku akan kasihan padamu? Aktingmu terlalu jelek, kau tidak akan bisa mengelabui ku dengan permainan licik mu itu." sergah Salman menatap tajam pada Safia.

Safia yang mendengar itu sama sekali tidak mengerti, dia tidak tau apa maksud Salman sebenarnya. Lalu dia pun berdiri dan memeluk Salman dengan erat.

"Tolong bantu aku! Aku tidak tau dimana ini, siapa aku?" lirihnya berbisik di telinga Salman.

Bug...

Safia tercampak ke belakang, tubuh ringkih nya membentur kursi kayu yang terpajang di taman itu.

Ya, Salman ternyata mendorongnya dengan kasar sehingga Safia kehilangan keseimbangan.

Wanita itu hanya bisa menangis dan memandang sekelilingnya seperti orang linglung, bahkan rasa sakit sama sekali tak terasa baginya.

Salman yang mulai muak kemudian meninggalkan Safia begitu saja, dia merasa Safia tengah berjuang mengambil hatinya. Namun sayang Salman tidak akan pernah tergoda pada permainan licik wanita itu.

...****************...

Terang berganti gelap, langit tampak mendung menghitam tanpa rembulan maupun bintang. Angin kencang mulai berhembus menyapu tubuh Safia yang masih terpaku di tempatnya duduk.

Ya, sejak sore tadi Safia sama sekali tidak beranjak dari taman belakang. Dia hanya bisa menangis memeluk lututnya dengan erat. Sampai detik ini dia tidak tau dimana posisinya berada. Semua ingatannya seakan hilang seiring rasa sakit yang dihadiahkan Salman untuknya.

Perlahan gerimis mulai melanda, Safia semakin meringkuk seperti orang ketakutan. Dia tidak tau harus kemana, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya.

"Dimana pelayan itu? Kenapa dia belum juga menyiapkan makan malam untuk kita?" tanya Mika sesaat setelah tiba di ruang makan. Dia mendapati meja yang masih kosong, tidak ada makanan sama sekali di meja itu.

Salman yang tadinya ingin duduk, kini mengurungkan niatnya dan memilih berjalan menuju kamar belakang. Ingin sekali dia marah dan memaki Safia sejadi-jadinya, berani sekali wanita itu melalaikan tugas yang sudah dia perintahkan.

Braak...

Pintu terhempas dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi dentuman yang cukup keras. Seketika Salman mengerutkan dahi karena tidak melihat siapa-siapa di kamar itu. Sontak dia celingak celinguk mematut kamar berukuran tiga kali tiga itu.

"Dasar tidak tau diri, bukannya menyiapkan makan malam, dia malah menghilang entah kemana." umpat Salman dalam hati, ingin sekali dia mencekik Safia jika sempat bertemu dengan dirinya.

"Loh, kok tidak ada? Kemana dia?" tanya Mika yang tiba-tiba muncul menyusul Salman ke kamar itu.

"Entahlah, delivery makanan saja." sahut Salman santai setelah menyadari kedatangan wanita itu.

"Baiklah," angguk Mika, kemudian meninggalkan kamar itu terlebih dahulu. Dia pun melangkah menuju kamar yang dia tempati untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di sana.

Saat Salman ingin menyusul keluar, sudut matanya tidak sengaja menangkap sesuatu yang terselip di bawah bantal. Merasa penasaran, dia pun menghampiri ranjang dan meraih benda itu dengan cepat.

"Apa ini?" gumam Salman dengan raut wajah terkejut, matanya sontak membola dengan tangan gemetaran memegang benda pipih itu.

Seketika Salman bergeming dengan tatapan berkabut, kepalanya dipenuhi dengan banyaknya pertanyaan dan bayangan mendiang sang ayah.

Satu persatu kata-kata terakhir yang diucapkan sang ayah kembali terngiang di telinga Salman. Dia pun terhenyak di sudut kasur dengan mata berbinar mengandung cairan yang menggenang.

"Ini tidak mungkin," gumam Salman menggeleng-gelengkan kepala, dia sama sekali tidak bisa mempercayai semua ini.

Lama bergelut dalam pemikirannya, Salman akhirnya berlalu pergi dari kamar itu. Dia berlarian menuju kamar mendiang ayahnya dan lekas mengunci pintu.

Dengan pikiran kacau tak menentu, Salman membuka laci lemari dan mengeluarkan berkas-berkas berharga milik sang ayah.

Seketika mata Salman terbuka lebar saat mencocokkan foto yang dia temukan di laci itu dengan foto yang ada di tangannya.

Duarr...

Rasanya dunia tiba-tiba berguncang seakan dihempas gempa berkekuatan besar. Salman termundur ke belakang, tubuhnya merosot di lantai seiring air mata yang jatuh membasahi pipinya.

"Aaahh..." Salman berteriak histeris sambil mengacak rambutnya dengan kasar. Saat ini semua pikirannya tidak bisa terkontrol dengan sempurna, emosinya meledak-ledak seketika itu juga.

Dia yang tidak bisa berpikir jernih kemudian berdiri dan menghancurkan barang-barang yang ada di kamar itu. Selang beberapa menit saja kamar itu sudah tak berbentuk seperti kapal pecah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!