Bab 11.

Salman memacu laju mobil yang dia kendarai dengan kecepatan tinggi, dia harus segera sampai di tempat yang dia curigai menjadi tempat persembunyian Safia istrinya.

Beberapa menit berselang, tibalah mobil Salman di depan sebuah bangunan yang terlihat sudah cukup tua. Di sanalah tempat Safia dibesarkan dan tempat itulah satu-satunya yang berkemungkinan didatangi Safia untuk saat ini.

Ya, Salman tau persis bahwa Safia merupakan seorang yatim piatu yang ditinggal mati kedua orang tuanya disaat usia istrinya itu masih sangat kecil. Safia pernah menceritakan sedikit banyaknya tentang masa lalu yang harus dia jalani kepada suaminya itu.

"Nak Salman..." sapa Bu Ani, seorang wanita tua yang masih bersemangat mengurus panti asuhan itu.

"Siang Bu," sapa Salman balik lalu menyalami dan mencium punggung tangan wanita itu.

"Kok sendirian saja, Safia mana? Kenapa tidak dibawa?" tanya Bu Ani yang merasa sedikit kecewa karena tak melihat keberadaan Safia di sana, gadis cantik yang sudah dia anggap seperti putri kandungnya sendiri.

Bagaimana tidak, Safia sudah menjadi anaknya sejak berusia dua tahun. Tentu saja kasih sayang Bu Ani tidak akan kalah jika dibandingkan dengan kasih sayang orang tua kandung pada umumnya.

Salman lantas terdiam mendengar pertanyaan itu. Jika Bu Ani menanyakan keberadaan Safia padanya, itu berarti istrinya tidak ada di tempat itu.

Lalu dimana Safia? Bukankah seharusnya dia berada di tempat itu?

"Maaf Bu, Safia masih sibuk di rumah sakit. Aku ke sini untuk mengambil barangnya yang ketinggalan, Safia yang memintaku untuk datang, dia sangat membutuhkan benda itu." alibi Salman mengalihkan pembicaraan, dia terpaksa berbohong agar Bu Ani tidak khawatir memikirkan keadaan Safia yang entah dimana keberadaannya sekarang.

"Oh, jadi begitu. Ya sudah, masuk saja. Ibu ada urusan sebentar,"

Setelah mengatakan itu, Bu Ani meninggalkan Salman yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Wanita tua itu berjalan menuju taman, di sana sudah menunggu sepasang suami istri yang berniat mengadopsi salah seorang anak panti.

Sesaat setelah Bu Ani benar-benar menghilang dari pandangannya, Salman pun mengerjap dan melangkah memasuki bangunan itu.

Dia bertanya kepada seorang wanita pengelola panti, dia tidak tau dimana kamar Safia terletak.

Setelah mendapatkan petunjuk, Salman mengucapkan terima kasih kepada wanita itu dan melanjutkan langkahnya menuju kamar Safia yang ada di pojokan.

Ya, mau tidak mau Salman terpaksa menggeledah kamar Safia. Dia masih penasaran mengingat foto yang dia lihat malam itu. Salman ingin tau apakah benar Safia merupakan gadis kecil yang dia cari selama ini.

Sesampainya di dalam kamar, Salman lekas menutup pintu dan menguncinya. Dia melangkah menuju lemari kayu yang sudah reyot, dia akan memulai pencariannya dari sana.

Karena tidak menemukan apa-apa di dalam lemari itu, Salman kemudian beralih menuju meja. Dia menggeser beberapa buku yang tersusun rapi, tapi tetap saja dia tidak menemukan apa-apa.

Lalu Salman duduk sejenak di tepi ranjang besi berukuran seratus kali dua ratus yang terasa sangat keras, seketika mata Salman berkaca-kaca mematut bantal yang ada di sampingnya.

"Dimana kamu Safia? Kenapa kamu pergi? Masih banyak yang harus aku tanyakan padamu, aku mohon kembalilah!" gumam Salman seraya mengusap bantal itu dengan tatapan berkabut.

Dia benar-benar menyesal memperlakukan Safia dengan buruk. Dia pikir Safia lah penyebab kematian ibunya, akan tetapi ternyata dugaannya salah besar.

Dia ingin sekali bertemu dengan Safia dan meminta maaf atas kesalahan yang sudah dia lakukan, dia berjanji akan menebus dosa itu dan memperlakukan istrinya dengan baik.

Lama mematut bantal itu, Salman tiba-tiba berdiri dan menggulung kasur kapas yang tadi dia duduki. Seketika manik matanya menangkap beberapa map yang ternyata Safia simpan di sana.

Dengan jantung yang mendadak berdegup kencang, Salman meraih map itu dan kembali duduk di sisi ranjang. Dia kemudian membuka satu persatu isi yang terdapat di dalam map itu.

Deg...

Tiba-tiba darah Salman terasa berhenti mengalir, jantungnya kekurangan oksigen sehingga sulit untuk bernafas.

Selain foto masa kecil istrinya, dia juga menemukan dokumen pribadi milik kedua mendiang orang tua Safia. Di sana jelas tertulis siapa nama dan dari mana asal keduanya. Riwayat pekerjaan ayah Safia juga terdapat di sana.

Seketika hening menerpa saat Salman mengingat kembali pesan terakhir mendiang sang ayah.

Ya, pria itu berpesan agar Salman mencari keberadaan putri sahabatnya yang bernama Nisa. Siapa sangka bahwa Nisa yang ayahnya maksud ternyata adalah Safia, wanita malang yang kini sudah resmi menjadi istrinya.

"Aaaah..."

Salman berteriak histeris sambil meremas rambutnya dengan kasar, lembaran demi lembaran kertas yang tadi dia genggam seketika bertaburan di dasar lantai.

"Bodoh! Kenapa kamu sebodoh ini, Salman? Apa yang sudah kamu lakukan?" berang Salman merutuki dirinya sendiri.

Kenapa dia jadi sejahat ini pada Safia? Kenapa dia bisa gelap mata memperlakukan istrinya sendiri dengan tidak manusiawi?

Meski selama dua bulan terakhir dia hanya berpura-pura mencintai Safia, tapi dia bisa merasakan ketenangan dan kedamaian hati saat bersama wanita itu.

Safia sejatinya sangat manja saat berdua dengan dirinya, terkadang sifat polos itulah yang membuatnya sangat kesal. Dia merasa Safia seperti bermuka dua, dia pikir Safia sangat pandai bersandiwara.

Namun sekarang fakta sudah menguak kenyataan sebenarnya. Bagaimana cara dia menghadapi Safia setelah ini? Dia merasa kehilangan muka, dia tidak pantas disebut seorang suami.

Puas melepaskan kekalutan yang membelenggu jiwanya, Salman akhirnya berusaha kuat menenangkan diri.

Tidak ada gunanya menyesal, yang harus dia lakukan adalah mencari keberadaan Safia dan meluruskan kesalahpahaman yang sudah terjadi.

Setelah memungut kertas yang berserakan di lantai, Salman memasukannya kembali ke dalam map dan merapikan tempat tidur seperti semula. Dia pun meninggalkan kamar dan membawa map itu bersamanya.

Dengan raut dingin dan datar seperti jalan tol, Salman meninggalkan panti tanpa berpamitan. Dia harus segera mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari keberadaan Safia.

Dia tidak boleh terlambat, apalagi dia tau persis bahwa keadaan Safia tidak baik-baik saja saat ini. Apapun akan dia lakukan agar Safia sembuh dari penyakit yang dideritanya.

Setelah memasuki mobil, Salman melempar map yang dia bawa tadi ke bangku kosong yang ada di sebelahnya. Dia pun menyalakan mesin dan memacu laju kendaraan itu dengan kecepatan tinggi.

Menyesal?

Ya, Salman sangat menyesal setelah semua yang dia lakukan pada Safia. Dia telah menghancurkan malam pertama mereka dan menjadikannya malam yang paling menakutkan untuk Safia.

Betapa sakitnya yang dirasakan Safia kala itu, akan tetapi Salman sama sekali tidak menaruh rasa iba padanya.

Belum lagi kehadiran Mika yang sengaja Salman bawa pulang untuk memanasi Safia, entah seberapa pedihnya luka yang Safia rasakan saat melihat itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!