Tidak terasa malam berlalu begitu cepat, pagi telah tiba seiring datangnya sinar mentari yang mulai naik menyinari bumi.
Di kasur, Salman tersentak dari tidurnya. Dia mengucek mata dan membukanya perlahan.
Seketika Salman mengerutkan kening saat tak melihat Safia di mana-mana. Dia lekas bangkit dan memperhatikan sekelilingnya, benar saja Safia memang tidak ada di kamar itu.
Namun Salman nampak biasa-biasa saja tanpa merasa kehilangan sedikitpun. Dia justru kembali berbaring dan meraih ponsel miliknya yang terletak di atas nakas.
Saat Salman menyalakan ponsel itu, banyak sekali panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk di dalamnya. Dia pun membukanya satu persatu dan asik membalas pesan yang dia rasa sangat penting, lalu dia menghubungi seseorang untuk menjemputnya ke hotel.
Beberapa menit berselang, Salman menaruh ponsel itu di atas bantal lalu turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.
Sesaat setelah pintu terbuka, Salman melangkah masuk tanpa peduli dimana istrinya berada saat ini.
Namun betapa terkejutnya dia saat mendapati tubuh polos Safia yang tengah terbujur kaku di lantai kamar mandi.
Seketika raut muka Salman berubah pucat, dia berlari kecil menghampiri Safia dan dengan cepat mematikan shower.
"Hey, bangun, jangan bercanda!" seru Salman seraya berjongkok dan menepuk-nepuk pipi Safia. Sayang wanita itu tidak merespon sama sekali. Tubuhnya terlihat pucat pasi seperti mayat hidup.
Bagaimana tidak, sudah semalaman Safia terbaring tak sadarkan diri dan terus diguyur air yang tak henti mengalir. Mungkin saja saat ini jantungnya sudah berhenti berdetak.
"Hey, ayo bangun, jangan membuatku marah!" berang Salman meninggikan suara, namun tetap saja Safia tidak bisa mendengarnya.
Salman mulai panik, mau tidak mau dia terpaksa membopong Safia dan membawanya ke luar. Salman membaringkannya di atas ranjang dan menutup tubuh polos istrinya dengan selimut.
Karena tidak tau harus bagaimana, Salman kemudian menyambar ponsel yang terletak di atas bantal. Dia menghubungi seorang dokter yang merupakan sahabatnya sendiri.
"Menyusahkan saja," umpat Salman mendengus kesal lalu melempar ponselnya ke sofa dan meninggalkan Safia sendirian. Dia masuk ke kamar mandi dan lekas membersihkan diri.
Sepuluh menit berselang, Salman keluar dengan tubuh yang lebih segar dari sebelumnya. Dia dengan cepat mengenakan pakaian dan menyeduh teh untuk menghangatkan tenggorokan.
Baru saja Salman hendak menyeruput teh yang dia buat, bel tiba-tiba berbunyi. Salman meletakkan cangkir itu di atas meja dan melangkah menuju pintu.
Seketika Salman mengulas senyum mendapati kedatangan sahabatnya, lalu mempersilahkan pria itu untuk masuk.
"Pagi-pagi sudah membuat rusuh, ada apa?" tukas Alex. Dia merupakan seorang dokter yang tak lain adalah sahabat Salman sendiri.
"Bukan aku, tapi dia tuh..." Salman menunjuk ranjang yang ditiduri Safia, raut mukanya tampak masam melihat ke arah istrinya.
Alex menatap Safia sekilas lalu geleng-geleng kepala sembari tersenyum kecil. "Astaga, baru semalam sudah dihajar habis-habisan. Apa kau sudah gila?"
"Jangan banyak bacot. Cepat periksa dia, setelah itu pergilah dari sini!" ketus Salman dengan tatapan tajam membunuh.
"Dasar tidak tau terima kasih," umpat Alex. Dia kemudian melangkah menghampiri ranjang dan mulai memeriksa Safia dengan alat yang dia bawa.
Sembari menunggu Alex selesai memeriksa Safia, Salman memilih duduk di sofa dan meraih cangkir yang ada di atas meja. Dia pun melipat kaki dengan pongahnya lalu menyeruput teh buatannya yang sudah mulai dingin,
"Bagaimana?" tanya Salman acuh tak acuh, dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan Safia.
"Kondisi istrimu nampaknya sedikit serius. Sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja agar bisa diperiksa secara menyeluruh." jawab Alex.
"Tidak perlu, kasih infus dan suntikan saja. Sebentar lagi pasti dia bangun," balas Salman.
"Apa kau sudah tidak waras? Denyut nadi dan detak jantung istrimu sangat lemah, kau bisa lihat sendiri wajahnya terlihat pucat dan dingin." sergah Alex meninggikan suara. Dia tidak habis pikir dengan reaksi Salman yang sama sekali tidak berperikemanusiaan.
"Jangan menggurui ku, aku tau apa yang harus aku lakukan. Kerjakan tugasmu lalu pergilah dari sini!" tukas Salman mengusir Alex.
"Aku sudah melakukan tanggung jawabku sebagai seorang dokter. Jika sesuatu terjadi pada istrimu, maka jangan salahkan aku." kata Alex mewanti-wanti, dia pun mengemasi peralatan medisnya dan melangkah meninggalkan kamar.
Setelah punggung Alex menghilang dari pandangannya, Salman bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri ranjang. Dia mematut wajah Safia yang masih nampak pucat, seketika dia pun terdiam untuk beberapa saat.
Bukannya merasa bersalah, Salman justru mengukir senyum sinis. Dia merasa sangat senang melihat penderitaan yang dialami Safia, baginya ini belum seberapa, dia akan membuat Safia lebih menderita lagi daripada ini.
Ya, sejak awal Safia bertemu dengannya. Semua sudah disetting sedemikian baik oleh Salman, bahkan kedatangan empat pria yang saat itu ingin melecehkan Safia merupakan orang-orang suruhannya.
Salman sengaja merekayasa kejadian malam itu untuk menarik simpati Safia. Dia juga sengaja berpura-pura baik selama dua bulan terakhir untuk mengambil hati wanita malang itu. Dia bahkan dengan mudah mengatakan cinta agar Safia masuk dalam perangkapnya.
Kini semua yang direncanakan Salman sudah menjadi kenyataan, dia tidak akan membiarkan Safia lepas dari genggamannya dengan begitu mudah. Bagi Salman hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa.
Kebencian Salman pada Safia berawal sejak enam bulan yang lalu. Saat itu ibu Salman harus dilarikan ke rumah sakit karena penyakit yang sudah lama dia derita.
Dikarenakan saat itu tidak ada dokter spesialis penyakit dalam yang bertugas, Safia akhirnya ditunjuk oleh kepala rumah sakit untuk menangani wanita paruh baya itu.
Awalnya Safia menolak keras permintaan kepala rumah sakit itu, dia tidak berani karena bukan bidangnya. Akan tetapi setelah melihat kondisi pasien yang semakin memburuk, Safia pun terpaksa mengambil tindakan.
Namun takdir berkata lain. Sebelum Safia sempat menanganinya, wanita itu sudah lebih dulu menghembuskan nafas terakhir. Safia bahkan belum sempat menyentuhnya sama sekali.
Menurut informasi yang Salman terima dari sopir yang membawa ibunya ke rumah sakit, dia menyimpulkan bahwa kematian sang ibu ada hubungannya dengan Safia. Dia berpikir Safia melakukan tindakan mall praktek sehingga menyebabkan ibunya meninggal dunia.
Sejak kejadian waktu itu, Salman akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah air. Dia meninggalkan Kanada dan memilih menetap di Indonesia.
Selain untuk membalaskan dendam atas kematian ibunya, Salman juga harus menepati janji pada mendiang ayahnya.
Dia harus menyelesaikan semua urusannya sampai ke akar-akarnya, dia tidak akan membiarkan Safia bahagia di atas penderitaannya. Baginya Safia harus mati menyusul ibunya yang sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta. Safia harus membayar ini dengan nyawanya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Sriutami Utam8
woalh ini ceritanya salah paham gara" sopir kursng ajar ngadu yg bukan" jd mitnah safia ampun hmm
2023-03-18
1