Setengah jam berselang mobil yang dikendarai Salman tiba di depan bandara. Seorang gadis cantik bersorak antusias dan berlari ke pelukannya. Keduanya saling memagut melepaskan rasa rindu yang sudah lama tertahan.
"Lama sekali, aku pikir-"
"Tidak usah banyak mikir, yang penting aku sudah datang. Ayo, kita pulang ke rumah!" ajak Salman seraya melepaskan pelukannya, dia membantu Mika menyeret koper dan menaruhnya di bagasi.
Setelah keduanya memasuki mobil, Salman langsung melajukan kendaraan menuju arah pulang. Dia sudah tidak sabar ingin memanasi Safia dan membuatnya menderita seumur hidup.
Setengah jam kemudian sampailah mereka di depan kediaman Salman. Pria itu turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Mika lalu menurunkan koper dari bagasi mobil.
Setelah itu keduanya memasuki rumah dengan tangan saling menggenggam.
"Ahh... Akhirnya sampai juga," Mika menghempaskan bokongnya di sofa, perjalanan dari Kanada menuju Indonesia membuatnya benar-benar lelah. Salman pun ikut duduk di samping wanita itu.
Dari belakang sana, Safia tak sengaja menangkap kedatangan mereka. Dia pun tersenyum getir dan lekas membuatkan minuman untuk mereka berdua.
Safia tidak ingin memikirkan itu. Biarkan saja Salman berbuat sesuka hatinya, Safia tidak peduli dan lebih memilih membiasakan diri. Toh sudah jelas bahwa Salman hanya menganggapnya sebagai seorang pembantu, apa lagi yang Safia harapkan dari pria itu?
"Silahkan Nona, Tuan!" Safia menaruh minuman yang baru saja dia buat di atas meja. "Makan siangnya sudah ada di meja makan. Kalau Tuan dan Nona lapar, silahkan dimakan! Mumpung masih panas."
Safia langsung berbalik setelah mengatakan itu. Dia tidak sanggup berlama-lama melihat kemesraan mereka, rasanya hati Safia sangat perih. Luka yang belum mengering, kini kembali menganga dan mengecut seperti disiram air cuka.
Ingin sekali Safia marah dan menjerit sekencangnya, tapi apalah daya dia sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk melakukan itu. Safia hanya bisa menahan kekecewaan dan menelan tangisannya.
"Siapa yang menyuruhmu pergi?" Salman membuka suara, seketika langkah Safia terhenti dibuatnya. Dia pun berbalik badan dengan cepat.
"Semua tugas yang Tuan perintahkan sudah selesai saya kerjakan. Kamar Tuan juga sudah rapi, kalian berdua bisa istirahat dengan nyaman. Apa ada tugas lain?" tanya Safia dengan raut datar seperti lantai yang dia pijak.
Salman yang mendengar itu tiba-tiba terdiam sembari mematut wajah Safia yang nampak sangat pucat. "Tidak, pergilah!"
"Hmm..." Safia mengangguk lemah sembari tersenyum getir lalu meninggalkan tempat itu terburu-buru.
Dengan perut kosong dan kaki gemetaran, Safia memasuki kamar dan mengunci pintu dengan cepat. Tangisannya pecah seketika itu juga, dia tersandar lesu di daun pintu dan terhenyak di lantai.
"Aaaaa..." pekik Safia frustasi, dia pun mengacak rambut dan menariknya kasar.
Entahlah, lama-lama Safia bisa depresi jika selalu saja disuguhkan dengan pemandangan seperti tadi.
Apa Salman tidak punya hati? Bisa-bisanya dia bermesraan dengan wanita lain di hadapan istrinya sendiri.
Segitu bencikah dia pada Safia sehingga memperlakukan wanita itu seenak jidatnya?
Di luar sana, Mika menanyakan siapa wanita yang tadi melayani mereka. Terakhir pulang ke rumah Salman, dia hanya mengenal Murni dan Ina yang sudah cukup lama bekerja di rumah itu.
Dengan entengnya Salman menjawab bahwa Safia adalah pelayan baru di kediamannya. Mulai hari ini wanita itulah yang akan melayani semua keperluan mereka berdua, tentu saja Mika percaya pada ucapan kekasihnya.
Setelah menyeruput minuman yang dibuatkan Safia tadi, keduanya berpindah ke meja makan. Mika ingin mengisi perut terlebih dahulu sebelum ke kamar untuk istirahat.
"Ehm... Enak sekali, ternyata pelayan baru itu sangat pintar memasak." puji Mika setelah mencicipi masakan Safia, lalu melanjutkan makannya dengan lahap.
Seketika Salman terpaku saat pertama kali menyuap makanan yang ada di piringnya. Benar yang dikatakan Mika barusan, masakan istrinya memang enak bahkan sangat enak. Salman tidak tau bahwa Safia ternyata sangat pandai memanjakan lidahnya.
Setelah menghabiskan makanannya, Mika meninggalkan meja makan terlebih dahulu. Dia ingin membersihkan diri dan istirahat untuk sejenak. Dia pun langsung masuk ke kamar Salman yang sudah biasa dia tempati sebelumnya.
Tidak dengan Salman, dia justru terdiam di meja makan setelah mengisi perut. Tiba-tiba dia kepikiran pada Safia yang tadi terlihat sangat pucat. Apakah istrinya itu belum makan?
Penasaran dengan keadaan Safia, Salman akhirnya memutuskan untuk melihatnya ke kamar belakang. Dia mengetuk pintu tapi tak mendengar sahutan dari dalam sana.
Tak menyerah sampai di sana, Salman berseru memanggil nama Safia sembari menggedor pintu dengan kasar. Air mukanya menggambarkan kepanikan.
"Pergilah, jangan ganggu aku! Bersenang-senanglah dengan kekasihmu itu, temani dia, jangan sampai dia curiga bahwa aku adalah istrimu!" sorak Safia dari dalam sana.
"Hey, buka dulu pintunya!" seru Salman memaksakan diri.
"Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Bersikaplah selayaknya majikan, aku hanya pelayan di rumah ini. Ya, aku hanya pelayan, hanya pelayan." sahut Safia menahan tangisannya.
"Safia..." bentak Salman meninggikan suara.
Akan tetapi, Safia tidak menyahut kali ini. Dia hanya bisa menangis dengan punggung yang masih tersandar di daun pintu. Rasanya sekerat raga Safia sudah lumpuh, jangankan untuk bergerak, berpikir saja dia sudah tidak sanggup.
Bisakah Safia memohon agar penderitaan ini disudahi. Dia hanya ingin keluar dari rumah itu, dia hanya ingin melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang lelaki munafik itu.
Gagal memaksa Safia membukakan pintu, Salman akhirnya mengalah dan berlalu pergi menuju kamarnya.
Baru saja pintu terbuka, Salman sudah disuguhi dengan pemandangan indah yang terpampang di depan matanya.
Ya, Mika baru saja keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih basah dibalut handuk sepaha. Salman mengerjap melihat penampakan itu dan melangkah memasuki kamar.
Baru saja Salman mendekat, Mika langsung menariknya dan mendorong dadanya hingga termundur ke belakang. Lalu Mika menempelkan dadanya ke dada Salman dan menekannya, keduanya terjatuh tepat di atas kasur.
"Aku rindu kamu, Mas." gumam Mika yang kini sudah berada di atas tubuh Salman. Pria itu kembali mengerjap, entah kenapa dia sama sekali tidak berselera melihat tubuh seksi Mika. Padahal sudah tiga bulan mereka berdua menahan rasa rindu karena jarak yang membentang.
Saat Mika mengecup bibirnya, Salman spontan mengelak. Dia memutar leher ke sisi kanan, hal itu membuat Mika kesal dan menggeser kepala Salman dengan kasar. Keduanya kembali saling mematut. "Kamu kenapa, Mas?"
"Tidak apa-apa, aku hanya lelah. Pakai pakaianmu, aku mau mandi sebentar." jawab Salman.
"Tapi Mas-"
"Mika..." bentak Salman.
Wanita itu tersentak kaget dan dengan cepat menjauhkan diri dari Salman. Tentu saja dia sangat kecewa atas penolakan pria itu. Dia pikir Salman menginginkan dirinya setelah sekian lama tidak berjumpa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Soraya
thor jgn bikin karakter safia jd cengeng
2023-06-07
0