Bab 9.

"Siapa wanita itu?"

"Apa yang dia lakukan di sini?"

"Kenapa wanita itu tidur di taman seperti ini?"

"Apa dia tidak memiliki keluarga?"

Satu persatu dari pengunjung taman yang tengah lari pagi tampak berbisik saat menangkap keberadaan Safia yang masih tertidur dengan pulas. Wanita itu akhirnya terbangun ketika wajahnya diterpa sinar mentari pagi yang menusuk hingga mata.

Safia lantas mengerjap dan membuka mata perlahan. Saat mengucek kelopak mata, betapa terkejutnya dia mendapati dirinya yang sudah menjadi tontonan banyak orang.

Safia yang kebingungan dengan segera bangkit dari duduknya dan berhamburan meninggalkan taman itu. Alangkah malunya dia dihadapkan dengan situasi seperti tadi.

Harusnya dia bangun lebih awal agar tak ada seorangpun yang melihat keberadaannya. Akan tetapi, dia malah ketiduran tanpa sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Wajar saja pengunjung taman mulai berdatangan untuk melakukan aktivitas pagi mereka.

Sesampainya di pinggir jalan, Safia celingak celinguk ke kanan dan ke kiri memperhatikan keadaan di sekitarnya. Dia tidak tau harus kemana karena tidak memiliki uang sama sekali.

"Safia..."

Terdengar suara bariton seorang pria yang berasal dari arah belakang. Safia yang terkejut lantas berlari untuk menyelamatkan diri tanpa tau suara siapa yang baru saja memanggilnya.

Ya, Safia agaknya trauma mendengar suara laki-laki. Suara itu mengingatkannya pada Salman yang sudah menghancurkan kepercayaan dan masa depannya.

"Dokter Safia, tunggu!"

Suara itu kembali terdengar di telinga Safia. Kali ini dia menghentikan larinya dan memutar leher dengan cepat. Safia menghela nafas lega sesaat setelah menangkap tubuh proporsional pria yang mengikutinya. "Dokter Alex?" gumamnya.

Alex yang mengikuti Safia lantas tersenyum dan berjalan mendekatinya. Dia pikir Safia lupa pada dirinya tapi ternyata dia salah, Safia masih mengenalinya dan bahkan ingat siapa namanya.

Alex kemudian mengajak Safia duduk di sebuah bangku dan mulai mengobrol santai. Perlahan dia pun memberanikan diri mencari tau apa yang terjadi dengan Safia sebenarnya.

Sejak dia diperintahkan Salman untuk memeriksa keadaan Safia waktu itu, dia sudah mulai curiga bahwa ada yang tidak beres dengan Safia.

Akan tetapi, usaha Alex untuk mencari tau kebenaran agaknya sedikit sulit. Safia tidak mau membuka suara dan memilih diam seribu bahasa.

"Ayo, aku antar pulang!" ajak Alex menawarkan bantuan.

"Ti-tidak usah, a-aku..."

"Tidak apa-apa, aku akan mengantarmu pulang ke rumah suamimu. Kebetulan aku sangat mengenal Salman, dia sahabatku."

"Ja-jangan!"

Alex yang mendengar itu tiba-tiba mengerutkan kening. Dia bisa melihat raut ketakutan di wajah Safia.

"Ma-maaf, aku harus pergi." Safia hendak berdiri tapi Alex dengan cepat menahan tangannya.

"Katakan padaku! Apa yang terjadi sebenarnya? Apa Salman menyakitimu?" tanya Alex dengan tatapan tak biasa.

"Ti-tidak," geleng Safia berbohong. "Tolong lepaskan aku, aku harus pergi!" pintanya memohon. Sayang Alex sama sekali tidak peduli.

Tanpa melepaskan tangan Safia dari genggamannya, Alex kemudian membawa wanita itu menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan.

Alex membukakan pintu dan membantu Safia duduk di bangku depan. Awalnya Safia menolak tapi Alex mendesaknya, dia tidak mungkin membiarkan Safia berada di jalanan sendirian. Dia khawatir penyakit Safia kambuh, siapa yang akan menolongnya nanti?

Setelah Safia duduk, Alex ikut masuk dan duduk di bangku kemudi lalu melesat pergi meninggalkan tempat itu.

Sebenarnya Alex sendiri agak takut jika Salman tau bahwa dirinya membawa Safia bersamanya, tapi dia tidak memiliki pilihan lain.

Bagaimanapun dia pernah menaruh hati pada Safia dan hingga detik ini perasaannya masih tetap sama, dia hanya ingin membantu Safia untuk saat ini.

Alex kemudian membawa Safia ke rumah orang tuanya, untuk sementara waktu wanita itu bisa tinggal di sana. Kebetulan ibu Alex hanya tinggal sendirian, wanita paruh baya itu pasti akan sangat senang jika ada yang menemaninya.

Sedangkan Alex sendiri akan tetap tinggal di apartemen, namun dia akan mengontrol perkembangan Safia selama berada di rumahnya.

Sesampainya di rumah berlantai satu yang cukup besar itu, Alex membantu Safia turun dari mobil kemudian membawanya masuk ke dalam rumah.

Safia sendiri nampak bingung dengan kepala celingak celinguk ke sana kemari, dia tidak mengerti kenapa Alex membawanya ke tempat itu.

"Dokter Alex, ini dimana?" tanya Safia menautkan alis.

"Jangan takut, ini rumah orang tuaku. Untuk sementara tinggallah di sini!" ucap Alex.

"Tapi kan-"

"Tolong jangan menolak! Aku hanya ingin membantu," potong Alex.

Safia mematut Alex barang sejenak, beberapa detik kemudian pandangannya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari kamar.

"Alex..."

Wanita tua itu mengernyit melihat kepulangan putranya yang tidak biasa membawa seorang wanita ke rumah itu. Dia pikir Safia adalah calon menantunya, dia pun menyambut kedatangan Safia dengan antusias.

"Anak nakal, katanya tidak punya pacar." ucap wanita paruh baya yang diketahui bernama Lia itu, dia pun menjewer kuping Alex.

"Tidak Bu, Ibu salah paham. Alex tidak punya pacar, ini teman Alex, namanya Safia. Dia juga seorang dokter," ungkapnya pada sang ibu.

"Bu..." Safia lekas menyapa Lia lalu mengulurkan tangan ke arah wanita tua itu. Safia menyalaminya dan mencium punggung tangannya.

"Dokter Alex benar Bu, kami hanya teman seprofesi." imbuh Safia membenarkan.

Meski kecewa mendengar pengakuan Safia, tapi Lia berusaha legowo menerima kenyataan. Entah apa yang salah dengan putranya itu sehingga masih setia membujang hingga detik ini, padahal dia sudah sangat ingin menimang cucu.

Setelah mempersilahkan Safia duduk, Lia meninggalkan mereka berdua barang sejenak. Dia memasuki dapur dan membuatkan minuman untuk Safia dan putranya.

"Bu, Safia boleh tinggal di sini ya. Alex kasihan sama dia," ucap Alex sesaat setelah tiba di dapur menyusul sang ibu.

Lia yang tadinya ingin menuang air panas ke dalam cangkir tiba-tiba terdiam dan menghentikan aktivitasnya. "Memangnya kenapa? Apa Safia tidak mempunyai tempat tinggal?"

"Punya, bahkan dia memiliki istana yang sangat megah. Tapi sayang suaminya tidak menginginkan dirinya, aku curiga dia tidak bahagia dengan pernikahannya." jelas Alex.

Mendengar itu, Lia membulatkan mata dengan mulut sedikit menganga. "Apa Safia istri orang?"

"Hmm..." angguk Alex.

Lia yang terkejut spontan memukul kepala putranya karena marah. "Apa kamu sudah gila? Kenapa membawa dia ke sini? Bagaimana kalau suaminya tau? Ibu tidak mau kamu dituduh menyembunyikan istri orang,"

"Bu, dengar Alex dulu! Ini tidak seperti yang Ibu bayangkan," Alex kemudian menarik lengan Lia dan membawanya ke taman belakang lalu menceritakan semuanya pada wanita paruh baya itu.

Tidak hanya mengatakan bahwa Safia diperlakukan buruk oleh suaminya, Alex juga menjelaskan tentang penyakit yang diderita Safia saat ini. Sebagai seorang dokter dia tentu saja sangat peduli pada kondisi Safia, apalagi Salman sepertinya tidak peduli pada wanita itu.

Alex juga mengakui kalau dia mencintai Safia jauh sebelum wanita itu menikah, Alex hanya ingin membantu Safia tanpa mengharapkan balasan apa-apa.

Dia tidak mungkin membiarkan wanita yang dia cintai menderita. Tidak masalah jika Safia tidak memandangnya, dia hanya ingin Safia sembuh dan bahagia menjalani hidupnya.

Mendengar ketulusan hati putranya, Lia sontak terenyuh dan memeluk Alex dengan erat. Dia kasihan pada mereka berdua, kenapa putranya harus mencintai wanita yang sudah memiliki suami?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!