POV Ayu
Sejak kedatangan Zahra aku rasakan ads perbedaan yang begitu kuat dalam hatiku. Banyangan Anin yang selalu muncul dalam mimpi mimpi indah ku hilang begitu saja. Aku juga tidak tahu kenapa harus begitu, dulu aku begitu sering membanyangkan kalau Anin datang memeluk dsn memanggil aku ibu. Tapi kenyataannya tidak sama sekali.
"Ibu nggak mau kalau Zahra tinggal disini!" awal pertama waktu Ana putri keduaku meminta aku mengizinkan Zahra untuk tinggal di rumahku.
Alasannya aku tidak menerima Zahra kerena banyangan Anin selalu datang dsn aku nyakin gadis itu akan datang memeluk tubuhku. Apa salah aku menunggu anak pertamaku? Ya biarpun aku mendengar kalau Anin meninggal, tapi hatiku dan perasaanku menganggap Anin masih hidup.
"Ibu kasihan kak Zahra, terus kak Zahra harus tinggal diman kalau nggak disini?" tanya Ana waktu itu.
"Ya tinggal sja di rumah kades, dia kan yang mendatangkan Zahra ke desa ini? Biar apa kades mengizinkan gadis itu datang ke desa ini?" tanya ku heran.
Ya heran sudah beberapa kali yang datang ke desa ini tidak ada yang mau kok yang tinggal di rumahku? Kalau yang ini malah la lain, aku malah mendengar kalau Zahra yang meminta pak kades untuk meminta aku mengizinkan kalau Zahra tinggal di rumahku. Aneh kan..
Ya aku terang terangan tidak mengizinkan Zahra datang atau menempati salah satu kamar itu, aku hanya takut kalau Anin datang saat kamar itu di tempati oleh Zahra. Masa aku harus mengusir Zahra untuk meninggalakan kamar itu, tidak mungkin kan. Jadi daripada terjadi sesuatu lebih baik aku tidak pernah mengizinkan Zahra untuk tinggal di salah satu kamar yang bakal dipakai oleh Anin.
Ya biarpun Ana menentangnya. Tapi aku mempertahankannya.
"Ya sudah kalau ibu nggak mengizinkan aku tinggal disini, tapi ibu masih mengizinkan aku main di sini ya sama Ana." kata gadis itu sambil tersenyum.
"Kakak mau tinggal diman kalau nggak disini?" tanya Ana.
"Kakak tinggal di ruang perpustakaan desa, ada kok satu ruangan yang nggak terpakai." ujar Zahra.
"Tapi izinkan kalau Zahra main ya Bu, jangan dilarang kalau main," senyum Zahra manis.
Aku hanya bisa menghela nafas, mendengar apa yang di bicarakan oleh Zahra. Setelah Zahra mengatakan itu aku langsung meninggalkan ruang tamu. Sejujurnya aku meninggalkan mereka hanya ingin mengatur debaran jantungku yang tiba tiba sangat berdebar sekali mendengar keputusan Zahra yang begitu tanpa aku duga sama sekali.
Awalnya aku biasa saja saat Zahra menempati ruangan di perpustakaan desa. Tapi lama lama kok aku merasa satu kehilangan yang teramat sangat sekali, aku takut Zahra pergi jauh seperti Anin..
Ya aku takut kalau Zahra tiba tiba datang dsn pergi lagi seperti Anin yang pergi begitu saja tanpa pamit, ya Anin pergi tanpa pamit sedangkan tubuh suamiku tergeletak begitu saja dengan darah yang telah mengering.
"Anin dan ayahnya meninggal tapi sekarang Anin nggak diketahui jasadnya," celoteh mereka pada waktu itu..
Ya siang hari desa itu geger oleh penemuan mayat di sebuah kebun yang tidak jauh dari pesawahan, setelah diselidik kalau itu mayat dari suami ku yang telah meninggal. Sebenernya bukan siang saja aku dan kang Iyan mencari kang Hamdi juga Anin.
Kami menemukan tubuh kakang Hamdi telah kaku sekali, apalagi darah di tubuhnya telah mengering.
"Paling kerjaan saudaranya yang mau merebut kekayaan adiknya!" celetuk yang lain.
Aku diam saja. Tidak berkomentar dan sekali.
"Jangan jangan Anin juga di bunuh atau di jual oleh uwa nya tuh!"
"Atau bisa aja di bunuh."
"Paling dijual nggak mungkin dibunuh! bocah segitu sih mana ingat kalau udah gedenya."
"Tajir tahu kalau jual anak kecil."
"Biro boro manusia jin juga doyan sama bocah apalagi manusia."
"Enak kali diambil jin nggak dijual paling diangkat jadi anaknya. Kalau manusia mana mungkin mengangkat anak, kecuali orang kaya yang nggak punya anak."
"Kasihan juga ya?"
Banyak komentar komentar yang terdengar di semua warga. Tapi aku diam saja, kadang aku juga marah sama warga yang menganggap Anin telah mati di bunuh, tapi aku tidak percaya begitu saja kerena sampai sekarang Anin belum menampakkan mukanya.
Tapi semuanya telah berubah saat Zahra datang. Tanpa aku tahu kedatangan Zahra yang telah membuat hidupku berubah secara berlahan, mimpi mimpi tentang Anin entah kenapa seperti menghilang entah kemana, tergantikan dengan Zahra.
Aku tidak nyakin kalau Zahra datang ke desa itu hanya sekedar tugas, kadang aku penasaran dengan kedatangan dirinya yang tiba tiba, dibandingkan dengan pendatang baru Zahra seperti nya betah dan bisa berdaptasi dengan penduduk desa xxxx.
Aku kadang ingin menyakan keluarganya tapi aku segan sekali, ya aku tahu kalau Zahra punya orang tua dan ia salah satu anak tunggal yang hidup mewah. Dan satu yang aku heran kan kerena ia berasal dari keluarga yang kaya raya, punya mobil, tapi yang aku heran kan ia malah betah di desa ini. Desa yang sederhana, tidak seperti kehidupan dirinya di kota.
"Sudahlah Bu, aneh juga ibu masa aku harus tanya tanya tentang kak Zahra sih!" Rajuk Ana ketika aku menyuruh Ana untuk bertanya tentang Zahra di rumah di kota.
"Sekali aja, Na. Katakan ibu ingin tahu." bujuk ku.
Tapi Ana menolak dengan halus. Aku hanya menghela nafas panjang. Melihat Ana menolak untuk menanyakan tentang Zahra. Akhirnya aku juga tidak menyakan lagi tentang Zahra pada Ana.
Aku sebenarnya penasaran dari kata kata Zahra.
"Aku hanya ingin kaya ayah?" ujarnya waktu aku tanya alasan kenapa dirinya jadi pustakawan.
"Ayah yang selalu jadi guru aku waktu kecil, beliau lah yang membuat saya seperti ini." katanya tersenyum.
Sejak Zahra datang ke desa ini, aku hanya mendengar ia selalu memanggil ayah pada bapaknya. Aku juga tidak tahu sebutan Zahra pada bapaknya, apa bapak atau ayah. Begitu juga Zahra kalau memanggil wanita yang melahirkannya yaitu ibu.
Aku tidak tahu. Sejak di desa ini, Zahra memanggil pada orang tuanya di kota dengan sebutan Ibu dan ayah. Aneh, yang aku tahu kalau orang kaya atau orang kota sering dipanggilnya mami dan papi.Taoi kalau Zahra memanggilnya ayah dan ibu, tapi aku juga tidak menanyakan sih!
"Sejak kecil saya ingin kaya ayah, ayah selalu memberikan ilmu buat semua warga."
"Ayah juga semangat buat saya untuk terus memberikan yang terbaik buat semuanya."
"Wah nak Zahra bangga ya punya ayah kaya ayah nak Zahra?" tanyaku.
"Saya bangga sekali Bu, tapi saya juga kangen ayah." ujarnya tersenyum.
"Kaku nak Zahra kangen sama ayah nak Zahra sering telpon dong pada ayah di rumah." ujarku memberikan semangat.
"Nggak juga sih!" senyum Zahra misteri.
"Kok nggak, pasti lah. Kan nak Zahra bisa vidio call sama ayah." kataku heran.
Ya tidak heran bagaiamana, jawaban Zahra membuat aku bigung masa tidak telpon sama ibu dan ayahnya disana, pastikan kalau Zahra kangen. Tapi Zahra hanya diam saja waktu aku berkata seperti itu, ia seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin aku tahu.
Ya kalau Ana memang nggak akan bisa bertemu dengan ayahnya, kerena ayah Ana telah meninggal dsn tidak kembali lagi, tapi dengan Zahra?*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
👑keluarga author
🥰🥰🥰
2023-03-21
1
👑Arsy Al'Fazza🌿
keren sis 💕
2023-03-21
1