18| Benteng Black Joe

Flores hanya ingin mempertahankan rumah tangganya. Seperti tak lagi direstui semesta, dia telah kehilangan banyak kebahagian. Hidup bersama Philip sebagai istrinya tak lagi terasa mudah dan menyenangkan untuk dijalani oleh seorang Flores Lottie. Di beberapa waktu dia ingin menyerah, menyudahi segalanya. Namun, di waktu yang sama pula, cinta Flores yang begitu tulus pada Philip membuat dirinya memilih mencoba sekali lagi ... dan lagi.

“Flo.”

Flores menoleh. Marc berdiri tak jauh darinya. Pria itu melambai dan berjalan mendekatinya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Marc menatap sekelilingnya. Marc mengenal Flores cukup baik. Flo bukan tipe perempuan yang suka menghabiskan waktu di taman bermain kota yang ramai begini.

Flores tersenyum masam. “Hanya jalan-jalan.”

Marc memandangi penampilan Flores. Sangat sederhana, cenderung alakadarnya—tidak mencerminkan sosok Flores Lottie—dan terkesan menyedihkan.

“Ada masalah?” tanya Marc. “Wajahmu sedikit pucat.” Marc mendekati Flores, mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Flores.

Flores memalingkan wajahnya, menghindari sentuhan Marc.

Marc terdiam sejenak, Flores banyak berubah. Tentu, dia memegang teguh kesetiannya.

“Maaf, Flo.” Marc berusaha memahami Flores. “Aku hanya ingin memeriksa barangkali kau demam.”

Flores menggelengkan kepalanya. “Aku harus pergi,” ucap Flores dengan ketus. Dia berpaling meninggalkan Marc.

“Flo.” Marc mencegah Flores pergi. “Aku sudah mendengar kabarnya.”

Flores menoleh. dipandanginya raut wajah lelaki itu. Marc bersedih, entah itu nyata atau hanya pura-pura.

“Aku tidak akan menyebutkan apa yang sudah aku dengar dari Nyonya Myah.” Marc mendekati Flores. “Aku hanya ingin menemanimu saja.”

Flores memandang Marc. Dia tidak berbicara sepatah kata pun. Flores keluar dari rumahnya, menyendiri dan menjauh dari Philip sebab dia ingin menjernihkan pikirannya.

Sepanjang hidupnya bersama Philip, ini adalah pertengkaran Flores yang paling serius. Dia tidak pernah melihat suaminya menangis seperti tadi. Flores juga tidak pernah merasakan keraguan di dalam hatinya terhadap Philip.

“Bagaimana dengan minum sebotol wine bersama?” Marc menawarkan. Dia memandangi sekelilingnya. “Kebetulan tak jauh dari sini, temanku membuka bar baru. Kita bisa menenangkan pikiranmu di sana.”

Flores tak memberi jawaban.

“Tempatnya bagus dan tenang.” Marc berusaha membujuk. Seulas senyum mengiringi kalimatnya. “Sesuai dengan selera tempat yang kau suka,” ucap Marc memungkasi kalimatnya.

Flores tidak berbicara, dia berpaling dan melangkah pergi dari hadapan Marc.

Marc menghela hapas kecewa ketika Flores pergi begitu saja. Dia hanya bisa memandangi punggung Flores.

Namun, tiba-tiba Flores berhenti dan menoleh pada Marc.

“Mobilmu parkir di mana?” tanya Flores dengan ekspresi wajah datar.

Senyum merekah layaknya bunga ceri di musim semi, Marc langsung berlari ke arah Flores dan menuntun wanita itu ke tempat dia memarkirkan mobilnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Terletak di pojok barat jalanan kota, Flores menemukan kenyamanan di tempat ini. Seperti janji Marc, tempat ini pasti bisa membuat Flores menjadi lebih tenang. Di temani dua gelas cocktail berukuran sedang, Flores dan Marc duduk saling berhadapan. Flores tak pernah memandang wajah Marc sedari tadi. Keberadaan lelaki itu seakan tak pernah ada untuk Flores.

“Lupakan sejenak masalahmu, Flo.” Marc meraih tangan Flores dan menggenggamnya. “Hubungan rumah tangga tidak selamanya berjalan seperti skenario yang kita inginkan.”

Flores menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau percaya, jika Philip ....” Dia bahkan tak sanggup meneruskan kalimatnya.

“Philip bilang itu hanya rencana ibuku, tetapi aku ....” Flores menghela napas. “Aku tidak bisa menuduh ibuku begitu saja, tanpa bukti, Marc.”

Marc manggut-manggut. Senyumnya berusaha membuat Flores merasa dimengerti.

“Aku bahkan melupakan Elisa hari ini.” Flores mengerutkan dahi. “Aku tidak bisa menghadapi Elisa dengan keadaan begini.”

“Sebenarnya aku sudah menyuruh anak buahku untuk menjemput Elisa.” Marc membuat pengakuan. “Dia diawasi oleh anak buahku sekarang, Flo.”

Flores terdiam sejenak. Kemudian dia melanjutkan. “Kau melakukan semua itu?”

Marc manggut. “Aku mengkhawatirkan putrimu setelah mendengar kabar buruk itu, Flo.”

Flores menunduk sembari mengusap wajahnya. “Terimakasih, Marc.”

“Flo,” panggil Marc. Dia kembali meraih tangan Flores dan menggenggamnya. “Aku akan selalu ada di sisimu, Flo.”

“Aku akan selalu mendukungmu dan tidak akan pernah meninggalkan dirimu,” imbuh Marc lagi.

Flores melepaskan genggaman tangan Marc. “Kau tidak perlu melakukan itu, Marc.”

“Aku adalah istri Philip, bukan mantan kekasihmu lagi, Marc.” Flores memberi penegasan. “Aku tidak ingin ada yang salah paham dengan kita.”

Marc malah tertawa. “Apakah mantan kekasih tidak bisa menjadi teman?” Dia membawa suasana menjadi lebih santai. “Kita bisa menjadi teman, Flo.”

Flores hanya bisa menghela napas. Dia mengambil segelas cocktail dan meminumnya. “Terserah aku saja,” gumam Flores.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Philip menyusuri jalanan kota, tanpa tujuan. Seperti Flores, dia hanya berusaha untuk menenangkan pikirannya. Suasana malam Kota Los Angeles mungkin bisa membuatnya merasa nyaman.

Di tengah perjalanan, dari arah yang sampingnya, sebuah mobil melaju cukup kencang ke arahnya. Philip yang terkejut tak sempat menghindar hingga mobil itu menabrak motornya. Philip terpental ke jalanan, tubuhnya berguling cukup jauh dari motornya yang rusak.

“Argh!” Philip merintih ketika merasakan tulang belulangnya seakan remuk sekujur tubuh. Dia hanya bisa terbaring lemah sembari menyaksikan langit-langit malam yang kosong.

Sayang sekali, jalanan ini tidak ramai. Philip pun enggan berharap seseorang datang untuk menyelamatkannya, sebab dia tahu dia sudah tak punya tenaga untuk berteriak.

“Kau menabraknya terlalu keras.” Suara bisikan itu terdengar samar oleh Philip.

Ketika Philip menoleh, dia hanya melihat dua pasang langkah kaki buru-buru berjalan menghampirinya.

“Dia tidak terluka parah.” Seseorang menyahut.

Pandangan Philip mulai kabur. Namun, Philip masih berusaha untuk berbicara, meminta bantuan pada mereka.

“Kita harus membawanya ke markas.”

Philip mulai kehilangan kesadaran. Ketika dua orang itu sudah berdiri di sampingnya, Philip jatuh pingsan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Suasana sunyi, sepi tak mencekam. Philip membuka matanya. Dipandanginya seluruh sudut ruangan, di mana Philip mulai merasa asing.

“Aku di mana?” gumam Philip sembari berusaha bangun. Luka di kening dan beberapa bagian tubuhnya telah diobati dengan baik. Bahkan, luka robek di betisnya pun sudah dijahit dengan rapi dan secara profesional. Namun, Philip yakin ini bukan kamar rumah sakit.

Philip turun dari ranjangnya, berjalan pincang. Dia melihat-lihat suasana ruangan. Satu lampu gantung di tengah ruangan, cahayanya tidak cukup untuk menjangkau dari sudut ke sudut.

“Kau sudah bangun?”

Philip terkejut ketika seseorang—tanpa suara—tiba-tiba berdiri di belakangnya. Dia memandangi Philip yang masih kebingungan.

Dia seorang wanita. Perawakannya tinggi besar, hampir menyamai tubuh jangkung Philip.

“Kau siapa?” tanya Philip dengan memandangnya penuh kewaspadaannya.

Wanita itu tidak bersenjata. Dia hanya membawa sebuah catatan dan meletakkannya di atas meja. Wanita itu menarik sebuah kursi di depan meja dan duduk di sana. Pandangan matanya meneliti Philip dari atas sampai bawah, kemudian memberi isyarat pada lelaki itu untuk duduk di depannya.

“Duduklah. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucapnya.

Philip menggelengkan kepalanya. “Katakan siapa kau dan apa tujuanmu menculikku?”

Wanita itu tertawa. “Menculikmu?” Dia mengernyitkan dahi. “Bukankah itu terlalu kejam dikatakan saat keluargamu menjemputmu pulang ke rumah, Philip Sherburne?”

Philip mengerutkan kening. Kata ‘keluarga’ telah menarik langkah kakinya untuk mendekati wanita itu. “Kau bilang kita keluarga?”

Wanita itu mengangguk. “Aku bilang duduklah. Aku akan menjelaskannya.”

Philip duduk di depan wanita itu. Memandangnya dengan saksama. “Katakan padaku.”

Dia tersenyum pada pada Philip. “Sebelum aku menjelaskan, biarkan aku mengatakan kalimat ini, Philip.”

“Jujur saja, aku ingin sekali mengatakan hal ini.”

Philip mendesah panjang. “Jangan basa-basi dan ....”

“Badai dari timur, akhirnya kau kembali ke bentengmu! Selamat datang, Philip!” Dia tersenyum seringai pada Philip. “Welcome to your home, Philip.”

Next.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!