Plato mengejar bayang hitam tersebut seorang diri memasuki hamparan kebun karet. Plato berhenti sampai tiba-tiba ada yang menyerangnya dari belakang.
“Siapa kau? Jangan menganggu urusanku!” ucap bayangan hitam dengan suara beratnya.
Plato tersenyum, ia berdiri lalu memejamkan mata dan dalam waktu sentengah detik kemudian ia berhasil mencekik si bayangan hitam. Plato tidak menyerangnya secara raga melainkan jiwa setengah dewa dari wujud sang kakeknya keluar lalu menjerat bayangan hitam dengan penjepit menyerupai jepitan kepiting. Jiwa Plato berbentu jiwa aslinya yang menyerupai sang kakek. Badannya berbentuk manusia dan bagian bawahnya menyerupai ekor ular serta jepitan kepiting di pinggangnya.
Seorang pria tua terbatuk mengeluarkan darah segar dari mulutnya saat Plato mencengkram leher si bayangan hitamnya semakin kuat. “Kamu menumbal orang yang tidak berdosa, heh?” Lalu mata Plato mengeluarkan cahaya merah dan dalam sekejab bayangan hitam itu hancur tak bersisa bersamaan dengan jerit seorang wanita yang mendapati ayahnya meninggal dengan darah segar mengucur dari mulut, mata dan telinganya.
Plato kembali ke raganya lalu kembali ke tempat kejadian. Althea masih berusaha menyembuhkan beberapa korban luka ringan. Seekor ular putih keluar dari tangannya lalu menghisap darah yang menumpuk di dada seorang pria karena benturan kuat saat kejadian.
“Apa sudah selesai semua?” tanya Plato.
“Sudah!” jawab sudaranya serempak. Mereka kembali ke mobil lalu jari Altair kembali menjentik ke udara dan semua tersadar kembali. Polisi kembali mengarahkan para pengguna jalan tol untuk melanjutkan perjalanan yang sempat terhambat. Althea sempat melambaikan tangan saat mobil mereka mulai melaju. Beberapa arwah yang sempat ia tolong melambai dan tersenyum padanya.
Sepanjang perjalanan, Regar berusaha berbincang dengan Eno dan Ela tapi sayangnya mereka tidak terlalu memperdulikannya. Eno dan Ela memilih diam sambil melihat pemandangan luar melalui kaca mobil. Ada kesedihan di mata mereka mengingat saudara mereka, Medusa.
Mobil mulai memasuki area perkotaan yang padat penduduk dengan bangunan tinggi menjulang. “Kita makan dulu, ya?” tanya Mario. Anak-anaknya sangat penurut dan hanya mengangguk patuh. Regar mereservasi ruang pribadi di sebuah restoran.
Mata anak-anak serta iparnya tidak berhenti melirik kiri-kanan saat memasuki restoran. Ini pertama kalinya mereka melihat tempat semacam ini. Sebelumnya Mario sempat memperlihatkan pada mereka secara singkat memalui video di ponsel tapi ini berbeda. Mereka harus berhadapan langsung dengan semua objek nyata saat ini. Pelayan membawa mereka ke ruang privat yang sudah dipesan sebelumnya.
“Kalian mau makan apa?” tanya Mario.
“Aku mau daging rusa, Ayah!” sahut Plato cepat.
“Aku buah dan daging.” Sahut Althea.
“Ini apa?” tanya Plato menunjuk ke arah menu bergambar kepiting besar.
Mario paham sesuatu karena Ela dan Eno sudah mengajarkan banyak hal pada mereka lalu ia pun berbisik ke telinga Plato membuat mata pemuda itu melebar. Plato menggeleng kuat kemudian melihat yang lain. Semua interaksi antara mereka tidak luput dari mata Regar sang asisten yang masih menyimpan banyak tanya dalam benaknya.
Mario memesan semua jenis daging untuk mereka karena anak-anak dan iparnya tidak memakan makan laut karena mereka berasal dari laut. Semua makanan sudah memenuhi meja dan mereka dengan semangat menyantap makanan itu seolah tidak ada orang lain di sana. Regar mengangan menatap pemuda-pemudi yang sedang menyantap banyak makanan seolah tidak makan selama setahun. Regar kenyang hanya dengan melihat mereka makan.
Mulut Regar kembali menganga dengan mata melotot saat melihat semua hidangan habis tak tersisa. “Kamu tidak memberikan mereka makan selama ini, Bos?”
“Bukan tidak memberi tapi makanan yang selama ini mereka makan sangat segar berbeda dengan di sini.” Mario berkilah padahal semua anak-anaknya pemakan banyak makanan dan porsi mereka melebih porsi orang normal karena pada kenyataannya mereka bukan manusia sepenuhnya.
“Ayah, aku ingin makan ini lagi nanti!” ucap Acasha dengan mulut belepotan.
“Nanti kita akan makan banyak jenis makanan lain, oke!” mereka mengangguk patuh.
Tepat pukul delapan malam, dua mobil memasuki kediaman Mario. Regar sudah menghubungi keluarga mario sebelumnya dengan alasan dia akan membawa seseorang yang selama ini mereka tunggu. Hanya satu orang yang selama ini mereka tunggu dan saat suara mobil memasuki halaman, orang tua Mario langsung berlari ke luar.
Mata mereka terbelalak saat melihat sang putra kembali dalam keadaan hidup dan tidak kurang satu apa pun. Nyonya Laras langsung lari memeluk sang putra. Wanita itu menangis dan menghujam ciuman sayang di wajah sang putra.
“Kemana saja kamu? Mama hampir mati memikirkanmu.” Mario tersenyum, “Ayo masuk, Ma. nanti aku ceritakan di dalam. Anak-anakku juga lelah.” Wajah Nyonya Laras seketika tergugu.
“Anak?” Mario kembali tersenyum, “Ayo, aku ceritakan di dalam.”
Mario membawa sang ibu ke ruang tamu. Lalu satu persatu anaknya ikut duduk di samping ayah mereka. Regar juga ikut masuk bersama Eno dan Ela. “Bik, tolong buatkan minum dan makanan pencuci mulut ya!” pinta Mario pada pembantunya.
Kini semua mata menatap Mario penuh tanya. Pria itu menghela nafas lalu mulailah ia bercerita. “Aku pergi mengunjungi istriku di sebuah tempat terpencil. Kami sudah menikah lama dan tidak pernah memberitahukan Mama dan Papa selama ini. Itulah kenapa aku selalu menolak untuk dijodohkan oleh kalian. Dan selama itu pula aku terus mengirimkan uang untuk mereka hingga mereka tumbuh sehat seperti sekarang dan berkat jasa saudara dari istriku hingga anak-anak ini tumbuh kuat dan ceria.”
“Lalu di mana istrimu?” tanya Nyonya Laras tegas.
“Sesuatu yang buruk terjadi hingga kami kehilangannya. Aku memutuskan membawa mereka ke sini dan sudah saatnya aku mengenalkan mereka ke keluarga kita.”
“Kapan kamu menikah? Kenapa anak-anakmu sudah besar seperti ini? Kalau kamu mau berbohong yang masuk akan sedikit.” Nyonya Laras kembali memberondong putranya.
“Aku menghamilinya saat usiaku enam belas tahun, Ma. Wa-“
“APAAA???” Nyonya laras memekik.
“Kamu melakukannya saat masih SMA?” Mario mengangguk. Tidak mungkin dia menceritakan yang sesungguhnya pada mereka.
“Gila kamu, Mario!” sahut Papa.
“Maaf, Ma, Pa.”
“Mereka kembar?” tanya Mama Laras lagi. Wanita itu sebenarnya sudah jatuh hati pada cucu-cucunya yang tampan dan cantik itu. Cuma rasa penasaran mengalahkan segalanya.
“Iya, Ma. kembar lima.” Senyum mengembang di wajah Nyonya Laras dan suaminya. Diki dan Dessy ikut tersenyum bahagia karena kakak mereka kembali serta membawa kado terindah yaitu para keponakan yang cantik dan tampan.
"Mereka seperti pahatan dewa Yunani.” Celutuk Dessy tak berkedip menatap Plato, Altair dan Orion. Semua orang terkekah tapi tidak dengan putra-putri Mario. Mereka saling melirik lalu kompak menatap sang ayah.
“Tapi ada satu hal yang harus aku beritahu tentang mereka.” Ucap Mario membuat senyum keluarganya sirna.
“Mereka tidak pernah sekolah dan tidak tahu kehidupan seperti apa yang kita jalani. Mereka hidup di daerah terpencil, tidak ada tata krama seperti di sini. Mereka hanya bergaul sesamannya. Tidak ada orang lain serta mereka juga tidak mengenal perabotan seperti di rumah kita.”
“Mama dan adik-adikmu akan membantu mereka. Kamu tenang saja.”
“Ada berita lain yang harus kamu ketahui, Kak.” Ucap Diki membuat Mario melirik ke arah saudara iparnya.
“Aku tahu, setelah ini aku akan bicara dengan kalian.” Anak -anak dibawa menuju kamar masing-masing oleh para pelayan. Mereka juga diajarkan cara menghidupkan keran air dan sebagainya. Sementara di ruang kerja, Mario langsung berbicara dengan orang tuanya.
“Di mana dia sekarang?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments