Episode 10 : Kelompok

Mendengar pernyataan Dea, pangeran merasa keputusannya membunuh keluarga Dea adalah sebuah kesalahan. Namun yang tak bisa ia pahami adalah, kenapa Dea terlihat sangat menyesal karena tak banyak menghabiskan waktu dengan keluarganya. Padahal waktu yang ia habiskan dengan keluarganya dulu lebih banyak menderita.

"Kini orang-orang berpikir bahwa aku pembawa sial. Karena semua orang yang terlibat pertengkaran denganku meninggal setelahnya. Apakah aku juga dikutuk dimasa lalu?" pikir Dea bergumam sendiri.

Pangeran merenungi perbuatannya selama ini. Ternyata tak selamanya kebencian menginginkan dendam. Tak semua manusia memiliki sifat pendendam seperti dirinya. Ia pikir Dea akan bahagia dengan ketiadaan sumber deritanya. Namun ia salah, ia malah menimbulkan derita lain untuk Dea. Lalu bagaimana jika Dea mengetahui bahwa keluarganya dibunuh?

...~~...

Dua tahun yang lalu, saat Dea merayakan ulang tahunnya yang ke 21. Belum genap satu bulan ia kehilangan mamanya. Ulang tahun kali ini terasa seperti kutukan untuknya.

Dea meniup lilin seorang diri, ia menyanyikan lagu dengam suara lirih. "Selamat ulang tahun, Dea... Semoga selalu bahagia..."

"Dea...! Kau gila?! Kenapa kau memblokir kartu ATM ku..!" Pekik Dewa menggema. Adik bungsu Dea itu mengamuk dan melempar semua benda yang ia lewati.

"Dewa, kita tidak memiliki orang tua lagi. Kau harus mulai hemat dan mengatur pengeluaran mu." ucap Dea memandang pias kepada sang adik.

"Hemat..?" Dewa melebarkan matanya, "dengar ya.. Aku ini penerus perusahaan Papa. Untuk apa aku mengkhawatirkan keuangan? Sebaiknya kau jaga sikap jika ingin hidup denganku. Karena aku bisa menendangmu kapan saja..!"

Mendapat kasih sayang berlebih dari kedua orang tua membuat Dewa besar kepala. Terlebih saat seluruh aset telah di ubah menjadi atas namanya. Bagi keluarga Dea, lelaki lah yang perlu memimpin, memiliki dan menguasai segalanya. Karena anak perempuan, esok akan menikah dan pergi dari rumah. Jadi anak perempuan harus menggantungkan hidup sepenuhnya kepada suaminya kelak.

"Kamu itu masih 18 tahun, Dewa! Masih panjang perjalananmu untuk sampai ke kursi papa. Kamu pikir menjadi pimpinan hanya sekedar menunjuk para bawahannya dengan perintah? Untuk sampai diposisi itu perlu otak yang cerdas. Dan untuk dapat otak yang cerdas kau harus serius dengan pendidikanmu. Mulai sekarang kau harus fokus belajar, dan kurangi pergaulan bebasmu itu."

Walau sakit hati mendengar ucapan sang adik, Dea masih berbaik hati dengan memberi nasihat. Tak apa jika ia bukan ahli waris. Tak mengapa juga jika dia ditendang jauh nantinya. Yang ia harapkan sekarang hanyalah kehidupan sang adik yang harus jauh lebih baik.

"Pikirkan dirimu sendiri..! Mulai sekarang carilah pekerjaan sampingan atau apapun itu, karena aku tidak akan membagi sepeserpun uangku untukmu..!" kecam Dewa menatap jengah sang kakak.

Satu minggu kemudian, Dea benar-benar kebingungan. Uang yang seharusnya cair ke rekeningnya untuk biaya kuliah, kini di belikan oleh Dewa.

Sebagai anak sulung, Dea mendapat jatah 300 juta setiap bulan untuk kebutuhan kuliah dan harian. Namun tentu saja uang itu tak seberapa, mengingat Dea menempuh pendidikan di kampus ternama. Belum lagi keperluan rumah dan untuk makan setiap hari.

Dan sebagai ahli waris, Dewa berhak melakukan apapun, termasuk menghentikan uang bulanan Dea.

"Dewa..! Kenapa kamu melakukan ini padaku?!" pekiknya saat Dewa baru saja pulang ke rumah.

"Kenapa? Kau tidak suka?" jengah Dewa tertawa kecil.

"Aku harus membayar uang semesterku. Aku punya kebutuhan penting lainnya, kenapa kau melakukan ini...?!" tangis Dea tertahan, ia berharap Dewa hanya bercanda kali ini.

"Kau juga melakukan itu padaku, kau pikir aku tak punya kebutuhan? Kau salau melakukan itu padaku Dea... aku bisa berbuat hal yang lebih menakjubkan. Bagaimna? Kau suka..?"

"Aku harus membayar kuliahku Dewa, kau bisa mengambil semuanya, tapi tolong jangan uang kuliahku." pinta Dea memelas. Ia bak seorang pengemis yang tengah memohon kepada saudagar kaya. Dan Dewa merasa puas dengan itu.

"Kau pikir aku peduli? Kenapa kau tidak jual diri saja untuk membayar kuliahmu hahahahah..." Dewa melenggang ke kamarnya tanpa memperdulikan sang kakak.

Dea terpaku ditempatnya menahan derik hati yang amat sakit. Bagaimana bisa seorang adik mengatakan hal kejam itu? Memangnya apa yang pernah Dea lakukan, sampai adik satu-satunya itu juga ikut membencinya? Patriarki yang ditanamkan kedua orangtua Dea membuatnya seakan dibunuh berulang kali. Sakit, sakit yang amat dalam dan tak bisa terucapkan.

...~...

"Kau merindukan adikmu?" tanya Pangeran keada Dea, yang tengah memandangi foto sang adik.

"Andai aku melihat jasadnya..." lirih Dea. Adiknya itu tenggelam saat tengah berlibur dengan kapal pesiar. Dan sampai sekarang jasadnya tidak ditemukan. Padahal lautnya tak begitu dalam, karena kapal pesiar baru berlayar 700 meter dari pesisir pantai.

"Bisakah... ASTAGA!" Dea hampir melompat dari sofa, saat melihat pangeran sedang bermeditasi. Posisinya duduk mengambang.

"Apa..?" tanya Pangeran, penasaran dengan kalimat Dea yang terpotong.

"Kau bisa menemukan adikku?"

"Untuk apa? Bahkan jika ketemu pun tubuhnya pasti sudah hancur di makan ikan." sahut Pangeran cepat.

Bibir Dea berdecit sinis mendengar itu. "sshh.. bagaimana bisa kau mengatakan hal kejam itu." rutuknya kesal.

Sekali lagi pangeran merasa bersalah. Ia pikir Dea akan berterimakasih kepada takdir, karena keluarganya sudah tiada. Yang artinya penderitaannya pun hilang. Apakah hanya dirinya saja yang tak punya rasa rindu atupun menyesal kepada orangtuanya?

...~~...

"Pekan depan kita akan mulai mengerjakan patung. Buatlah skesta semenarik mungkin. Saya akan membuat kelompok terdiri dari dua orang." Dosen mulai membacakan nama-nama yang akan bekerja sama. Namun sebagian besar siswa sudah menyerukan suara bahwa mereka tak mau satu kelompok dengan Dea.

"Kenapa tidak ada yang mau sekelompok dengan Dea?" tanya Dosen berperawakan gemuk itu.

"Dea itu pembawa sial, Pak. Kami tidak mau ketiban sial." celetuk salah satu murid, dan diangguki yang lainnya.

"Kau.., siapa namamu... Bara..?" tunjuk Pak Dosen kepada siswa yang duduk di sudut kelas.

Lelaki bernama Bara itu mengangkat kepalanya. Tak seperti namanya, lelaki itu di kenal sangat dingin, bahkan hampir tak pernah berbicara. Satu kelas ini tak ada yang pernah berteman dengannya. Bara seperti hantu yang terlihat, namun tak pernah mau kehadirannya di akui.

"Kau mau satu kelompok dengan Dea?" ucap Pak Dosen, jika tidak mau juga. Maka ia akan memaksa siapa saja.

"Terserah.." jawab Bara malas, ia kembali menumpangkan kepalanya diatas lengan. Jika bukan karena keinginan orang tuanya, ia takkan sudi menginjakkan kaki di kampus.

Setelah kelas bubar, Dea menghampiri Bara untuk bertukar nomor telepon. "Berapa nomormu?"

"Satu." jawab Bara acuh, kemudian beranjak tanpa melirik Dea secuilpun.

"chh... ternyata dia juga mahkluk aneh." gumam Dea mengangkat sudut bibirnya kesal. Ia bahkan baru tau kalau pria itu bernama Bara.

...************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!