Episode 9 : Pembawa Sial

Di rumahnya, tampak Gala tengah mencari informasi pribadi Pangeran. Dimatanya pangeran itu tak lebih dari seorang pria aneh. Ditambah saat ia tak menemukan apapun tentang pangeran itu.

"Dipta..., Siapa kau sebenarnya?" gumamnya sambil mengetukkan jari ke atas keyboard laptop.

Tak hanya dari media sosial, Gala bahkan mengirimkan foto Pangeran kepada salah satu temannya, yang bekerja di kepolisian. Namun tetap tak ditemukan sesuatu tentang Dipta. Gala jadi curiga, apakah pria misterius itu sengaja memalsukan identitas untuk memanfaatkan Dea.

...~~...

Hari ini kampus Dea sedang ada acara, perayaan hari jadi kampus yang ke 40. Para siswa yang hendak melihat ragam pertunjukan sudah tampak memenuhi tribun. Termasuk Dea dan dua sahabatnya.

"Hei, ini banyak kursi kosong. Isi dulu yang didepan, agar yang lain tidak kesulitan mencari tempat." Ujar panitia kepada gerombolan siswa yang duduk di barisan belakang. Baris kursi yang sejajar dengan Dea kosong.

"Kami tidak ingin terkena sial Pak." Sinis salah satu wanita yang duduk dibarisan belakang. Ya, semenjak kematian Bryan. Rumor tentang Dea gadis pembawa sial semakin kencang.

Mendengar itu Dea hanya tertunduk. Tak seperti biasanya, ia akan membalas dengan tatapan sinis, kepada siapapun yang mengatakan omong kosong itu. Dea mulai berpikir, apakah benar itu kutukan? Atau ini ada hubungannya dengan kehidupan masa lalu? Apakah dulu ia pernah berbuat kejam sehingga ia juga dikutuk?

Karena terpaksa, beberapa mahasiswa duduk sejajar dengan Dea. Wajah mereka semua tampak cemas. Padahal Clara dan Vaness sudah menegur mereka untuk bersikap biasa saja.

Tibalah saat acara hendak dimulai. Asap muncul dari pinggiran panggung untuk menyambut para penari yang akan membuka acara.

Tapi apes, entah karena kesalahan teknis atau kesalahan moderator. Gumpalan asap itu malah menyemprot deras ke arah para penonton. Mereka semua riuh karena pandangan hilang, dan mata menjadi perih.

Di saat itu pula Pangeran muncul dan membuat gelembung kaca dari kekuatannya untuk melindungi Dea. Dan satu tangannya ia hentakkan kearah panggung agar asap itu berhenti mengepul.

Saat kondisi mulai terkendali, Pangeran menghilangkam gelembung kaca yang ia buat. "Kau tidak apa-apa?" tanya sang pangeran, ia takkan membiarkan Dea dalam bahaya demi kelangsungan ajalnya.

"i..iya..." jawab Dea terbata. Sesekali Dea masih terkejut, bahwa dirinya sedang diikuti oleh makhluk aneh itu.

"Dea..? Matamu tidak perih? aiss... pengurus acara ini perlu di beri pelajaran..!" rutuk Vaness mengusap-usap matanya.

"Dasar pengurus tidak becus..!" imbuh Clara kesal.

"Lihatlah... kita terkena sial karena duduk disini. Dea sebaiknya kau keluar sari Aula ini kalau tak mau merusak acara!"

"Benar..! Kami tidak mau terkena sial karena mu!"

"Keluarlah Dea..! Jangan rusak acara kampus kita!"

Beberapa orang memprovokasi, hingga keadaan menjadi riuh. Mereka semua meminta Dea keluar Aula.

Vaness berdiri hendak membungkam mereka, begitu pula dengan Pangeran yang hendak memberi mereka semua pelajaran. Namun kedua orang itu urung, saat Dea berdiri lebih dulu.

"Aku akan keluar," lirihnya sambil mengenggam tangan Vaness.

"Kenapa? Kau tidak enak badan?" Clara terlihat cemas. Karena biasanya Dea paling suka melihat acara ragam seperti ini.

"Aku merasa pusing, sepertinya lebih baik aku pulang." ujar Dea beralasan. Ia mengajak Pangeran beranjak dari sana.

"Baiklah, hati-hati..." ujar Clara risau.

"Pastikan Dea pulang dengan selamat!" bisik Vaness membelalak kepada Pangeran.

"Pastikan kau menggosok gigi." balas pangeran sambil mengibaskan tangan di depan hidung.

"Apa..?! Kau benar-benar...!" Vaness tak terima dengan itu. Ia merutuki pangeran dengan segala nama hewan. Tapi di ujung kalimat ia menghirup nafasnya untuk memastikan. Benar memang, agak bau.

"wek..." ledek Clara, membuat Vaness semakin naik pitam.

.

.

Sepanjang perjalanan, Dea terus menatap keluar jendela mobil. Ia meneteskan air mata perlahan. Perkataan semua orang membuat dirinya merasa dikucilkan. Dulu ia tidak masalah dengan itu, namun semakin hari semakin banyak kejadian tak masuk akal yang membuat cap kutukan makin melekat padanya.

Hari ini hampir satu jurusan memusuhinya. Besok mungkin satu kampus, atau bahkan satu dunia mengucilkannya.

"Kau menangis?" Pangeran bisa merasakan aura kesedihan yang mengerubungi pikiran Dea.

"Tidak..." jawab Dea parau.

"Kenapa..? Apa yang membuatmu begitu sedih?"

Dea memindah posisi kepalanya, menjadi lurus kedepan. Ia menyeka buliran bening yang menitik di pipi. "Aku hanya merindukan keluarga ku..."

Mendengar jawaban itu, raut wajah pangeran berubah penasaran. "Bukannya kau membenci mereka?"

"Memang ada saat dimana aku membenci mereka dengan sangat dalam. Tapi ketika mereka semua tiada, aku jadi menyesal. Aku merindukan mereka..." Dea melepaskan tangisnya.

"Kenapa kau begitu merindukan mereka? Padahal dulu kau paling sering menangis karena mereka?" Masih tanpa rasa bersalah, pangeran mengulik perkataan Dea yang menurutnya tidak masuk akal. Dulu gadis itu bahkan berniat bunuh diri akibat tekanan dari kedua orangtuanya. Ia sangat putus asa sampai berdoa, dikehiduan selanjutnya tak ingin menjadi manusia. Itu sebabnya tanpa berpikir pangeran mengabulkan semua keinginan Dea.

"Ya karena mereka keluargaku. Bagaimanapun keadaannya, keluarga akan tetap saling merindukan." sahut Dea menyeka air matanya.

Kehidupan memang selalu begitu, di saat sulit kita menginginkan ini semua segera berakhir. Tapi saat semua benar-benar berakhir kita akan merindukan masa sulit itu.

...***********...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!