Krisan dan Tiana sempat adu pandang dengan tatapan tajam mereka masing-masing. Beberapa gadis yang sempat dihajar Nadia perlahan bangkit kembali di posisi masing-masing, memperhatikan target yang kini bertambah satu orang.
Sungguh, melawan Nadia saja sudah bikin mereka repot, apalagi ditambah satu orang lagi.
Nadia sendiri masih dipasung oleh Rin dan Lita. Walau mereka masih erat memeganginya agar tidak bergerak, keduanya sempat dibuat terkejut dengan tindakan Krisan tadi.
Sambil menahan jengkel, Tiana bertanya, “Untuk apa gadis kampungan sepertimu ikut campur urusan kami? Kau tidak tahu apa-apa.”
“Aku akui, aku memang kampungan karena berasal dari kampung. Tapi, setidaknya aku lebih bermartabat ketimbang kalian yang malah bisanya main keroyokan.”
Dengan tenang Krisan menambahkan lagi, “Apa begini cara orang kota menyelesaikan masalah, terutama para perempuannya? Lebih rendahan dari pada binatang.”
Tanpa sadar Tiana menggigit bibir bawah. Cukup sudah dengan hinaan Nadia, kini ia malah menerima penghinaan tambahan lagi dari gadis kampungan seperti Krisan.
Krisan sempat menoleh, melihat Nadia masih di posisi pasungan Rin dan Lita.
“Menunduk.”
Mengerti maksud Krisan, Nadia langsung menunduk. Seketika Krisan menendang Rin dan Lita hanya dalam sekali tendang, membuat keduanya kembali terpental sampai membentur dinding koridor.
Tiana dan yang lain dibuat terkejut dengan tindakan sembrono Krisan. Tak menyangka jika gadis bermuka sedatar boneka itu mampu melumpuhkan Rin dan Lita sekaligus.
“Ugh....”
Nadia pun berhasil bebas dari pasungan berkat pertolongan Krisan. Dia sempat sedikit memijat pergelangan tangannya yang masih terasa kebas akibat menahan serangan Tiana, ditambah lagi dari cengkeraman kedua gadis tadi yang berhasil membuatnya risih.
“Maaf kalau aku baru bisa menolong.”
Nadia menatap Krisan yang mulai bersuara di hadapannya.
Dengan datar Krisan melanjutkan, “Padahal, aku tidak ingin ikut campur dengan urusan orang lain. Tapi, ketika melihatmu mulai kesusahan, ditambah lagi mereka main keroyokan, membuat tanganku terasa gatal ingin menghajar mereka.”
“I-itu—.”
“Belagak kau, gadis kampung!”
Ucapan Nadia terpotong oleh bentakan salah satu teman Tiana. Keduanya pun menoleh, memperhatikan sosok tersebut bersama Tiana yang masih terpaku di tempat.
“Kau pikir dirimu sangat kuat sampai-sampai berani bicara begitu?!” bentaknya kembali. “Kau dan si kuda nil pirang itu sama-sama pengganggu!”
“Bisakah kalian berhenti manggil aku kuda nil?” jengkel Nadia.
Bentakan rekan Tiana dianggap sebagai tantangan bagi Krisan. Maka dari itu, ia pun memasang kuda-kuda siap bertarung dengan posisi jari-jemari kedua tangannya dirapatkan lurus.
“Kalau begitu, buktikan kalau kalian lebih jago.”
Seringai setipis garis terukir di wajah cantik Krisan.
“Kalau kalian semua kalah, siap-siap gantung wajah kalian di puncak menara akademi.”
“Ergh.... Kau...! Ha!”
Gadis itu segera melesat ke arah Krisan dengan kepalan tinju. Lesatan itu begitu cepat, hampir tak terlihat.
“Krisan!” panggil Nadia mulai panik.
Dengan tenang Krisan menyipitkan kedua mata birunya, fokus pada kedatangan si gadis.
Dan ketika gadis itu hampir sampai meninjunya, Krisan menepis tinju itu ke samping, kemudian memukul hidung si gadis menggunakan sikunya. Walau tidak sampai membuatnya terpental, hanya mundur beberapa langkah, tapi serangan balasan itu berhasil membuat hidung si gadis berdarah.
“Arrrgh!” Gadis tersebut menjerit sejadi-jadinya ketika merasakan sakit dan darah tak berhenti keluar dari hidung.
Nadia yang melihat serangan itu sempat dibuat tercengang. Dia tak menyangka Krisan akan langsung melukai lawannya hanya dengan sekali serangan balik.
Para gadis di sekitar kini tampak semakin geram, termasuk Tiana, bahkan Rin dan Lita yang sempat kena tendang tadi juga kembali bangkit, siap menyerang Krisan dan Nadia.
Melihat adanya tanda-tanda pertarungan kembali, membuat Nadia kembali sigap dengan posisi kuda-kudanya.
“Maaf, Krisan. Aku malah jadi merepotkanmu di pertemuan pertama kita,” kata Nadia dengan pandangan fokus ke sekitar. “Mereka semua cari gara-gara karena memang ada dendam padaku.”
“Kau merebut cowok dari si cewek sosialita rambut merah itu?” tebak asal Krisan sambil melirik Nadia sekilas yang berada di sampingnya.
Nadia segera menggeleng, “Bukan begitu...! Lebih tepatnya, dia naksir berat sama sepupuku, sedangkan sepupuku sendiri sama sekali tidak tertarik dengannya. Ujung-ujungnya, aku pula yang disalahkan karena punya kedekatan dengan gebetannya. Kan wajar karena kami keluarga, orang tua kami sama-sama bersahabat lama.”
“Hmm....” Krisan sempat berpikir. “Aku jadi penasaran, secakep apa sepupumu itu.”
“Ya, cakep, sih. Tapi....”
Nadia menggantungkan ucapannya ketika teringat betapa sintingnya kelakuan Ardan, sepupunya.
Kalau dipikir-pikir, sebaiknya tidak usah diceritakan dulu. Kalau ia jadi berteman dengan Krisan, kelak ia akan memperkenalkan Krisan dengan kedua abangnya itu. Ditambah lagi, situasi sekarang tidak memungkinkan untuk mereka mengobrol panjang lebar.
“Jangan banyak bicara kalian, gadis-gadis tengik!”
Beberapa gadis langsung menerjang mereka bersamaan. Keduanya pun berguling ke arah berlawanan demi menghindari terjangan mereka.
Krisan dan Nadia kini bertarung melawan kawanan para gadis, dua lawan banyak. Berbeda dengan Nadia yang gaya bertarungnya lebih menonjolkan daya serangan dan pertahanan kuat, Krisan terlihat lebih mengandalkan kelenturan walau setiap serangannya juga tak kalah kuat dengan serangan Nadia.
Dua gadis mulai menyerang Krisan, memberikan berbagai macam serangan dengan gerakan cepat. Namun Krisan dapat menangkis semua serangan itu dengan begitu tenang.
Saat keduanya sama-sama melancarkan tinju, Krisan menepis dengan posisi kedua tangan menyilang, menangkap tangan mereka lalu dihempaskan searah horizontal, membuat tubuh kedua gadis itu saling bertubrukan. Bukan hanya itu, mereka juga langsung tumbang saat tubuh seorang gadis dilemparkan Nadia dari belakang mereka.
Nadia dan Krisan sempat tukar senyum, pertanda saling memberi tanda terima kasih.
“Nadia, awas!”
Refleks Nadia menghindar ketika dirasa ada seseorang berusaha menyerangnya dari belakang. Rupanya, Rin yang menyerang Nadia menggunakan pukulan dari satu pergelangan tangan.
Dengan gerakan akrobatik, Krisan bersalto ke depan melewati tiga tubuh gadis yang sudah terkapar di lantai, dan mulai mendarat dengan posisi satu kaki diayunkan ke bawah, siap menendang Rin.
Menyadari akan serangan itu, Rin segera melompat mundur menghindar. Akibatnya, tendangan Krisan malah mengenai lantai dan sempat membuatnya retak.
“Ergh.... Gadis kampungan itu...,” umpat Rin kesal.
Tak disangka-sangka, Rin mengambil belati di saku pahanya, dan melemparkan belati itu ke arah Krisan. Krisan hanya sempat sedikit bergeser karena serangan belati Rin sama sekali di luar perkiraan, bahkan beberapa helai rambut hitamnya sempat tersayat akibat lesatan belati itu. Kini belati tersebut tertancap di lantai begitu saja.
“Belati?” ucap Nadia heran. “Bukannya kita dilarang membawa senjata apa pun dari luar akademi?”
“Seharusnya aku yang bertanya pada kau, Nadia! Kenapa kau lebih dulu menyerang kami hingga akhirnya terjadi pertarungan seperti ini!” protes Rin sambil menunjuk Nadia. “Jadi, jangan salahkan aku tuk membalas kekerasan dengan kekerasan!”
“Kalian yang duluan berusaha menjatuhkan mentalku! Tidak ada salahnya aku membalas dengan menghajar mulut-mulut julid kalian!” bentak Nadia pula sambil mengepalkan tangannya di depan.
Di saat mereka berdebat, Lita mencabut belati milik Rin tadi dari lantai, lalu berlari cepat ke arah Nadia.
Sebelum belati itu sempat mengenai Nadia, Krisan lebih dulu melancarkan tendangan ke tangan Lita agar belati itu lepas dari tangannya. Akan tetapi, Lita dengan lincah menghindar.
“Heh! Kau kira cuma kau saja yang lincah, gadis kampung...?” remeh Lita sambil memutar-mutar belati.
...~*~*~*~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments