“Nadia itu menyebalkan banget, ya.”
Nadia mengurungkan niatnya tuk masuk. Ia diam di dekat pintu yang hanya terbuka sedikit itu, mendengarkan apa yang saat ini dibicarakan oleh sekelompok teman-teman perempuannya.
“Sok kecantikan dia. Kutengok, sering kali Nadia dekat-dekat sama anak-anak geng cowok. Mana isinya cowok-cowok cakep semua, dari yang anak-anak sini, sampai yang ada di SMA. Bahkan kudengar, dia pernah kenalan sama anak pejabat serta DPR juga, lho,” cerita salah satu perempuan yang sedang bersender di lemari loker.
“Yaaa.... Kan bapaknya orang penting di militer,” ucap satu perempuan lagi yang sedang duduk di bangku panjang tengah ruang ganti sambil makan ciki. “Wajarlah punya banyak kenalan sama orang-orang kaya.”
Perempuan berambut pendek yang berdiri di samping kursi sempat memukul telapak tangannya sendiri, gedek hendak mukul orang sungguhan. “Yang bikin aku makin jengkel itu, dia ganjen banget sama mereka. Manjanya itu sama abang-abangnya bikin.... Ish! Jijik aku.”
“Beruntung banget Nadia punya abang secakep dan sehebat Rafa. Masih muda banget kayak kita-kita, tapi badannya bagus, tinggi dari yang lain, pinter pula. Ditambah lagi sama abang sepupunya yang penuh pesona itu, si Ardan. Jadi iri aku.”
“Yaaa.... Walau pun muak juga aku sering lihat muka Nadia centil itu, tapi ada untungnya kita temenan sama dia. Ke mana-mana sering ditraktir, bisa kenalan sama lingkaran pertemanan abang-abangnya yang kece itu.” Perempuan itu sempat memakan cikinya lagi, “Dan tadi baru aja kasih kita jawaban buat PR kita, bukan?”
Nadia menggigit kesal bibir bawah. Ternyata, teman-temannya selama ini berteman dengan dia hanya karena ingin memanfaatkannya saja. Memanfaatkan finansialnya yang bagus, kecerdasannya, dan juga ingin cari-cari muka di hadapan Rafa dan Ardan.
Benar-benar menyebalkan.
“Aku beneran hampir enggak bisa nahan diri buat enggak jambak rambut pirangnya itu ampe botak. Tadi pagi pas kita papasan ama gebetan inceran aku, si doi ngasih salam sama ngasih cokelat sama dia,” jelas si rambut pendek makin jengkel. “Sebelnya sampai ke ubun-ubun, tahu?!”
“Kacian....” Lalu rekannya kembali makan ciki.
“Kau!”
Ingin rasanya si rambut pendek menggampar temannya yang suka makan snack itu, tapi ditahan karena perempuan yang di dekat loker bicara.
“Ya, gimana, yak? Aku benci mengakuinya, tapi anaknya emang cakep, sih.” Lalu ia tersenyum pada satu lagi perempuan yang masih diam tak bersuara sambil mengunyah permen karet. “Tapi, masih cakepan kawan kita yang satu ini. Benar enggak, Tiana?”
Satu perempuan yang sejak tadi duduk diam di kursi panjang sambil mengunyah permen karet rasa beri itu adalah Tatiana Williem. Dia memang termasuk gadis tercantik di SMP selain Nadia, dan cukup berprestasi juga walau pergaulan yang dijalaninya sangat bebas.
Seingat Nadia, Tiana ini berasal dari keluarga kaya. Ibunya merupakan seorang model terkenal di negara tetangga, sedangkan ayahnya merupakan pengusaha di bidang IT.
Tiana memiliki postur tubuh agak lebih tinggi dari Nadia, kulitnya sangat putih kontras dengan rambut ombre warna merah kecokelatan, dan iris mata berwarna biru. Semua orang di sekolah ini selalu terpana dengan kecantikan dan kejeniusannya, kecuali beberapa anak sekolah sini yang sama sekali tidak peduli dengan keberadaannya walau sudah berusaha ia dekati.
Di antaranya ialah Ardan dan Rafa.
“Ck.” Tiana mendecih sombong. “Kalau memang benar seperti yang kau katakan, sudah lama Ardan dan Rafa ikut berlutut di bawah kakiku.”
Kedua mata biru terang Nadia makin membelalak mendengar ucapan Tiana.
Kok bisa gadis yang dianggap sebagai sahabat paling baik bisa bicara sekasar itu tentang saudara-saudaranya? Padahal, Tiana terlihat santai, ramah, dan pengertian. Rupanya begini sifat aslinya?
Nadia masih berdiri di dekat pintu, penasaran dengan kelanjutan obrolan menggelikan ini.
“Kau masih susah deketin Ardan, Na?”
Sejujurnya, Tiana jengkel membahas masalah ini. Ketika semua lelaki memujanya karena dia sempurna, cantik, berwawasan tinggi, dan berasal dari keluarga kaya raya, sosok sekelas Ardan saja sama sekali tidak menoleh padanya walau Nadia yang merupakan sepupu Ardan sudah menjadi sahabatnya.
Harga diri Tiana serasa hancur gara-gara ketidak pedulian Ardan.
“Tau, ah! Orangnya memang ramah-ramah aja sama aku, tapi enggak ada sama sekali terlihat muji-muji, tanya kabar, apa lagi tertarik sama aku,” tukas Tiana jengkel.
“Coba makin dibaik-baikin Nadia. Siapa tahu bukan cuma Ardan yang bisa didapetin, tapi si Rafa juga sekalian.”
Mereka pun tertawa bersama ketika saling lempar canda. Biar pun masih SMP, mereka sudah suka membahas hal-hal vulgar tentang fantasi mereka terhadap lelaki, terutama terhadap dua saudara Nadia itu.
Karena tak tahan lagi dengan perbincangan yang terdengar makin menjijikkan dan melecehkan, Nadia buru-buru berjalan menjauh dari ruang ganti. Dia berjalan cepat sambil mengepalkan kedua tangan dengan sangat erat hingga buku-bukunya memutih.
Sekarang Nadia sadar, teman-teman perempuan yang selalu dekat serta berteman akrab dengannya hanya ingin memanfaatkan Nadia biar bisa lebih dekat dengan Ardan dan Rafa.
Mereka menjijikkan. Baik di depan, menusuk di belakang, sukanya menjelek-jelekkan orang dari belakang. Dekat dengan orang lain hanya karena ada maunya.
“Aku enggak mau temenan sama sesama cewek lagi! Aku juga enggak bakal biarin cewek-cewek hina seperti mereka dekat-dekat sama abang-abangku! Awas aja mereka!”
...~*~*~*~...
Karena kejadian itulah, Nadia lumayan trauma berteman dengan sesama perempuan. Dia lebih sering berteman dengan kelompok laki-laki dan juga teman-teman dari Rafa dan Ardan.
Biarpun ia sering kali disebut ganjen karena suka berteman dengan laki-laki, Nadia tidak peduli. Toh Nadia tidak pernah berteman melebihi batas seperti mantan teman-temannya dulu, apalagi Ardan dan Rafa selalu menjaganya dari lelaki yang mau macam-macam.
“Makanya, aku bingung gimana caranya bisa temenan sama cewek. Aku masih trauma....” Nadia menggeleng-gelengkan kepala.
“Menurutku, tidak ada salahnya tuk terbuka,” kata Rafa, “Sekarang ini, kau akan tiba di lingkungan baru. Tidak semua cewek itu seperti yang kau kenal dulu. Yaa.... Walau emang kebanyakannya suka ngegosipin orang dari belakang.”
“Dih, bukannya nenangin, malah ngomong kayak begitu nih kampret,” ledek Ardan jengkel dengan perkataan Rafa.
“Lah? Aku ngomong sesuai fakta. Dan emang enggak semua, tapi kebanyakannya emang kayak gitu.”
“Dah, lah. Enggak mau debat aku sama kau, Raf.” Ardan mengibaskan tangannya, lalu mulai bicara pada Nadia. “Apa yang dikatakan Rafa di awal memang benar. Cobalah tuk terbuka. Apalagi kau pasti harus satu unit asrama dengan sesama cewek. Enggak mungkin ‘kan cuma karena trauma temenan sama cewek, kau musti tinggal di asrama cowok. Entar malah dienak-enakin sama mereka, bisa jantungan aku sama abangmu it— Adoh, Raf!”
Ardan mengaduh ketika lengannya ditepuk keras Rafa.
“Dari tadi suka ‘kali kau mukul lenganku.”
“Mulutmu itu dijaga, Dan. Yang kau ajak ngomong itu adekku, lho!”
“Kau pun tadi hampir bikin adek sendiri kegencet, Tong!”
“Tadi itu cuma becanda!”
“Becanda, tapi hampir bikin orang silaturahmi sama Tuhan!”
“Ahahaha.... Kalian ini....”
Nadia yang awalnya merasa canggung kini tertawa terbahak-bahak melihat Ardan dan Rafa bertengkar. Memang perdebatan mereka merupakan hiburan terbaik bagi Nadia.
Di tengah keributan mereka di dalam pesawat, ada seseorang duduk menyendiri di bagian paling pojok belakang. Sesosok gadis yang tengah melamun sambil melihat pemandangan hamparan awan putih lewat jendela. Gadis itu memakai jaket biru navy sepinggang, celana dan sepatu boots hitam, serta topi newsboy.
Wajahnya begitu manis dan imut dengan kulit kuning langsat sehalus sutra, rambut panjang tebal agak bergelombang sehitam malam, dan mata sayu berwarna biru kelam sedalam lautan. Bentuk bibirnya sedang, tidak terlalu tipis maupun tebal, yang pasti terlihat pas dan sangat kenyal, warnanya pun merona alami tanpa polesan lipstik dan sejenisnya.
Dengan tatapan sayu itu, beberapa saat dia masih memperhatikan pemandangan di luar jendela pesawat sampai akhirnya dia teringat sesuatu. Jemari lentiknya mengotak-atik tab di tangan, memperhatikan sebuah gambar keluarga lengkap beserta dirinya di tengah-tengah, berdiri dengan senyuman membelakangi sebuah rumah bergaya tradisional dengan pepohonan dan pemandangan alam sekitar yang indah.
“Bapak, Bunda, Abang, maaf jika aku harus meninggalkan kalian di kampung.”
Seulas senyum tipis yang begitu manis disunggingkan kala mengingat keluarganya yang masih ada di kampung nan jauh sana.
“Doakan aku di sini, ya.”
Kemudian, ia memeluk tab tersebut di dadanya yang cukup berisi, lalu kembali bersandar.
Sebenarnya, gadis itu gugup untuk pergi ke akademi karena ini adalah pengalaman pertamanya pergi jauh dari keluarga di kampung. Tapi karena sudah bertekad tuk menjadi salah satu prajurit di sana, maka ia akan menjalaninya apa pun risikonya.
Semoga saja semua berjalan dengan lancar. Ia harap bisa bertemu dengan orang-orang baru dan menjadi teman baik di sana.
...~*~*~*~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments