“Aaah...! Akhirnya, ‘dah sampai juga kita.”
Ardan langsung menjatuhkan tubuh tingginya tepat di atas kasur ranjang berwarna putih polos itu sambil mendusel ke bantal seakan-akan begitu merindukan tempat tersebut.
Kini sampailah Ardan dan Rafa di unit asrama mereka. Unit asrama ini berbeda dari kamar-kamar asrama biasa. Bisa dibilang, fasilitas di sini lebih baik dari asrama pada umumnya, tapi tidak mewah juga. Lebih tepatnya, hampir mirip dengan unit apartemen paling murah di kota.
Unit asrama Akademi Milderan hanya terdiri dari empat ruangan. Satu-satunya ruangan yang sedikit lebih besar adalah kamar yang langsung terhubung dengan pintu unit utama. Kamarnya sendiri memiliki empat ranjang yang tersusun dua baris saling berhadapan, masing-masing punya nakas sendiri di samping ranjang, dua lemari besar dengan dua pintu, dan ada satu TV LED di ujung tengah kamar.
Sisanya merupakan ruangan berukuran kecil berupa dapur, kamar mandi, dan toilet. Masing-masing unit juga dilengkapi dengan balkon kecil, tempat tuk bersantai di luar sambil melihat-lihat pemandangan di kala suntuk.
Di saat Ardan asik mendusel ke bantal ranjangnya, Rafa yang baru saja masuk menyadari ada kehadiran satu orang lagi di sana selain mereka berdua.
“Eh, Damar? Sudah sampai kau?”
Ardan langsung menoleh ketika sadar nama sahabatnya disebut. Rupanya, memang ada satu orang lagi yang sudah tiba di unit mereka, sedang duduk bersandar di ranjang sambil ngemil dan nonton tv. Yaitu, sosok pemuda berkacamata dengan rambut hitam tebal dan hanya memakai kemeja yang sudah tak beraturan bentuknya.
“Dih. Sudah sampai kau, Damar Seblak? Kok aku baru sadar,” ucap asal Ardan sambil ambil posisi duduk di tengah ranjang.
“Bisa enggak, sih, enggak usah manggil aku ‘Damar Seblak’ mulu? Aku enggak suka seblak!” ucap Damar jengkel.
“Tapi Nadia suka seblak, lho,” goda Rafa.
“Duh....”
Damar tak berkutik kalau sudah bawa-bawa nama gebetan. Dia benci fakta kalau gebetannya maniak seblak. Tapi, apa mau dikata? Perbedaan takkan bisa menghalangi rasa cintanya terhadap gadis pemilik surai pirang panjang itu.
“Baru 15 menit lalu aku sampai sini,” jawab Damar atas pertanyaan Ardan tadi, lalu kembali ngemil.
Sesaat Ardan sempat menoleh pada satu ranjang yang masih kosong, tertata rapi tanpa adanya tanda-tanda sudah disentuh orang.
“Regan belum datang, Mar?” tanya Ardan lagi.
Dalam unit asrama yang ini ditempati empat orang lengkap, yaitu Ardan, Rafa, Damar, dan Regan. Namun, untuk hari ini keberadaan Regan belum juga muncul.
“Dia ‘kan bukan anggota Organisasi Teladan, enggak ikut urus acara orientasi. Jadi, enggak ke sini dulu.” Damar sempat mengecek ponselnya sebentar. “Kalau enggak salah, pas malam minggu baru dia balik ke asrama.”
“Tuh albino emang selalu ketinggalan yang seru-seru. Kutengok tadi, banyak kok anak-anak tingkat dua ke atas yang enggak masuk Organisasi Teladan pada datang di mari,” kata Ardan mulai memeluk bantal.
“Halah~. Paling juga mau ngecengin anak-anak junior ‘mah mereka,” sarkas Rafa sambil duduk di tepi ranjangnya sendiri dan menaruh tas ransel di sana.
“Ih! Jadi pengen pamer aku ke anak-anak junior besok pas ngurus kelompok mereka,” ujar Ardan antusias.
Rafa menoleh ke Ardan yang duduk di ranjang bersebelahan dengannya. “Pamerin apa kau? Pamer kebodohan?”
Ardan mencibir tanpa suara. Jengkel juga kalau Rafa sudah mengeluarkan lebih banyak sarkasme. Tapi, bukan Ardan namanya kalau sampai kena mental cuma karena sarkasme orang.
Dengan pedenya Ardan mengangkat kedua tangan. “Pamerin ketekku, lah.”
“Sudah kuduga, pamer kebodohan juga ujung-ujungnya.”
Rafa pun memilih tuk langsung memasukkan pakaian dan barang-barangnya ke dalam lemari.
Saat masih mengangkat tangan, iseng-iseng Ardan mengelus ketiaknya sendiri, merasakan adanya sedikit permukaan kasar di sana.
“Dih, pada tumbuh bulu-bulu ketiakku. Dah lama juga lupa kucukur.”
“Dan! Aku lagi ngemil ini! Kau bahas pula padang sabana bulu ketekmu itu! Jorok, lah!” omel Damar mulai tak berselera lagi ngemil gara-gara Ardan membahas bulu ketiak.
“Ya, gimana, dong? Kalau kagak dibahas, nanti bisa kelupaan aku,” ucap Ardan tanpa dosa.
“Mending diingetin dalem hati aja, Dan. Enggak usah dibahas blak-blakan gitu juga...!”
Karena tak mau membahas masalah jorok, Damar pun mengalihkan topik. “Omong-omong, Raf, Nadia tahun ini juga masuk akmil?”
Rafa yang terlihat sedang menyusun rapi pakaiannya ke dalam lemari menoleh disertai tatapan tajam menusuk ke pemuda berkacamata itu.
“Nape? Mau macam-macam kau? Macem-macem sama adikku, kupecahkan biji kau itu, lalu kulemparkan ke anjing-anjing rabies. Mao?!”
Damar seketika meringis mendengar ancaman Rafa. Inilah mengapa ia susah pedekate dengan Nadia, karena abangnya yang punya tubuh tinggi, besar, berotot disertai otak jenius itu galaknya benar-benar menyeramkan.
Tapi apa pun halangannya, entah seblak ataupun abang monsternya, Damar tetap berusaha mendapatkan hati Nadia suatu saat nanti.
Ya, semoga saja nyawa Damar terselamatkan sampai berhasil ajak Nadia ke pelaminan.
...~*~*~*~...
[Selamat Datang di Akademi Militer Milderan, di mana hanya orang-orang bernyali besar dan cukup sakit mental yang bisa lolos menjadi prajurit terhebat seantero Planet Ribelo.]
Seorang gadis berambut hitam panjang ikal dengan memakai topi newsboy menyipitkan kedua mata birunya saat membaca papan motto di dinding dekat salah satu pintu unit asrama putri. Dia heran sendiri dengan motto dari akademi ternama itu.
“Ini akademi militer atau tempat penampungan orang sakit jiwa?” gumamnya polos. “Mungkin pelatihan di sini sangat keras, sehingga membuat para pelajarnya sampai sakit jiwa. Serem juga, ya....”
“Haaah....”
Agak jauh beberapa meter dari tempat gadis berambut hitam itu berdiri, keluar seorang gadis lain dari dalam lift. Gadis itu berambut pirang panjang lurus dengan poni setengah bagian dan memakai jaket hijau. Dia berjalan lesu sambil menenteng tas ransel di bahu.
“Aish.... Asramanya gede juga, ya,” gumam lelah Nadia.
Nadia kembali memperhatikan nomor unit asrama yang tertera di Kartu Akademi, kemudian mulai mencocokkannya dengan barisan pintu unit lain yang masih tertutup.
“227, kan? Di sini baris nomornya 220an. Berarti dekat-dekat sini, dong.”
Ketika Nadia melangkah mencari nomor unit, mata biru terangnya tak sengaja melihat sosok gadis lain seusianya yang sedang berdiri sambil memperhatikan papan motto di dinding. Kebetulan gadis itu tengah berdiri di samping unit kamar dengan nomor unit yang tertera di kartu Nadia.
Suasana lorong asrama di sini masih sangat sepi, tak ada siapa pun yang lewat selain mereka berdua. Nadia jadi canggung sendiri ketika menyadari kehadiran gadis itu. Dia bingung mau menyapa atau langsung menghampiri unitnya. Maklum, sudah sangat lama Nadia tidak berinteraksi dengan sesama perempuan, jadi malah canggung sendiri.
“Ada cewek dekat situ,” gumam Nadia gugup. “Coba aja disapa. Kali aja bisa jadi teman.”
Nadia pun memberanikan diri menghampiri si gadis. Diawali dengan deheman canggung, Nadia mulai menyapa.
“Ekhem! Ha-hai...”
Mendengar suara orang lain, gadis itu pun seketika menoleh ke Nadia. Nadia terpaku ketika melihat tampilan wajah gadis tersebut.
Gadis berjaket biru navy dengan memakai topi newsboy itu memiliki rambut hitam panjang ikal nan berkilau, mata biru kelam dengan bentuk agak sayu namun tetap terlihat datar, kulit kuning langsat halus, dan bibir merona alami.
Sontak Nadia dibuat silau dengan penampilan si gadis. Sungguh, baru kali ini Nadia melihat ada gadis berwajah cantik, anggun, dan imut di saat bersamaan. Gadis misterius itu bagaikan boneka hidup, tak berekspresi, tapi mampu membuat siapa saja terpesona dengan kecantikan alaminya.
Andai saja Nadia laki-laki, sudah pasti ia langsung jatuh cinta padanya. Tapi sungguh, Nadia cuma kagum dengan wajah gadis itu. Lagi pula, Nadia murni gadis normal dan sudah punya gebetan juga.
Disapa begitu tak membuat gadis itu semerta-merta balik menyapa Nadia. Ia menoleh ke segala arah dulu, memastikan apakah memang ada orang lain di sekitar mereka atau cuma mereka berdua saja.
“Kau menyapaku?” si gadis menunjuk dirinya sendiri.
Ekspresi kagum Nadia seketika berubah datar. Sudah sadar di sini cuma ada mereka berdua, malah pakai nanya pula.
Nadia berpikir, tuh gadis cantik-cantik, tapi kok otaknya lelet gitu?
Mungkin kelamaan melamun memikirkan makna tersirat dari papan motto yang ia lihat tadi. Kurang kerjaan.
“Saya nyapa setan,” ucap Nadia asal. “Yaaa, nyapa kamu ‘lah, Mbak.... Sadar enggak sih kalau cuma kita berdua di sini?”
“Ooo....” Gadis itu tampak berpikir sejenak. “Tapi, masuk akal juga kalau Mbak ini mau nyapa setan.”
“Maksudmu?” tanya Nadia makin heran.
“Kan biasanya kalau ada dua orang di tempat sepi, tiganya pasti setan.”
Seketika Nadia hitung debu di pojok lorong, gedek menghadapi gadis yang satu ini. Baru diajak kenalan aja udah bikin emosi, apa lagi kalau udah temenan.
Kelakuan gadis itu malah mengingatkan Nadia pada Ardan. Tapi bedanya, sifat Ardan terkesan rewel, beda dari gadis ini yang tetap kalem walau sudah bikin orang kesel.
Karena ingin membuat kesan baik di hari pertama masuk akademi, Nadia kembali menghampiri gadis tersebut, berniat basa-basi. Walau ngeselin, tapi tidak ada salahnya mencoba berteman dengannya. Toh si gadis terlihat tidak semenyebalkan mantan teman-teman Nadia waktu sekolah dulu.
“Boleh kenalan, enggak? Siapa tahu kita bisa jadi teman nanti.”
Nadia mulai mengulurkan satu tangan, hendak bersalaman.
“Namaku Nadia Isabella Novan. Kalau kau?”
Sesaat gadis itu hanya memperhatikan uluran tangan Nadia. Nadia mulai berkeringat dingin, takut-takut jika si gadis malah enggan bersalaman dengannya. Kalau menolak bersalaman, ‘kan Nadia jadi malu sendiri.
Berarti gadis itu sama sekali tidak tertarik berkenalan dengannya.
Namun syukurlah, si gadis membalas uluran tangan Nadia, bersalaman dengan baik walau wajahnya masih tetap tampak datar-datar polos.
“Krisan. Krisan Ambarwati.”
“Krisan, ya...?” Nadia melepas lebih dulu salaman mereka. “Kalau tidak salah, itu nama jenis bunga, kan? Cantik, lho. Tapi, margamu unik juga. Kau berasal dari mana kalau boleh tahu?”
Dengan polosnya Krisan menjawab, “Dari kampung.”
“I-iya, dari kampung. Tapi, kampung di mana lebih tepatnya?” tanya Nadia kembali canggung gara-gara jawaban Krisan yang nanggung.
“Kampung terpencil dekat Kota Yorin. Jaraknya sekitar 24 jam dari sini kalau perjalanan pakai mobil.”
“Wah.... Jauh juga, ya.”
Rupanya, gadis berambut hitam bernama Krisan itu berasal dari kampung terpencil. Pantas saja marganya terdengar aneh, tidak terdengar seperti marga keluarga.
Kalau tidak salah, orang yang berasal dari pedesaan suka asal kasih marga ke anaknya. Mereka tidak berpatokan pada marga keluarga karena mereka sendiri memang tidak memilikinya, bahkan ada yang tidak punya marga sama sekali.
“Oh, iya! Kau anak tingkat satu juga, ya?”
Krisan mengangguk.
“Sama dong kayak aku. Ini hari pertama kita ke asrama,” ucap Nadia seramah mungkin. “Omong-omong, kau sudah ketemu unit asramamu?”
Krisan mengangguk (part 2).
“Di mana?”
Krisan hanya menunjuk ke pintu depan mereka.
Nadia sedikit tercengang saat mengetahui Krisan satu unit dengannya. Tapi, tak apa. Kelihatannya, Krisan gadis baik-baik yang tak akan mencoba menusuknya dari belakang seperti teman-teman Nadia dulu. Apalagi dia berasal dari kampung. Rata-rata orang kampung biasanya masih polos ketika mengenal seperti apa interaksi sosial di kota.
Beruntung Krisan bertemu gadis baik seperti Nadia. Coba kalau ketemu orang lain, mungkin sifat polos Krisan bisa saja mereka manfaatkan.
“Kenapa enggak masuk?” tanya Nadia lagi.
Krisan mencoba memindai kode pada kartunya lewat alat pemindai yang menempel di pintu, tapi warna cahaya pemindai yang awalnya biru berubah jadi merah disertai bunyi ‘Tet’ yang mengganggu.
“Tidak bisa.”
“Huh?”
Buru-buru Nadia juga ikut memindai kode kartunya pada alat pemindai. Hasilnya sama, kode ditolak.
“Lah?” Nadia memperhatikan Kartu Akademi-nya sendiri. “Kok enggak bisa dibuka? Padahal nomor dan kode pemindainya pas, lho.”
Nadia pun menoleh pada Krisan. “Satu unit biasanya dihuni oleh empat orang, kan? Apa kita tunggu teman-teman yang mungkin bakal satu unit sama kita dulu, ya? Siapa tahu, punya mereka bisa bikin pintunya kebuka. Kalau enggak, kita laporin masalah ini ke staf asrama.”
Krisan mengangguk (part 3).
Melihat Krisan dari tadi cuma mengangguk mulu membuat Nadia menyipitkan matanya heran.
“Dari tadi angguk mulu, Mbak. Sariawan?”
Krisan menggeleng.
“Terlalu sering gerakin leher kayak gitu apa enggak sakit?”
Krisan menggeleng (part 2).
Karena tak tahan dengan keterdiaman Krisan, Nadia menggenggam kedua bahu Krisan, lalu mengguncangnya.
“Ngomong dong, Kris...! Jangan bikin aku kayak lagi ngomong ama manekin hidup!”
Pada akhirnya, Nadia cuma bisa menunduk pasrah karena sering kali direspon begitu. Susah juga kalau harus ajak ngomong orang pendiam. Mungkin orang-orang pendiam suka berpikir kalau basa-basi itu terlalu melelahkan.
Tak apa. Pelan-pelan Nadia akan mencoba mengakrabkan diri dengan Krisan. Gadis itu pasti bisa terbuka nantinya. Toh mereka baru kenal beberapa menit yang lalu, jadi wajar kalau Krisan lebih banyak diam.
“Wah, wah, wah.... Lihat, siapa gadis pirang satu ini...?”
Nadia langsung mendongak. Ia kenal betul dengan nada suara menjengkelkan ini. Nada suara yang pernah ia dengar saat masih di masa sekolah.
Nadia pun melihat lurus ke depan, mata biru terangnya seketika membelalak saat menyadari siapa saja yang datang ke lorong asrama ini.
Di sana terdapat beberapa gadis cantik tengah berjalan berombongan menghampiri mereka berdua. Semuanya memperhatikan mereka dengan tatapan remeh, hina, seakan-akan menilai Nadia seperti sampah rendahan.
“Enggak nyangka bakal ketemu upil kuda nil ini lagi. Terakhir ketemu pas masih SMP, kan?” kata salah satu gadis berambut pirang pendek, ia menoleh ke salah satu temannya. “Gimana menurutmu, Na?”
Di antara rombongan para gadis, satu sosok gadis berjalan berlenggak-lenggok dengan begitu anggun. Dia memakai dress ketat merah dengan rok di atas lutut, rambut cokelat kemerahan tampak begitu bergelombang, dan mata birunya menatap tajam tepat ke arah Nadia.
Tatapan yang menyimpan dendam dan rasa jengkel di saat bersamaan.
“Lama tidak bertemu, Nadia.”
Gigi Nadia bergemeretak, kedua tangan terkepal erat menyadari siapa yang muncul tepat di hadapannya. Sosok yang paling menjengkelkan, yang berhasil pula membuat Nadia susah berteman dengan sesama perempuan.
“Tatiana....”
...~*~*~*~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments