“Maksudmu, ada makhluk lain yang memiliki kekuatan persis seperti yang dimiliki Astan?” tanya Bayang memastikan. Pasalnya, kekuatan Astan ini termasuk sangat langka dan hanya Astan seorang yang memilikinya, itu pun didapat dari hasil perjuangan mereka berdua.
Ardan mengedikan bahu. “Kurang yakin juga, sih. Cuma, aku merasa familier saja dengan jenis kekuatannya. Kekuatan yang digunakan monster itu mirip seperti Teknik Ilusi Kosmik. Karena terbawa emosi, aku pun langsung melenyapkannya dengan kemampuanku.”
“Memangnya kemampuanmu apa?”
“Aaa....”
Awalnya Ardan ragu tuk mengatakannya jujur karena ia baru mengenal Bayang. Namun mengingat Bayang merupakan bagian dari ayahnya sendiri, sepertinya tidak masalah tuk berkata jujur. Toh Arni, suami Arni, dan anak-anak mereka juga tahu kekuatan asli Ardan.
“Mengendalikan dan menciptakan senjata. Cuma, aku harus menyembunyikan kekuatan asliku sesuai permintaan Ayah di masa lalu. Jadinya, aku hanya menggunakan tahap awal menciptakan senjata, yaitu pengendali logam.”
Bayang menyipitkan mata satunya. Sepertinya, ada yang aneh dengan permintaan Astan pada anaknya itu. Memang pengendali senjata merupakan kekuatan yang langka, tapi tidak sampai segitunya harus disembunyikan segala di hadapan publik.
“Kau tahu kenapa ayahmu memintamu untuk menyembunyikan kemampuanmu?” tanya Bayang curiga. “Setahuku, Rafa dan ayahnya memiliki jenis Kekuatan Kebangkitan yang langka juga, tapi mereka tidak pernah menyembunyikannya.”
“Kau kenal Rafa?” tanya balik Ardan.
Bayang pun menjawab santai, “Dia dan adiknya membantu Arni beres-beres gudang, lalu mereka menemukanku dan kami pun saling berkenalan. Sumpah, Rafa itu mirip banget sama bapaknya, sama seperti kau dan ayahmu. Mana muka ama badan enggak sinkron pula.”
“Ya, namanya juga anak kandung. Pasti mirip, lah.” Ardan bersedekap tangan di dada. “Kalau soal alasannya, cuma Ayah yang tahu. Tapi aku mengerti kenapa Ayah melarangku tuk menggunakannya, karena memang kekuatan itu sangat berbahaya. Buktinya kemarin, aku udah bisa melenyapkan tubuh monster hanya dalam sekali tembak, melenyapkannya hingga benar-benar hilang, bahkan daya ledaknya sampai tembus ke langit.”
“Serius...?”
Kini Bayang mulai mengerti alasan Astan melarang putranya menggunakan kekuatan asli. Ada kemungkinan besar kekuatan yang dimiliki Ardan merupakan warisan dari kekuatan Astan, tapi dalam bentuk belum sempurna.
Ya, Bayang bisa membayangkan betapa berpotensinya Ardan menjadi mesin penghancur seperti Astan dulu. Mungkin ini juga alasan Astan meminta Ardan tetap menyembunyikan kekuatannya.
Astan tidak ingin Ardan bernasib sama seperti dirinya.
“Kalau dipikir-pikir lagi, sebaiknya kekuatanmu itu memang perlu disembunyikan saja. Kalau soal kasus Rafa dan ayahnya tidak perlu dibandingkan. Soalnya, ayah Rafa sendiri memiliki peran penting di instansi militer, dan kekuatan mereka pun tak seberbahaya punyamu. Jadi, mereka aman.”
“Aman? Maksudmu?”
Sadar akan ucapannya, Bayang langsung menggeleng, “Bu-bukan apa-apa. So-soal monster tadi, ciri-ciri monster itu seperti apa?”
Ardan berusaha mengingat, “Dia lebih cocok disebut humanoid, beberapa organ dan struktur tubuhnya disusun oleh metal bionik, tapi bukan berarti dia Cyborg. Sekilas, dia terlihat sangat menjijikkan.”
Bayang berpikir di dalam tabung sana. Sebenarnya, dia masih belum berani berspekulasi apa-apa karena digambarkan dalam bentuk penjelasan seperti ini takkan membuatnya mengetahui apa makhluk itu dan mengapa ia memiliki kekuatan yang sama persis dengan salah satu jenis kekuatan Astan.
“Apa orang lain mengetahuinya?”
Ardan menggeleng. “Beruntung mereka tidak mengetahuinya. Drone yang seringkali mengawasi pergerakan para Taruna saat latihan tak sempat mengawasi daerah pertarunganku dengan monster itu. Kemarin itu, aku melawannya saat berusaha menyelesaikan remedial praktik.”
“Dewi Fortuna jatuh cinta padamu, rupanya,” ucap Bayang sedikit meledek.
“Dewi Fortuna apanya? Maksudmu, aku terlalu ganteng gitu sampai seorang Dewi jatuh cinta padaku?” tanya Ardan mulai narsis.
“Maksudku, kau sangat beruntung, Nak. Itu cuma perumpamaan saja. Pernah belajar sastra kagak, sih?” omel Bayang. “Sebaiknya, kau serahkan saja masalah ini pada pamanmu. Aku tidak berani bicara macam-macam soal ini kalau tidak ada buktinya. Pamanmu ‘kan bekerja di instansi militer juga.”
“Tapi, ayah dan paman itu beda angkatan. Apalagi Paman sedang sibuk-sibuknya mengurus para bandit yang saat ini sedang mencoba mengambil wilayah kekuasaan planet yang baru selesai diteraformasi.”
“Yaa.... Tapi, apa salahnya untuk cerita? Setidaknya, kau bakal dapat titik terangnya nanti walau hanya sedikit.”
Pada akhirnya, Ardan mengangguk saja. Sepertinya, ide yang bagus tuk mengatakan masalah monster misterius itu pada pamannya yang bekerja sebagai perwira militer antariksa. Apalagi Astan merupakan sahabatnya, mungkin saja sang paman bisa menyelidikinya.
Mata perak Ardan sempat teralih ke arah jam digital yang sudah menujukan waktu tuk sarapan. Itu berarti, sudah lebih dari setengah jam mereka berbincang-bincang. Sudah saatnya ia menyusul Arni dan yang lainnya sarapan, lalu berangkat ke asrama.
“Astaga. Sepertinya, sudah waktunya aku berangkat.”
“Sekarang...?” Terdengar sedikit nada sendu saat Bayang berucap.
Ardan menatap heran Bayang. “Tadi sempat pengen ngejauh, sekarang kok kedengarannya kayak enggak mau pisah?”
Bayang menunduk, tampak malu-malu tuk bicara lagi. “Emm.... Kau tahu, Dan. Walau singkat, tapi aku merasa kau sudah seperti keluargaku sendiri. Kau benar-benar mengingatkanku pada Astan.”
“Semenjak Astan memutuskan tuk kembali ke militer, dia sudah tidak melibatkanku lagi dalam berbagai misi karena kebijakan di sana. Aku cuma diam di tabung ini sambil jadi teman bicara, melihat ia menikah, menenangkannya dalam keterpurukan saat kehilangan Sania, sampai akhirnya aku memutuskan tuk berhibernasi setelah mengetahui Astan sudah meninggal di medan perang.”
“Se-sejujurnya, aku kangen masa-masa ketika bisa berinteraksi dengan banyak orang, berpetualang dengan Astan, Arni, dan sahabat-sahabatnya. Astan adalah orang yang telah mengenalkan makhluk hina sepertiku ini arti keluarga. Yang awalnya aku cuma tercipta dari kesalahan eksperimen, sampai akhirnya aku dianggap sebagai bagian dari keluarga.”
“Aku... kangen banget masa-masa itu....”
Ardan jadi iba melihat keadaan Bayang yang seperti ini. Tubuh cairnya terlihat bergetar dalam tabung, berusaha menahan rasa sedih dan kerinduan pada masa lalu.
“Maaf, Bayang. Andai saja asrama membolehkanku membawa peliharaan atau makhluk lain ke sana, pasti aku akan membawamu dan mengenalkanmu pada teman-temanku.” Ardan berusaha menghibur Bayang. “Tapi, di sini masih ada Bi Arni dan dua anaknya yang masih muda. Kau tidak kesepian di sini.”
“Tapi, suasananya beda, lah. Arni sudah sangat dewasa sekarang, ditambah lagi suasana rumah tidak seseru petualangan di luar.”
Ardan menghela nafas memaklumi. Ia pun berjongkok menghadap tabung kaca milik Bayang yang masih berada di tepi ranjang.
“Untuk saat ini, aku memang tidak bisa mengobrol banyak denganmu. Tapi aku janji, jika ada waktu luang, aku pasti akan kembali ke sini menemuimu. Bahkan aku akan mengajak teman-temanku berkunjung ke sini juga dan kukenalkan mereka padamu.”
“Janji?!” ucap Bayang mulai antusias.
Ardan mengangguk mantap. “Janji.”
“Bagus!” Bayang pun menyipitkan matanya. “Awas aja kalau ingkar, kusumpahin kau jomblo seumur hidup.”
“Ya jangan gitulah, Mamang. Kasihan ular kadutku enggak ada pengalaman.”
Pria berkulit agak sawo matang itu berdiri, meraih tas ranselnya, lalu diselempangkan di bahu.
“Kutinggal di sini, ya. Nanti Bi Arni bakal ke sini mencarikanmu tempat yang lebih nyaman lagi.” Ardan pun memberikan senyuman bersahabat. “Senang bisa mengenalmu, Bayang. Yaa.... Walau awalnya kau menjengkelkan, tapi kau menyenangkan juga kalau diajak ngobrol.”
“Ya jelas, lah! Kau juga, jaga dirimu baik-baik.”
“Siap, Komandan!” ucap Ardan semangat sambil memberi hormat.
Pemuda itu pun segera keluar dari kamar sambil menenteng ransel besarnya menuju ruang makan.
Kini suasana kamar terasa sepi sepeninggal pemuda itu. Mata Bayang teralih pada foto Astan dan Sania yang masih tertata di dinding.
“Aku ‘dah tahu kok kalau kau sudah punya anak, Tan. Kau sendiri yang cerita,” kata Bayang seakan-akan tengah bicara dengan orang yang dimaksud. “Cuma kaget aja. Pas ketemu, anakmu ‘dah segede itu.”
Ada jeda sesaat, menatap lebih dalam lagi senyum ceria Astan pada foto tersebut. Terlihat sama sekali tidak memiliki beban walau kenyataannya dia sudah banyak menanggung derita sejak kecil, tetapi Astan masih bisa menebar senyum dan kebahagiaan pada orang lain.
Sisi positif Astan itu yang mampu membuat pola pandang Bayang terhadap dunia jadi berubah lebih baik.
“Tan.... Astan. Aku kangen, nich. Unch.... Unch....”
Bayang terkekeh sejenak menyadari sifat konyolnya sendiri. Kalau saja ada Astan, mungkin dia sudah dijitaknya berkali-kali.
Namun, nada bicara Bayang mulai terdengar serius. “Aku memang tidak tahu kematian seperti apa yang kau alami sehingga orang sehebat dirimu bisa mati begitu saja di medan perang. Namun, aku cuma berharap kau bisa tetap bahagia di sana, di sisi Tuhan bersama istri tercintamu juga, Sania.”
“Terima kasih banyak karena telah mengajariku seberapa berarti kehidupan ini walau kenyataan yang kita hadapi selalu pahit, Kawan. Terima kasih juga telah memberikan efek positif pada hidupku.”
Setelah mengatakan unek-uneknya dengan tulus, Bayang kembali mencair menjadi cairan hitam berkilau, dan menutup satu matanya. Ia memilih tuk tidur dulu demi membunuh rasa bosannya dalam kesepian.
...~*~*~*~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments