[Datang kau, Setan! Awas aja kalau enggak datang. Kita satu kelompok, nih...]
[Iya! Cerewet kau, Bawel!]
“Apaan sih si Damar Seblak ini...?! Dah diingetinnya berkali-kali, masih aja diingetin lagi,” omel Ardan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
Ketika keluar kamar, Ardan baru saja selesai membalas pesan dari sahabatnya, Damar. Dia baru tahu kalau Damar bakal satu kelompok dengannya untuk mengurus kelompok Taruna-Taruni baru yang akan mengikuti Acara Orientasi mulai besok.
Kaki Ardan buru-buru menuruni tangga. Mata peraknya langsung disuguhkan dengan pemandangan kumpul-kumpul keluarga lengkap di meja makan. Ya, semuanya lengkap, kecuali suami Arni yang diketahui masih ada tugas ke luar planet tuk menangani masalah perang di sana.
Di sana ada Arni yang baru selesai menata makanan dan minuman di meja makan, dan terdapat empat anak Arni yang sudah duduk di kursi masing-masing, tiga laki-laki dan satu perempuan.
“Pagi, semua!” sapa Ardan semangat.
“Pagi, Dan,” ucap mereka bergantian.
Setelah turun dari tangga, Ardan langsung mengambil duduk di samping anak Arni yang paling sulung dan menaruh ranselnya di bawah meja.
“Pagi, Ardan,” sapa Arni sambil menaruh piring di depan Ardan. “Udah tadi ngobrolnya?”
“Udah, Bi. Dia masih ditaruh di kamar tadi.”
Anak paling sulung Arni yang baru saja selesai minum jus sempat menoleh ke arah tas ransel milik Ardan.
“Kau serius ikut ngurus Acara Orientasi besok, Dan? Bukannya kau bukan anggota Organisasi Teladan, ya?”
Rafaelo Adrael Novan merupakan putra sulung Arni dan suaminya. Pemuda ini memiliki fisik yang hampir sama dengan sang ayah ketika masih muda. Wajahnya memang terlihat imut, tetapi postur tubuhnya terbilang sangat jantan dengan tinggi kisaran 190an disertai otot-otot yang menonjol. Memiliki rambut pirang ikal, kulit putih bersih, dan warna mata biru terang.
“Ya bukan ‘lah, Raf,” sahut Ardan pada pemuda yang sering disapa Rafa itu. “Si Damar Seblak itu yang rekomendasi’in aku buat jadi anggota pengganti. Pantas aja aku yang disuruh, wong yang diganti itu patner dia. Kau tahu sendiri ‘kan Damar itu introvert, pasti minta orang yang paling ia kenal buat temenin dia.”
“Kok kalian suka banget manggil Mas Damar itu Damar Seblak? Seingatku, dia enggak suka seblak, lho.”
Yang bicara itu merupakan anak kedua Arni, satu-satunya perempuan dari empat bersaudara bernama Nadia Isabella Novan. Dia memiliki paras cantik dengan postur tubuh standar, kulit putih pucat, berambut pirang panjang lurus dengan poni, dan memiliki warna mata biru terang.
Sekilas Nadia dan Rafa terlihat seperti kembar karena memiliki warna rambut, mata, dan kulit identik yang menurun dari ayah mereka. Tetapi, mereka merupakan saudara beda selang waktu dua tahun lahirnya.
“Justru karena dia enggak suka seblak, makanya kami juluki Damar Seblak,” ucap Ardan santai sambil mengambil nasi goreng ke piringnya.
“Ish.... Kalian ini.” Dengan setengah jengkel, Nadia menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya.
“Kenapa? Ngambek ya gebetannya dikata-katain?” ledek Rafa, membuat dirinya langsung dipelototi adiknya tersebut.
“Udah, udah. Jangan pada ribut. Emak udah susah-susah nyiapin kita sarapan, lho.”
Kali ini, remaja SMP berkacamata yang berusaha menenangkan mereka itu adalah anak ketiga Arni, Arian Dreas Novan. Berbeda dengan Rafa dan Nadia, Rian memilik perawakan yang masih kurus dengan kulit putih, rambut cokelat terang klimis, dan mata biru terang. Untuk fisiknya sendiri, dia terlihat seperti perpaduan rata antara Arni dan suaminya.
Mereka semua kembali menyantap sarapan masing-masing sampai si kecil paling bungsu yang masih duduk di sekolah dasar bersuara.
“Jadi, Bang Ardan, Bang Rafa, sama Kak Nadia bakal pergi ke Akademi Militer ninggalin kita?” ucapnya sedih.
Branzelo Light Novan adalah anak bungsu Arni dan suaminya. Anak lelaki itu berambut pirang keriting dan kulit putih merona seperti ayahnya, tapi memiliki warna mata cokelat madu seperti ibunya.
Mendengar pertanyaan polos Branz membuat Ardan, Rafa, dan Nadia saling pandang.
Sebenarnya, mereka juga sedih karena harus meninggalkan keluarga ini. Tapi demi pendidikan yang harus ditempuh dan cita-cita yang musti digapai, mereka terpaksa pergi meninggalkan tempat kelahiran mereka.
Sebagai seorang ibu, Arni pun berat hati melepas mereka pergi. Namun, itu sudah keputusan mereka bertiga. Branz masih kecil, wajar saja dia yang sudah betah bersama ketiganya merasa hampa ketika harus ditinggal dalam waktu yang sangat lama.
Branz menunduk lesu. “Kalian pasti bakal meninggalkan Branz, Emak, dan Bang Rian lama dan sangat jauh perginya. Sama seperti Abah yang sampai saat ini masih belum pulang dan enggak sempat menghabiskan waktu libur bersama kita.”
Mendengar pernyataan itu membuat Ardan baru sadar kalau suami Arni sudah beberapa bulan lamanya tidak pulang. Pekerjaan sebagai perwira tinggi Angkatan Antariksa memang bakal menyita waktu dan kesibukan yang sangat padat, sehingga harus meninggalkan keluarga dalam jangka waktu lama. Itu pun dengan bayangan dihantui oleh ancaman kematian di medan perang seperti yang dialami ayah Ardan.
Bukan sekali dua kali pria itu pergi bertugas dalam waktu lama, mereka juga pernah ditinggal sampai lebih dari setengah tahun lamanya. Itu pun masih untung karena rata-rata prajurit antariksa bisa pergi bertugas sampai lima tahun lebih.
“Paman Grim belum pulang juga, Bi?” tanya Ardan prihatin.
Arni menunduk, berat rasanya tuk menjawab.
Grimaelo Adrael Novan, suami Arni itu memang sering kali meninggalkannya karena tugas dan kewajiban sebagai perwira. Mereka masih terus saling menghubungi, tetapi tugas perang yang dijalani Grim selalu membuat Arni khawatir.
Bukan masalah dia kecewa dan merasa kesepian karena sering ditinggalkan, Arni hanya cemas karena kematian akan selalu mengancam nyawa pria yang sangat ia cintai itu.
Sebagai jawaban atas pertanyaan Ardan, Arni hanya menggeleng. Kemudian, dia berusaha memberi pengertian pada Branz sambil mengelus tangan kecil putra bungsunya itu.
“Dek, mereka pergi untuk menggapai cita-cita mereka. Cita-cita untuk melindungi banyak orang di seluruh planet kita. Tanpa mereka, kita takkan bisa hidup damai dan aman seperti sekarang ini. Mereka menempuh pendidikan militer demi bisa menjadi pahlawan, seperti Abah.”
Dalam sendunya, seusaha mungkin Arni memberikan senyum menenangkan pada Branz.
“Abah juga jarang pulang karena kewajibannya melindungi kita semua.” Arni pun mengelus sayang puncak kepala Branz. “Jadi, jangan sedih, ya. Mereka pergi karena ingin menjadi pahlawan seperti Abah. Kelak kalau mereka ada waktu luang, pasti kita bakal kembali kumpul bersama, bersama Abah juga.”
Mendengar penjelasan halus Arni, Branz pun mengangguk pelan. Walau berat, tapi dia berusaha mengerti kalau saudara-saudaranya itu pergi karena memiliki niat baik untuk melindungi banyak orang dan kehidupan di planet ini. Dia berkata demikian karena rindu dengan kebersamaan yang telah mereka lewati.
Ardan, Rafa, dan Nadia pun merasa sedih melihat Branz sendu begini. Tapi, mau bagaimana lagi? Sudah keputusan mereka untuk mengikuti jalan orang tua mereka sebagai prajurit militer.
“Branz mengerti, Mak.” Branz langsung memberi senyum semangat. “Branz juga punya cita-cita ingin menjadi prajurit seperti saudara-saudara Branz dan juga Abah!”
“Sungguh?! Wah.... Pasti kau akan menjadi prajurit paling hebat nanti, Branz,” hibur Ardan. “Kau bakal bisa mengalahkan banyak musuh dalam sekali serang. Bom! Bom!”
“Ahahahaha....”
Mereka semua tertawa menanggapi ucapan Ardan. Seketika suasana sendu itu jadi lebih cair dengan interaksi mereka saat ini.
“Serius?” Rian meneguk minumannya sesaat. “Cuma aku yang enggak tertarik jadi prajurit?”
“Hah?”
“Eh?”
“Hoh?”
Sontak mereka fokus menatap pemuda remaja berkacamata itu. Memang dari seluruh anggota keluarga Grim, hanya Rian yang sama sekali tidak tertarik dengan dunia pertempuran. Menurutnya, terlalu monoton jika satu keluarga isinya orang-orang yang pernah atau bekerja di instansi militer.
“Tumben cuma otakmu yang lurus— Adoh!”
Ardan mengaduh ketika kepalanya ditonyor Rafa.
“Maksudmu, otak kita yang mau jadi prajurit enggak beres, gitu?” tanya Rafa sedikit jengkel.
“Enggak gitu juga, Raf....” Ardan mengelus kepalanya yang kena toyor. “Maksudku, tumben banget Rian punya pemikiran yang beda dari kita soal cita-cita, sedangkan kita semua serentak pengen jadi prajurit, bahkan Branz yang masih kecil aja pengen jadi prajurit.”
“O, jelas, dong! Aku ini beda dari kalian semua,” jawab Rian angkuh.
“Emang cita-citamu mau jadi apa, sih?” tanya Ardan penasaran juga.
“Cita-citaku adalah....”
Rian membetulkan posisi kacamata hingga lensanya tiba-tiba memantulkan cahaya. Dia berdiri dengan percaya diri, menunjukkan betapa hebatnya dia bisa memiliki cita-cita yang berbeda dari saudara-saudaranya.
Melihat Rian mau ambil pose keren membuat Ardan dan Rafa cuma bisa menatap serta menanggapinya datar.
“Tuh, adekmu mau Henshin dia, pakai ambil pose segala,” bisik Ardan pada Rafa.
Rafa balas berbisik, “Kau kira dia tokoh Tokusatsu? Enggak demen yang kaya begituan dia. Rian emang suka bengek sendiri kalau mau banggain diri.”
Sekarang, Rian pun mulai mendeklarasikan cita-citanya pada mereka semua.
...~*~*~*~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments