Kantor Administrasi Akademi juga memiliki lapangan penerbangan yang sangat luas untuk menampung transportasi-transportasi terbang seperti helikopter, pesawat, hingga roket dan pesawat ulang-alik ke luar angkasa. Hal itu dikarenakan akademi sendiri berada di lokasi yang jauh dari kantor administrasinya yang berada di Kota Merin, ibu kota Ranjaya.
Di bagian timur lapangan, terlihat sebuah pesawat masih berada di sana. Ratusan orang yang merupakan Taruna-Taruni akademi militer terlihat berombongan memasuki pesawat sebelum siap lepas landas. Di sana juga tinggal dua petugas berseragam yang sedang memeriksa daftar nama Taruna-Taruni yang akan di antar ke akademi menggunakan pesawat tersebut.
“Masih kurang tiga lagi ini,” ucap salah satu petugas setelah menghitung jumlahnya di tab.
“Serius? Kita udah musti sampai di sana jam sembilan nanti,” keluh rekannya.
Tak berapa lama, terlihat tiga orang yang dimaksud berlari terburu-buru menghampiri pesawat. Rupanya mereka adalah Ardan, Rafa, dan Nadia yang hampir telat datang. Melihat tiga penumpang terakhir sudah tiba membuat kedua petugas itu bernafas lega.
“Maaf, Pak. Telat...,” ucap Rafa ngos-ngosan ketika ia dan kedua orang tadi sudah tiba menghampiri sang petugas.
“Ya, sudahlah. Kartu Akademi kalian kesini’in. Abis itu, tanda tangan ke dia,” perintah sang petugas dan sempat menunjuk petugas lain yang memegang tab.
Ketiganya memberikan Kartu Akademi mereka untuk dipindai menggunakan mesin pindai portabel. Setelah selesai, sang petugas mengembalikan kartu mereka kembali, lalu mempersilakan mereka tuk tanda tangan di tab.
“Kalau sudah, masuk, ya.”
“Siap, Pak.”
Begitu selesai tanda tangan, mereka bertiga segera masuk ke dalam pesawat.
....
“Aku duluan yang duduk di dekat jendela, Bang!”
Nadia, Ardan, dan Rafa buru-buru mencari tempat duduk yang masih kosong. Ketika menemukan ada kursi kosong dekat jendela, Nadia langsung duduk di sana mendahului kedua abangnya itu.
“Yeay! Akhirnya, aku bisa juga duduk di— Adoh! Bang! Bang Ardan! Kenapa badanku digencet begeneh, seh?!”
Badan kecil Nadia terhimpit di antara tembok dan tubuh Ardan yang duduk di bagian tengah. Namun, bukan Nadia saja yang jadi korban, Ardan pun tak sengaja menggencet Nadia gara-gara Rafa yang menggencet pemuda itu karena ngambek enggak dapat duduk dekat jendela.
“Bu-bukan aku, Nad! Ab-Abangmu itu noh yang gencet-gencet aku duluan!” keluh Ardan berusaha mendorong tubuh besar Rafa. “Udah badan segede gedung kantor DPR, masih aja sembarangan gencet badan orang.”
“Bang Rafa...! Kasih ruang dikit nape, Bang...? Adekmu ini lama-lama jadi adek geprek juga kalau digini’in terus, Bang! Ish!” Nadia risih karena badannya makin terhimpit badan Ardan dan tembok pesawat.
Rafa yang duduk sambil berusaha menggencet Ardan bicara dengan nada ketus, “Salah sendiri duduk dekat jendela duluan.”
“Aelah, Bang...! Ngalah ‘dikit, nape?! Udah paling sulung, kelakuan masih kekanak-kanakan aja. Malu sama Branz yang masih bocah tapi udah pengertian sama saudara-saudaranya,” omel Nadia panjang lebar, masih menahan risih karena kena himpit. “Akh! Aduh! Kayak gini terus, lama-lama tepos juga dada seksiku ini.”
“Man-mana ada dada kau seksi,” timpal Ardan masih nahan digencet Rafa. “Dilihat pakai ujung lobang sedotan pun juga kagak kelihatan wujudnya.”
“Bang Ardan kalau yang cabul-cabul omongannya lancar jaya, yak. Kayak endus badak! Aw!”
Rafa makin menjadi-jadi menghimpit mereka. “Aku enggak mau menyingkir. Aku ngambek.”
“Rafa! Adek kau bengek, Anjer!” Ardan ngegas.
“Abang....!” Nadia sudah jejeritan tak karuan.
“Hei!”
Ketiganya langsung terlonjak kaget ketika ditegur petugas pesawat. Buru-buru Rafa menjauh dari Ardan dan Nadia, membuat keduanya bisa bernafas lega setelah habis-habisan digencet Rafa.
“Jangan berisik. Kalian jadi pusat perhatian yang lain, noh. Bentar lagi mau lepas landas ini.”
Mereka melihat ke arah sekitar di mana orang-orang di sana memang sempat memperhatikan keributan mereka, di antaranya ada yang sudah sibuk sendiri karena tak ingin kepergok ikut liatin orang.
Setelah ditegur dan sang petugas juga kembali bertugas, Rafa malah tertawa sendiri mengingat reaksi kocak Ardan dan Nadia saat digencet tadi.
“Hahahaha....”
“Dih. Malah ketawa pula menara sutet ini. Adek kau, noh! Hampir sekarat itu kau buat,” omel Ardan sambil menepuk-nepuk bahu berotot Rafa.
“Bang Rafa pasti isengin kita, Bang Ardan. Dia ‘mah kalau bercanda suka hampir bunuh orang,” omel Nadia pula.
Sambil menyeka air mata tawa, Rafa menyahut, “Ihik, khik.... Lucu aja gitu lihat kalian kayak hampir dipanggil Yang Maha Kuasa.”
“Rafa!”
“Bang Rafa!”
...~*~*~*~...
Perjalanan dari Kantor Administrasi menuju akademi memakan waktu sekitar satu jam. Jadi, para Taruna-Taruni yang diantar memilih untuk mengistirahatkan diri dulu sambil menunggu pesawat mendarat.
Rafa terlihat sedang asik membaca materi pelajaran di tabnya dengan menggunakan kacamata baca dan memasang bantal leher agar tidak merasa tegang.
Rafa memang termasuk orang yang rajin belajar, bahkan selalu mendapat peringkat teratas di akademi. Sudah badan tinggi-besar, otak pun tak kalah cerdas. Wajar jika ia sering kali disegani para Taruna lain. Beda dengan Ardan yang hanya punya nilai tinggi saat pelajaran praktik atau latihan di lapangan saja, sisanya anjlok semua.
Ardan sendiri awalnya hendak memutuskan tuk mendengarkan musik saja, tapi niatnya urung ketika melihat Nadia murung sambil menatap kosong pemandangan langit di luar jendela.
Aneh, padahal pas berangkat tadi gadis berambut pirang panjang ini baik-baik saja. Kenapa sekarang tampak tak bersemangat begini?
“Kau kenapa, Nad?”
Sontak Nadia menoleh ke arah Ardan. Rafa juga ikut mengalihkan pandangan ke arah adiknya saat nada khawatir Ardan terdengar. Seusil-usilnya Rafa pada Nadia, ia masih tetap mencemaskan keadaan adik kandungnya itu.
“Kalau ada masalah, cerita,” lanjut Ardan, “Atau, kau gugup masuk akademi?”
Nadia menggeleng lesu. “Bukan gitu, Bang. Aku malah udah enggak sabar lagi buat masuk akademi. Cuma....”
Nadia menggigit bibir bawahnya sejenak, ragu tuk menceritakan apa yang sudah membuatnya risih.
“Walau kelasnya nyampur antara cowok sama cewek, asramanya tetap dipisah, kan? Aku pasti musti tinggal satu unit sama cewek juga.”
“Terus?” tanya Rafa singkat sambil melepas kacamata baca.
Ada jeda sesaat sebelum Nadia lanjut bicara, “Kalian tahu sendiri 'kan kalau aku punya pengalaman buruk temenan sama sesama cewek.”
Rafa dan Ardan sempat berpandangan sesaat. Mereka baru ingat kalau Nadia punya pengalaman buruk saat berteman dengan sesama perempuan di masa lalu.
...~*~*~*~...
Lima tahun yang lalu, tepatnya saat masih SMP. Nadia memiliki pergaulan yang masih wajar dengan sesama perempuan. Mereka suka kumpul bersama, nonton drama bareng, jalan-jalan, hingga mengerjakan PR bersama. Semua tampak normal dan baik-baik saja sampai suatu kejadian terjadi.
Saat itu pada jam makan siang di sekolah, Nadia yang baru saja selesai membantu guru menyerahkan beberapa dokumen sekolah buru-buru berjalan menuju kantin. Kebetulan jalan di lorong ini lumayan lenggang dan sedikit siswa-siswi berlalu-lalang.
“Duh. Teman-teman pasti udah lama menungguku di kantin,” gumam Nadia sambil berjalan dan merapikan ikatan rambut pirangnya.
Namun, langkah kaki kecilnya terhenti di depan pintu kamar ganti perempuan yang kebetulan terbuka sedikit. Di sana dia mendengar samar-samar suara obrolan teman-temannya. Nadia pikir mereka sudah di kantin, rupanya malah nongkrong di sini.
Awalnya, Nadia hendak masuk dan menyapa mereka riang seperti biasa, tapi urung ketika mendengar ucapan yang menohok hatinya.
“Nadia itu menyebalkan banget, ya.”
...~*~*~*~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments