10 hari kemudian....
“Sinar terang.... Bijiku.... Percaya diri.”
“Tak kusangka.... Hai, engkau.... Seorang waria.”
Jam digital di meja nakas langsung dibogem hancur oleh sosok pemuda yang sudah melek di atas ranjang. Dia baru saja bangun tidur setelah mendengar alarm lagu dari jam digital yang sempat ia setel.
Mata peraknya masih melek, bahkan lebih terlihat melotot ke arah plafon putih kamarnya.
“Alarmnya nyebelin.”
....
Sambil bersiul riang, Ardan yang baru saja selesai mandi dan berpakaian tengah bercermin di cermin lemari sambil mengacak-acak rambut jingganya. Dia begitu merasa keren dengan rompi jingga yang masih memperlihatkan bentuk otot-ototnya, atasan kaos, celana cargo, dan sepatu boots.
“Wih.... Siapa nih kakang yang paling ganteng ini?” ucapnya pede.
Ketika sibuk memuji dirinya sendiri, tatapannya beralih pada salah satu foto berbingkai kayu jati yang digantung di tembok. Foto tersebut memperlihatkan seorang pria dan seorang wanita tengah tersenyum sambil berpelukan dengan bahagia menghadap ke kamera.
Si wanita memiliki rambut hitam kriting dengan mata perak bulat yang indah dan berkulit putih. Sedangkan si pria berambut jingga berantakan dengan memakai ikat kepala, mata heterokrom kuning-perak dengan luka di salah satu bagian mata, dan memiliki warna kulit sawo matang.
“Ayah.... Ibu....”
Ardan makin mendekat ke arah foto itu, memperhatikannya lebih dalam lagi sambil memasukkan kedua tangan di saku celana.
Ya, mereka berdua adalah orang tua kandung Ardan. Sania Cordelia Wezz sebagai ibu, dan Astan Pradipta Cornell sebagai ayah. Keduanya sama-sama sudah tiada lama sekali. Sania meninggal tepat setelah melahirkan Ardan, sedangkan Astan dikabarkan mati di tengah medan perang.
Matanya kini lebih fokus memperhatikan sosok sang ayah. Selama ini, Astan sudah sangat berjasa menjadi orang tua tunggal di tengah-tengah kesibukannya yang saat itu bekerja sebagai salah satu anggota satuan militer. Alasan kuat Ardan bersekolah di Akademi Militer Antariksa juga karena termotivasi dengan perjuangan ayahnya di masa lalu yang dikenal sebagai sosok paling berjasa.
“Ayah.” Iseng-iseng Ardan bicara seakan-akan dia tengah menghadap ayahnya langsung. “Minggu ini aku ‘dah mulai masuk akademi lagi. Udah masuk tingkat dua.”
Ardan sempat menggigit bibirnya sebelum melanjutkan, “Maafkan aku, Yah. Kemarin, aku kelepasan menggunakan kekuatan Pengendalian Senjata. Ta-tapi, jangan cemas. Masih tidak ada yang tahu kekuatan asliku tersebut. Aku masih menyembunyikan kekuatan itu seperti yang kau pinta dulu.”
“Aku mengerti, kekuatan itu sangatlah berbahaya. Apalagi saat ini aku masih belum bisa mengendalikannya dengan baik, dan sumber dari kekuatannya sendiri juga terlalu kuat, sehingga sulit bagiku tuk menyempurnakannya. Aku berjanji padamu akan menyembunyikan kekuatan ini dengan baik dan menjaganya, Ayah. Dan selama di surga, aku mohon agar kau dan Ibu mendoakanku yang terbaik selama aku berjuang di dunia ini.”
Ardan menyunggingkan senyum bahagia. “Kau adalah ayah terbaikku, Ayah.”
Lalu pandangannya teralih pada sosok Sania, ibunya.
“Ibu, aku memang tidak pernah bertemu denganmu seumur hidupku. Tapi aku yakin, kau adalah ibu terbaik yang telah berjuang melahirkanku ke dunia yang indah ini hingga harus mempertaruhkan nyawa. Kuharap, kau bisa tenang di sana bersama Ayah juga. Beribu puji syukur kupanjatkan pada Tuhan karena telah memberikan orang tua terbaik untukku walau itu hanya sementara.”
Ardan sempat menunduk sedih, tapi ia kembali mengangkat wajahnya disertai senyuman khas yang selalu bisa membuat siapa pun akan ikut bahagia ketika melihatnya.
Ya, walau Ardan sudah kehilangan kedua orang tuanya. Tapi, dia tidak boleh berlarut dalam kesedihan. Dia akan berjuang menjadi prajurit hebat, membanggakan kedua orang tuanya yang sudah ada bersama Tuhan.
“Ardan...!”
Ardan menoleh ke arah pintu ketika mendengar ketukan disertai suara seorang wanita memanggilnya.
“Eh? Masuk, Bi.”
Pintu pun terbuka, menampakkan seorang wanita dewasa yang masih terlihat muda di usianya yang sudah tak muda lagi. Ditambah lagi dengan tubuh mungilnya yang hanya sebatas dada Ardan.
Wanita itu memiliki rambut hitam panjang bergradasi hijau, sepasang mata berwarna cokelat madu, dan memakai pakaian formal serba hitam. Ia juga membawa sebuah kota panjang di tangannya, berjalan masuk menghampiri Ardan.
Wanita itu bernama Arni Siragan, bibi Ardan yang selama ini telah merawatnya setelah kematian Astan. Bersama dengan suaminya, Arni merawat, mengasuh, dan membiayai keperluan dan pendidikan Ardan seperti anaknya sendiri.
Awalnya, Arni dan sang suami ingin mengadopsi Ardan sebagai putra angkat mereka, tapi Ardan hanya ingin menganggap keduanya sebagai bibi dan paman karena merasa siapa pun takkan bisa menggantikan posisi Astan dan Sania sebagai orang tuanya.
“Pagi, Ardan.” sapa Arni disertai senyuman.
“Pagi juga, Bibi Arni,” balas Ardan dengan senyum pula.
“Bagaimana persiapannya? Udah siap semua?”
Sesaat Ardan melihat tas ranselnya yang gembung sudah berada di atas ranjang. “Udah semuanya, Bi. Paling cuma ngecek-ngecek lagi, kali aja ada yang kelupaan dikemasi.”
Arni mengangguk, lalu kembali bertanya, “Hari ini udah langsung masuk aja, Dan? Bukannya mulai masuk akademi hari senin? Ini masih hari kamis, lho.”
Ardan mengacak rambut jingganya sesaat. “Aaa..... Temanku kemarin menghubungiku, dia minta aku ganti’in temannya yang enggak bisa hadir buat ngurus kegiatan orientasi besok.”
“Oh, iya.... Sama Rafa juga, ya? Nadia baru masuk akmil tahun ini, berarti kau dan Rafa yang ikutan ngurus masa orientasinya, kan?”
Ardan menjawab, “Tergantung kelompoknya, sih, Bi. Bisa aja nanti Nadia masuknya ke kelompok yang enggak aku atau pun Rafa urus. Soalnya, tadi belum sempat ngecek daftar kelompok orientasinya.”
Setelah ngobrol sebentar, Arni pun menyerahkan kotak yang ia bawa tadi kepada Ardan. Tentu saja pria itu bingung sekaligus penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut dan untuk apa Arni menyerahkan kotak itu padanya.
“Ini apa, Bi?”
“Buka aja,” pinta Arni disertai senyum.
Ardan pun membuka kotak itu. Dia cukup terkejut dengan isi dari dalam kotak. Isinya berupa kain ikat kepala yang tidak asing ia lihat dan tabung yang ditutupi kain hitam.
Ardan hampir tidak bisa berkata-kata ketika melihat benda-benda itu. “A-anu, Bi.... Ini—.”
“Itu barang-barang peninggalan ayahmu. Aku baru menemukannya pas bongkar-bongkar gudang kemarin,” jawab Arni.
Ardan sungguh tak menyangka jika barang peninggalan Astan masih ada di sini, dan barang-barang itu pun terlihat masih bagus, terutama ikat kepala yang selalu menjadi barang ikonik milik ayahnya.
Arni pun mulai menjelaskan satu-persatu dua barang tersebut, dimulai dari ikat kepala cokelat kemerahan bermotif itu.
“Ini adalah ikat kepala yang selalu ayahmu gunakan sejak masih menjadi pemburu dulu. Kainnya terbuat dari bahan terbaik, jadi tetap awet sampai puluhan bahkan ratusan tahun lamanya.”
“Merupakan barang yang sangat wajib Ayah gunakan, bukan?”
Arni merespon dengan senyuman atas tebakan Ardan, “Tepat sekali.”
Kemudian, Arni mengambil benda terakhir, yaitu tabung yang ditutupi oleh kain hitam. Ardan sendiri penasaran dengan benda tersebut. Seumur-umur, dia tidak pernah tahu kalau ayahnya menyimpan benda misterius seperti itu.
Sebelum membuka kain yang menutupi badan tabung, Arni bertanya, “Kau ingat tentang cerita ayahmu yang mengalami ilusi dan kerasukan aneh saat menyusup ke sebuah kapal antariksa?”
Ardan kembali mengangguk. Ia ingat tentang cerita tersebut di mana sejak saat itu Astan berjuang demi membebaskan dirinya dari pengaruh ilusi yang dulu sempat dipengaruhi oleh semacam sistem atau apalah yang kurang dimengerti Ardan.
Beruntung zaman sekarang Sistem Kehidupan sudah dihapuskan.
“Nah, inilah penyebab utama ayahmu sering kali diganggu ilusi.”
Arni pun membuka kain hitam itu. Setelah dibuka, betapa kagetnya Ardan mengetahui isi dari tabung kaca tersebut.
...~*~*~*~...
Sumber Lirik : Fluxcup 🗿
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments