“.... Ingin menjadi pengusaha paling sukses di seantero galaksi!”
Mereka semua tidak terkejut, tapi senang juga mendengar cita-cita luar biasa Rian yang ingin menjadi seorang pengusaha sukses.
“Aku akan membangun kekaisaran bisnisku sendiri! Menjadi direktur utama, presdir, bahkan CEO sekali pun! Investasi melimpah, saham di mana-mana, dan aku akan memonopoli pasar, bahkan memonopoli mental orang sekalian biar usahaku bisa lancar jaya!”
Ardan, Rafa, dan Nadia sempat tukar pandang, merasa heran sendiri dengan kobaran semangat yang membara ketika Rian membahas cita-citanya secara berlebihan. Sedangkan Arni dan Branz terlihat berbinar bangga mendengarnya.
“Gimana ceritanya monopoli mental orang?” bisik Ardan tak paham pada Rafa.
“Kau bertanya pada orang yang salah,” desis Rafa.
Masih dengan semangat berkobar, bahkan api-api imajiner membara di belakangnya, Rian terus berkumandang.
“Menjadi pengusaha dan berbisnis ini urusannya adalah uang. Aku ingin mengumpulkan lebih banyak uang lagi agar hidup kita enggak bakal susah,” jelas Rian dengan semangat lagi, “Dengan uang, aku bisa lebih banyak membangun berbagai macam usaha, membeli banyak kebutuhan buat modal, dan menyimpannya buat tabungan di masa depan. Semuanya demi uang, uang, uang, UANG!”
Rian langsung menunjuk ke depan dengan ujung jari telunjuk yang tiba-tiba berkilau begitu saja. Ardan pun heran melihat ujung jari Rian bisa berkilau begitu. Apa jarinya terlalu kinclong, yak?
“Kalian bertiga bisa berhenti jadi prajurit, Emak tidak perlu mengurus usaha lagi, Branz bisa cari cita-cita lain, dan Abah pun bisa pensiun dengan tenang! Karena aku akan membiayai hidup kalian semua dengan hasil jerih payahku sendiri yang melimpah ruah! Bwahahaha...! Nyahahaha— Ohok! Ohok!”
Rian tertawa ala tokoh antagonis, tapi ujung-ujungnya malah bengek sendiri gara-gara keselek ludah.
Ardan pun kembali berbisik ke Rafa, “Gemes aku sama kelakuannya. Kalau saja bukan adikmu, udah aku patahkan batang lehernya itu.”
“Kupatahkan batang leher kau duluan kalau berani macam-macam sama adikku,” balas Rafa sedikit penekanan.
“Ya ‘kan kalau bukan adikmu, Tong.”
“Bodo.”
Mendengar deklarasi dadakan anaknya itu, membuat Arni bertepuk tangan bangga. Begitu juga Branz yang tidak tahu apa-apa, cuma ikutan aja karena terpengaruh dengan kharisma Rian.
Branz enggak tahu apa itu saham ‘lah, investasi ‘lah, CEO ‘lah. Yang penting abangnya hebat aja, gitu.
“Aku bangga padamu, Nak!” puji Arni. “Selama ini, aku dan Abah kalian tidak memaksakan kalian untuk menjadi apa. Yang penting kalian bisa menjadi orang yang hebat dan bisa membantu sesama.”
“Dan buat Rian, kalau udah punya banyak uang nanti jangan serakah. Selalu wajib bersedekah dan membantu orang-orang yang dalam kesulitan di luaran sana ya, Nak.”
“Itu pasti, Mak. Aku juga banyak termotivasi dengan usaha dan niat baikmu membangun yayasan demi membantu banyak orang yang mengalami kesulitan.”
Ya, dulu setelah menjadi pemburu, Arni juga mengikuti jejak Astan dan Grim bekerja di instansi militer. Namun, itu hanya sebentar karena Arni langsung dilamar Grim. Setelah menikah, ia memutuskan menggunakan tabungannya dan Grim tuk membangun usaha camilan ringan dan membangun yayasan demi membantu anak-anak yatim piatu serta para tunawisma.
Keinginan membangun yayasan terinspirasi dari pengalaman hidup Arni yang diasuh di panti asuhan bersama Suda dan Astan, serta pernah membantu para tunawisma juga selama menjadi pemburu. Arni ingin dirinya bisa meringankan penderitaan banyak orang, menujukan pada mereka bahwa dunia tidak selalu pahit jika kita bisa menjalaninya dengan senyuman.
Astan ‘lah yang banyak mengajarinya tentang arti kehidupan yang sebenarnya. Dunia itu indah jika kita bisa menjalani hidup dengan santai dan ikhlas.
“Itu bagus.” Arni tersenyum bangga. “Kalau begitu, cepat habiskan makanan kalian. Ardan, Rafa, sama Nadia harus segera berangkat ke asrama akademi, kan? Branz dan Rian juga jangan sampai terlambat ke sekolah.”
Mereka semua mengangguk, lalu kembali melahap makanan masing-masing. Kadang mereka bercanda di meja makan dan tertawa bersama selayaknya keluarga harmonis, Ardan ‘lah yang paling aktif berceloteh dan Rafa sering kali membalasnya dengan satir hingga mereka kembali tertawa bersama.
Di tengah kegiatan makan mereka yang menyenangkan, Arni sangat menyangkan Grim yang masih belum juga kembali bersama mereka.
Semoga suaminya baik-baik saja di sana.
...~*~*~*~...
Arni, Ardan, dan yang lainnya baru saja keluar rumah. Terlihat dua mobil sudah menunggu di halaman depan, bersiap mengantar mereka ke tujuan masing-masing. Ardan, Rafa, dan Nadia pergi ke kantor administrasi akademi. Sedangkan Arni mengantar Branz dan Rian ke sekolah dulu sebelum berangkat ke yayasan.
“Dasimu miring dikit, Dek.” Arni membetulkan posisi dasi kupu-kupu Branz, lalu sempat mencium aroma seragam Rian pula. “Kau pakai minyak nyong-nyong abahmu, Yan?”
“Baunya enak, Mak. Kali aja bisa narik banyak perhatian cewek-cewek di sekolah.”
“Hilih~. Kencing aja masih buta arah, sok-sok’an mau narik perhatian betina kau, yak,” julid Ardan pada Rian sambil menenteng ransel. “Sekolah yang bener dulu. Kalau udah berhasil jadi pengusaha, berbagai jenis cewek dari berbagai habitat pun bisa kau borong—Adoh!”
Karena gemas, Rafa pun memukul lengan berotot Ardan. “Mulutmu itu, Dan.... Julidnya ngalahin omongan-omongan tetangga.”
“Tahu, nih. Bang Ardan emang suka aneh gitu,” timpal Nadia, “Kemarin aja dia menang debat sama emak-emak yang ikutan beli sayuran di Abang tukang sayur. Pas rebutan daun singkong pun, dia yang menang.”
“Woh.... Bisa gitu, ya?” ucap Rafa pura-pura tercengang. Kemudian berkata pada Ardan, “Bini kau pasti bangga bisa ngalahin debat emak-emak yang biasanya tiada akhir itu.”
“O, jelas! Dikelonin tiap hari aku kalau biniku bangga sama aku nanti. Jangan iri nanti, yee....”
Rafa cuma menyunggingkan cengiran jijik dengar celotehan Ardan. Lama-lama bisa stres dia dibuat debat sama makhluk berkulit cokelat muda ini.
“Udah, udah.” Arni berusaha menengahi. “Kalian ini kalau mulai debat langsung bikin pusing. Mending kalian berangkat aja, sana. Udah jam berapa ini...?”
“Ya, udah. Salim dulu, Mak.”
Rafa mulai mencium tangan Arni, lalu disusul Nadia dan Ardan. Saat giliran Ardan, iseng-iseng Arni jedotin punggung tangannya ke jidat Ardan yang ditutupi ikat kepala keramat milik ayahnya.
“Aduh, Bi. Sama ponakan sendiri kok bisa iseng gini?” Ardan mengelus jidat walau sebenarnya tak terasa sakit sama sekali. “Entar kalau benjol sampai jadi menara sutet, gimane?”
Dengan santai Arni menjawab, “Halah. Perkara menara sutet, setiap hari pun kau temenan sama menara sutet.”
“Mana ada menara sutet bisa diajak temenan?”
“Tuh menara sutetnya.”
Arni menunjuk Rafa karena dialah satu-satunya orang yang punya postur tubuh paling tinggi dari yang lain. Otomatis Nadia tertawa terbahak-bahak pas tahu si emak ngeledek abangnya. Ardan pun ikutan ketawa setelah sadar siapa menara sutet yang dimaksud, begitu juga Branz dan Rian.
Tahu diledek gitu, agak ngambeklah Rafa. “Hm. Gitu aja teros, Mak. Anak sendiri kau ledek pula. Kan ini gen bawaan dari Abah.”
“Udah, lah. Kalian berangkat aja, sana. Branz dan Rian juga ‘dah siap-siap pergi ke sekolah,” kata Arni setelah sempat ikut menertawakan anaknya. “Maaf ya, Dan. Tadi sempat aku isengin. Padahal kagak boleh kayak gitu tadi.”
“Ya, enggak apa-apa, Bi. Jarang-jarang juga kau isengin ponakanmu yang cakep membahana ini,” kata Ardan narsis. “Toh kau juga kayak gini karena terlalu kangen ama Paman Grim.”
“Ish! Kau ini, Dan...!”
Ardan ketawa-ketiwi sendiri sambil buru-buru masuk ke dalam mobil ketika melihat Arni sudah siap melemparkan tas selempang mahalnya ke kepala Ardan.
Pemuda ini emang suka sekali bikin jengkel orang. Untung masih keluarga walau tidak sedarah. Toh bapaknya sudah banyak berjasa pada Arni semasa dia hidup.
Sambil membetulkan kembali letak tas, Arni berpesan, “Kalian hati-hati di jalan, ya. Kalau udah sampai, langsung kabarin aku.”
“Siap, Bi!”
“Iya, Mak.”
“Kami berangkat dulu ya, Mak.”
Rafa, dan Nadia pun menyusul Ardan masuk ke dalam mobil yang akan dikendarai oleh sopir mereka. Setelah semuanya sudah masuk, mobil pun mulai melaju keluar dari gerbang halaman rumah besar itu.
Setelah dipastikan mereka sudah pergi, Arni juga masuk ke dalam mobil bersama Branz dan Rian untuk mengantarkan keduanya ke sekolah masing-masing.
...~*~*~*~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments