“Dia ingin bebas, dan dia tidak akan menyerah begitu saja.”
Bayang jadi ingat betapa sulitnya Astan bertarung dengan keadaannya sendiri. Ilusi dari sistem membuat Astan ribut dengan dirinya di masa lalu, serta munculnya kembali ingatan-ingatan Astan sejak kecil.
Dari semua ingatan lengkap itulah yang membuat Bayang tersadar akan sesuatu.
“Mulai dari situ, aku tanpa sengaja melihat semua ingatan Astan di masa lalu.”
“Semuanya?”
Bayang mengangguk pada Ardan. “Semuanya. Aku baru mengetahui kalau Astan dan orang tuanya berasal dari negara padang pasir. Saat dia masih kecil, wilayah negara mereka sedang diperebutkan, kedua orang tua Astan meninggal dalam perang. Dan mirisnya lagi, mereka meninggal dalam keadaan difitnah sebagai penghianat.”
Ardan terkejut mendengarnya. Selama ini, Astan tak pernah cerita seperti apa kakek-nenek Ardan dulu. Kalau masa lalunya bisa sepahit ini, pantas saja Astan enggan bicara.
Membicarakan tentang kematian tragis kedua orang tuanya di medan perang dalam keadaan difitnah hanya akan membuka lebar luka lama.
“Pamannya Astan yang membawa Astan ke pengungsian pun mati ditembak. Pada akhirnya, dibantu oleh yayasan setempat, Astan kecil diungsikan ke planet lain. Dia ditempatkan di sebuah panti asuhan. Di sanalah Astan bertemu dengan Bibimu Arni yang saat itu masih balita dan saudara kandungnya Suda. Awalnya Astan malu-malu, tapi pada akhirnya mereka berteman akrab.”
Bayang menunduk sambil menyeka setetes air mata yang keluar di pinggir mata satunya menggunakan lengan bayangan. Mengingat ingatan masa kecil Astan yang tak sengaja ia lihat membuatnya jadi semelankolis ini. Padahal Bayang bukan manusia, keberadaan hati dan perasaannya pun dipertanyakan.
“Suda dan Astan pernah bekerja serabutan di usia mereka yang masih kecil demi memenuhi kebutuhan hidup mereka yang semakin sulit, apalagi mereka juga perlu membeli segala kebutuhan buat Arni. Astan pernah mengasuh Arni saat Suda sakit, bahkan hampir koma gara-gara melindungi Arni dari sengatan listrik. Dia... sungguh menyayangi Arni seperti adiknya sendiri.”
“Astaga, Tuhan....”
Ardan benar-benar kehabisan kata-kata. Tak disangka masa kecil ayahnya dilewati dengan sangat sulit. Dimulai dari kehilangan keluarga pada masa perang, sampai hampir koma karena melindungi adik orang yang sudah ia anggap seperti saudari sendiri.
Berusaha menahan sedih, Bayang kembali bercerita, “Mereka terus bersahabat dengan baik sampai Astan memutuskan tuk masuk akmil dan mereka kembali dipertemukan setelah insiden kapal tersebut.”
“Dari ingatan itulah hati nuraniku muncul, Dan....” Bayang menggeleng. “Selama ini, aku sudah semakin membebani hidup Astan yang sudah lebih dulu kacau. Di saat semua orang mengeluh atas kampretnya kehidupan mereka, dia malah menghadapi kejamnya dunia dengan senyuman. Hanya orang sinting yang menganggapnya naif. Dia punya pemikiran yang sangat dewasa tentang cara menghadapi kerasnya kehidupan.”
“Dengan semua kekuatanku yang tersisa, aku berusaha mencegah terjadinya penghapusan ingatan pada diri Astan dan meretas sistem buatan. Pada akhirnya dia bebas. Dan hebatnya lagi, dia mendapatkan kekuatan yang sangat luar biasa,” jelas Bayang dengan penuh semangat.
“Kau tahu kekuatan apa itu, Ardan? Kekuatan Mengendalikan Energi Kosmik. Kekuatan itu mampu membuat Astan memanfaatkan energi yang ada di alam semesta untuk ia kendalikan, dia bisa membuat senjata dan makhluk-makhluk mistis menggunakan energi kosmik tersebut. Karena kekuatan itulah, dia berhasil kabur dari organisasi jahat yang mengincarnya.”
“Sejak saat itu, kami pun berteman baik dan berpetualang bersama. Banyak hal yang kami lewati selama berpetualang. Kadang aku suka melihatnya ikut berburu di dungeon bersama teman-temannya, membantu Astan melatih kekuatannya, dan masih banyak lagi!”
Ardan pun kembali bertanya karena merasa ada yang janggal, “Sejak Ayah mendapatkan kekuatan tersebut, apa dia masih menggunakan Sistem?”
“Masih,” jawab Bayang tanpa ragu. “Satu-satunya sumber kekuatan pada saat itu cuma dari Sistem Kehidupan. Jadi, dia terpaksa menggunakan Sistem tuk memperkuat kemampuannya.”
“Nah...! Singkat cerita, setelah ayahmu sudah sangat kuat, dia pun bertarung melawan pasukan pengguna sistem serta mengalahkan pencipta sistem itu sendiri hingga pada akhirnya Sistem Kehidupan berhasil dihapuskan.”
Mata Bayang sempat melirik ke arah jam digital di nakas. “Yaa.... Walau ceritaku terdengar enggak nyambung, tapi aku harus mempersingkat cerita karena sebentar lagi kau ‘kan bakal berangkat ke akademi.”
Ardan menghela nafas, “Haaah.... Kau benar. Pasti Bibi Arni dan yang lainnya sudah menunggu di ruang makan. Padahal, aku ingin sekali mendengar cerita lengkapnya petualanganmu dan Ayah di masa lalu.”
“Mungkin lain waktu, Nak. Saat kau sudah kembali nanti.”
Ardan mengangguk disertai senyuman. Tangannya mengambil ikat kepala milik mendiang sang ayah yang sempat diberikan Arni tadi dari dalam kotak. Ia pun beranjak dari tepi ranjang, melangkah ke depan cermin lemari.
Saat sudah sampai di depan cermin, dia menatap pantulan dirinya di sana. Sekilas ia memang mirip dengan ayahnya, Astan. Rambut jingga berantakan, tubuh tinggi atletis, dan berkulit agak sawo matang. Namun warna matanya berbeda dan tidak ada luka sama sekali di wajahnya seperti yang dimiliki Astan dulu.
Ardan sedikit menunduk, lalu mengikat kain ikat kepala di kepalanya. Setelah terpasang, ia kembali menatap pantulannya di cermin. Kini tingkat kepercayaan dirinya makin meningkat. Dia merasakan ada diri sang ayah di dekatnya, mengawasi dan selalu mendukung setiap langkahnya untuk terus maju.
“Oke, Ayah! Mulai sekarang, aku akan mengukir sejarah perjuanganku sendiri,” ucap Ardan percaya diri, lalu menoleh ke Bayang. “Bagaimana menurutmu, Bayang?”
Bayang langsung menciptakan jempol di tubuh lembeknya. “Sangat mengesankan! Aku yakin, suatu saat kau pasti bisa menjadi sehebat ayahmu.”
“Meh~. Aku tidak ingin menjadi seperti Ayah.”
“Eh?”
Bayang jadi bingung. Bukankah seorang anak akan sangat ingin menjadi ayahnya jika ia merupakan sosok yang hebat? Tak disangka, setelah mendengar cerita Bayang, bukannya termotivasi, Ardan malah enggan meniru kehebatan ayahnya sendiri.
Disertai seringai narsis, Ardan melanjutkan, “Aku akan menjadi diriku sendiri, dan harus melampaui kehebatan ayahku!”
Kemudian, Ardan kembali menghadap cermin, menunjuknya seakan-akan ia tengah berhadapan dengan si lawan bicara.
“Bukankah begitu, Ayah...? Camkan itu.”
Mata satu Bayang langsung berbinar kagum melihatnya. Ardan memang memiliki sifat barbar seperti Astan, tapi dia memiliki kepercayaan diri yang diturunkan dari ibunya, Sania. Perpaduan yang sangat sempurna bagi Bayang.
“Woah...! Kau menantang ayahmu sendiri, Ardan? Kau nakal,” usil Bayang.
Ardan mengibaskan rambut jingganya dengan dramatis. “Tapi ganteng. Unch.... Unch....”
“Hei, siapa yang ngajarin?” sewot Bayang.
“Kan aku banyak belajar darimu, Bung.” Lalu Ardan mengedipkan sebelah mata.
Keduanya sama-sama tertawa dengan candaan masing-masing. Rasanya tak menyangka, Ardan dan Bayang bisa seakrab ini dalam waktu singkat. Jiwa ekstrovert Ardan yang mampu membuat suasana yang awalnya canggung jadi secair ini. Padahal, Bayang tadi sempat takut dibuatnya.
“Oh, ya. Omong-omong....”
Setelah tertawa bersama, Ardan mengalihkan topik pembicaraan ketika teringat sesuatu.
“Soal kekuatan Ayah. Kemarin aku mengalahkan monster yang memiliki kekuatan persis seperti yang dimiliki Ayah.”
Tawa Bayang pun seketika berhenti saat mendengar perkataan Ardan. Kalau sudah berurusan dengan kekuatan Astan, dia harus serius menanggapinya.
...~*~*~*~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments