Negara Ranjaya merupakan negara kepulauan dengan bentuk pemerintahan republik. Walau masih dikenal sebagai negara berkembang, tetapi peradabannya sudah cukup maju.
Ranjaya juga dikenal sebagai negara non-blok yang ramah dan mudah bekerja sama dengan negara lain. Oleh sebab itu, pemerintah dari planet tersebut memilih Ranjaya sebagai lokasi terbaik untuk membangun instansi pendidikan militer tingkat internasional seperti Akademi Militer Antariksa tempat Ardan dan kawan-kawannya menimba ilmu.
Akademi Militer Antariksa di Negara Ranjaya berada di salah satu pulau terpencil, jauh dari lokasi ibu kota dan daerah-daerah yang banyak dihuni warga sipil, sedangkan kantor administrasinya ditempatkan di lokasi berbeda.
Kantor Administrasi Akademi Militer Antariksa terletak di dekat daerah pelabuhan Kota Merin, ibu kota Negara Kepulauan Ranjaya, kota yang terletak di salah satu pulau terbesar dari negara tersebut.
Kantor administrasi tersebut digunakan sebagai tempat pendaftaran para Taruna-Taruni baru, pembayaran, sampai penyerahan laporan-laporan terkait kegiatan akademi, seperti soal kegiatan remedial yang dilakukan Ardan dan teman-temannya.
“Aaaah...!”
Ardan, Damar, dan Regan mulai duduk bersamaan di bangku tunggu pinggir lobi. Ketiganya sama-sama bernafas lega sambil menaikkan satu kaki di atas paha, tapi bedanya Regan duduk sambil minum boba.
Beruntung Ardan sudah mengganti celananya yang sobek dengan celana baru. Tak sia-sia dia membawa pakaian cadangan tuk berjaga-jaga karena pakaian sobek saat praktik itu sudah biasa terjadi.
Mereka baru saja selesai mengurus perihal kegiatan remedial memusnahkan sarang goblin. Karena merasa lelah, ketiganya memutuskan untuk duduk-duduk santai dulu.
“Aaaa..... Capeknya....” Damar meregangkan tangannya.
Melihat Regan sedang asik menyedot boba, Ardan pun iseng-iseng nyahut, “Kau ini.... Belum apa-apa ‘dah minum boba.”
“Dih. Orang asik minum boba, malah kau yang sewot. Napa, mau kau?” tawar Regan setengah datar.
Ardan bersedekap sambil buang muka. “Ogah. Bekas jigong kau itu.”
Di saat mereka sedang asik bersantai, kebetulan ada sosok Durna lewat sambil membaca beberapa laporan di tabnya.
“Eh, kalian belum balik, ya?” tanya Durna pada ketiganya.
“Eh, Pak...,” sapa Damar sungkan.
Karena sudah tidak memimpin tugas lagi, Durna sudah tidak dipanggil Komandan oleh mereka.
“Lagi santai bentar, Pak. Capek soalnya,” sambung Damar.
“Oooh....” Durna mengangguk. “Tapi sebaiknya kalian segera pulang aja. Ini ‘kan masih masa-masa libur semester. Nikmatilah masa senggang kalian dulu puas-puas selama dua minggu ini. Kalau udah mulai masuk, kan musti lebih fokus belajar lagi. Apalagi kalau sudah Tingkat 2, pasti bakal dikasih tugas yang lebih banyak.”
Mereka memang sempat dipanggil mengikuti remedial di masa-masa libur semester. Sekarang masih ada waktu sekitar dua minggu lagi sebelum mereka kembali masuk akademi. Makanya, Durna menyarankan mereka untuk segera pulang, tidak menyia-nyiakan masa libur mereka yang kelak bakal susah didapat kalau sudah masuk ajaran baru.
“Iya, Pak. Abis ini, kami bakal langsung pulang, kok,” kata Ardan disertai senyuman.
“Kalau begitu, aku permisi dulu, ya. Masih banyak kerjaan ini.”
“Siap, Pak.”
Setelah pamit, Durna kembali berjalan menjauh dari mereka.
Setelah sang kolonel berjalan menjauh, iseng-iseng Ardan membuka obrolan lagi.
“Selama liburan, kalian mau ngapain aja?”
“Ya pulang kampung, lah.” Kemudian Damar melihat ke arah Regan. “Eh? Itu berarti kau pulang ke negaramu, Regan?”
Tidak seperti Damar dan Ardan yang berkewarganegaraan Ranjaya, Regan berasal dari negara lain, tepatnya dari negara di banua utara yang kebetulan memiliki hubungan baik dengan Negara Ranjaya.
Karena akademi militer yang mereka tempati merupakan akademi bertaraf internasional, maka tidak heran jika ada Taruna-Taruni dari negara lain bersekolah di sana.
Berbeda dengan Akademi Militer Nasional yang mengharuskan Taruna-Taruni dari negara asli yang boleh sekolah di sana, Akademi Militer Antariksa tidak peduli mau dari negara mana pun yang terdaftar, asalkan berasal dari planet yang sama.
Seperti sebutannya, Akademi Militer Antariksa digunakan sebagai sarana pendidikan untuk melahirkan para prajurit handal yang kelak akan ditugaskan sebagai prajurit pelindung planet dari segala ancaman kejahatan luar angkasa.
Semakin maju teknologi dan cepatnya transportasi ke berbagai planet, maka semakin memungkinkan adanya perjalanan jauh dan interaksi dengan para penduduk dari planet yang berbeda-beda. Itu sebabnya, kehadiran prajurit khusus Angkatan Antariksa sangat dibutuhkan demi menjaga perdamaian antar planet, bahkan antar galaksi.
“Jelas,” jawab Regan setelah meminum boba, “Entar malam aku langsung berangkat ke bandara.”
“Duh. Jadi kangen aku sama sahabat-sahabatku ini.” Ardan pun menggandeng bahu keduanya.
Dengan datar Damar berkata, “Sok-sok’an bilang kangen. Pas ketemu pasti langsung diketekin juga.”
“Eh, jangan salah.” Ardan melepas gandengannya dari bahu mereka. “Gini-gini ketiakku ngangenin, lho.”
“Huek!” Damar pun dibuat-buat muntah.
“Dahlah.” Regan melemparkan sampah gelas boba ke tempat sampah di dekatnya, lalu mulai berdiri. “Aku langsung balik aja. Mau siap-siapan buat ke bandara nanti.”
“Aaah.... Aku mau pulang juga.” Ardan ikut berdiri sambil merenggangkan tangan berototnya. “Mau bobo ganteng, biar banyak cewek kelepek-kelepek sama aku.”
“Ish.... Pede kau, Dan.... Dan.” Damar juga beranjak dari kursi. “Ya, udah.... Kalau gitu, sampai jumpa di akademi dua minggu lagi, ya.”
“Sampai jumpa lagi!”
“Yo’i.”
Setelah itu, ketiganya memutuskan untuk pulang dari kantor administrasi, memanfaatkan waktu senggang mereka selama libur karena setelah itu mereka harus kembali menempuh pendidikan di Akademi Militer Antariksa.
Ardan jadi tidak sabar untuk segera masuk akademi lagi. Banyak hal seru dan gila yang sangat ia rindukan di sana.
...~*~*~*~...
12 tahun yang lalu....
Di dalam garasi yang masih terbuka pada siang itu, seorang anak kecil berkulit sawo matang tengah membawa beberapa metal rongsokan. Setelah mengumpulkan cukup banyak metal dari bekas rongsokan motor sang ayah, Ardan kecil menaruhnya di atas meja, lalu memperhatikannya dengan kedua mata perak nan lucu itu.
Tangan kecilnya terulur menghadap rongsokan. Ketika ada kilatan sirkuit abu-abu muncul di tangannya, semua rongsokan metal mulai menyatu, bertransformasi menjadi sebuah pistol laser.
“Yey! Mainan baru!”
Dengan girang Ardan berlari menghampiri ayahnya yang sedang sibuk memperbaiki motor di garasi tersebut.
“Ayah! Ayah! Lihat, aku ‘dah bikin mainan sendiri! Jadi, enggak usah susah-susah lagi beli mainan baru,” kata Ardan dengan riangnya.
Tanpa menoleh, sang ayah berkata, “Oh, ya? Emang mainan apa yang kau bik— Eh, ayam!”
Sang ayah latah ketika dikejutkan dengan tembakan laser dari arah sampingnya hingga tembakan itu menyisakan bekas flek hitam di tembok. Ketika ia menoleh, rupanya Ardan yang menembakkan laser tersebut menggunakan pistol buatannya.
“Lihat! Aku bisa bikin mainan!”
Sang ayah menghela nafas. Inilah yang ia khawatirkan dari kemampuan putranya tersebut. Ardan sudah bisa membuat senjata sendiri menggunakan kekuatan terpendamnya. Dia takut kekuatan itu malah akan membuat Ardan dalam bahaya.
Ayahnya berdiri, menuntun putra kecilnya ke kursi dekat meja tadi, lalu duduk bersama di sana. Tak lupa ia juga menaruh pistol itu menjauh dari jangkauan Ardan.
Sang ayah menggeleng. “Nak, itu bukan mainan.”
“Ta-tapi, Ayah, aku kemarin sempat lihat anaknya Mpok Ira main pistol-pistolan yang kayak gitu bentuknya,” kata Ardan polos sambil menunjuk pistol tadi.
Ia mengelus puncak kepala Ardan dengan sayang. “Gini, Nak. Benda yang bisa merusak apa pun dan dapat melukai orang lain tidak bisa disebut mainan.”
“Tapi, itu—.”
“Nak....”
Ayahnya menatap Ardan dengan tatapan sendu lewat mata heterokromia kuning-perak itu, berharap Ardan bisa mengerti apa yang ingin dia sampaikan.
“Kamu janji enggak bakal bikin ayahmu ini sedih, kan?”
Tentu saja Ardan langsung mengangguk. Dia jelas tidak ingin membuat ayahnya sedih.
“Maka aku mohon, jangan pernah menggunakan kekuatan itu, apalagi di tempat umum,” mohon ayahnya. “Kalau kau ingin mainan, tinggal minta aja. Aku pasti akan membelikanmu mainan. Tapi jangan coba-coba membuat senjata sendiri ya, Nak?”
“Kenapa?” tanya Ardan polos.
“Karena itu bahaya.” Sang ayah melanjutkan, “Bukan hanya itu saja alasannya. Jika kau sudah besar nanti, pasti kau bakal semakin paham alasannya. Yang penting sekarang nurut, ya? Demi kebaikanmu juga.”
Walau sedikit kecewa, Ardan kecil pun mengangguk mengiyakan. Padahal, membuat senjata seperti tadi menurutnya sangatlah menyenangkan, apalagi di saat-saat waktu luang.
Ayahnya pun tersenyum, lalu menggendong tubuh kecil Ardan. “Dari pada bikin yang kayak begituan, mending kita makan kecebong bakar aja.”
“Eh? Emang kecebong bisa dibakar, Yah?” tanya Ardan penasaran.
“Bisa, dong. Tinggal dibakar pakai api, ‘dah selesai....”
“Hehe.... Entar kecebongnya gosong lagi, Yah.”
“Enggak bakal gosong kalau kecebongnya kebanyakan iman. Yuk, ah! Kita ke dalam.”
“Ayo!”
Sang ayah pun pergi memasuki rumah sambil menggendong Ardan kecil.
Beginilah masa kecil Ardan bersama ayahnya dulu. Karena pesan yang disampaikan sang ayah itulah, sampai sekarang Ardan masih merahasiakan kekuatan aslinya.
Masa-masa kecil yang membahagiakan bersama ayah tercinta.
Masih kecil udah dikasih makan kecebong.
...~*~*~*~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Miss Troublemaker
Aish.... Otak bapaknya ga bener 🗿
2023-03-05
1