Hutan Berburu Peri Monster itu… seperti negeri dongeng.
Kukira inilah Negeri Peri yang sesungguhnya, pikir Evelyn takjub.
Pohon-pohon bambu yang langsing dan pohon-pohon oak tumbuh melengkung ke arah jalan setapak di depan mereka. Di baliknya, semak-semak tampak berkilauan ditaburi butiran cahaya berwarna-warni.
Cahaya matahari tersaring celah-celah dedaunan, menebarkan titik-titik terang di permukaan lantai hutan. Kupu-kupu monarch hitam dan keemasan terbang ke sana kemari, keluar-masuk berkas cahaya putih yang menyorot dari atas. Tubuh mereka bercahaya seperti lampu pijar. Kupu-kupu itulah yang meninggalkan jejak taburan cahaya berwarna-warni.
Evelyn dan Nazareth melangkah masuk ke dalam hutan, ranting-ranting kering berkeretak terinjak sepatu armor mereka yang berat. Begitu tersembunyi di balik pepohonan.
Evelyn berjalan pelan sambil menengadahkan wajahnya dalam sorot sinar matahari yang cerah. Tali sepatunya yang terlepas dari ikatannya, tersangkut semak-semak. Ia menariknya hingga lepas dan mengikatnya kembali, kemudian meneruskan langkahnya mengekori guardian tampannya yang berjalan ringan seolah sedang melayang.
Bunyi gemeretak di belakang membuat Evelyn berbalik badan, dan tepat pada saat itu ia melihat seekor kelinci berbulu putih menyelusup masuk ke balik tumpukan daun kering. Tubuh kelinci itu juga bercahaya seperti lampu pijar.
Evelyn mengibaskan rambutnya yang panjang dan terikat kencang ke belakang membentuk ekor kuda, sambil menghela napas dalam-dalam. Udara segar dan wangi aroma terapi yang ditebarkan bunga-bunga peri yang rata-rata mirip tulip biru dan teratai berwarna emas.
Sekelompok serigala bersayap perak dan bertanduk satu berbentuk mahkota mengawasi mereka dengan waspada dari balik semak-semak. Kulit punggung mereka sekeras badak. Bisa dibilang setengah badak setengah serigala.
Suara-suara berdengung dan berdesis terdengar seperti desau air bah di kejauhan. Evelyn merasakan kepalanya seperti merayang.
"Kau takkan membunuh kami!" suara bisikan itu menggema di dinding tebing. Seperti suara seorang wanita.
Evelyn menyentakkan kepalanya ke samping, meneliti seluruh tempat dengan tatapan mencari-cari. Siapa yang berbisik? ia bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah aku benar-benar mendengarnya?
Evelyn mengerutkan keningnya, mengawasi barisan serigala peri bersayap perak. Mungkin mereka para penjaga hutan, pikirnya. Merekakah yang berbisik padaku?
"Pergilah Eve! Kami tak ingin melawanmu!"
Suara bisikan lagi. Kedengarannya seperti sebuah peringatan, Evelyn menyimpulkan. Tapi siapa mereka? Kenapa mereka tahu namaku?
Menyadari langkah Evelyn melambat, Nazareth mengerutkan keningnya dan menoleh ke belakang.
Tatapan Evelyn yang panik menyapu sekeliling hutan.
"Eve," suara Nazareth yang datar menyentakkan Evelyn dari ketakutannya.
Gadis itu terhenyak dan tergagap menatap guardiannya.
"Apa yang terjadi?" Nazareth bertanya dan menghentikan langkahnya. Sebelah alisnya terangkat tinggi.
"Ah—" Evelyn menjawab terbata-bata. "Master, kau dengar itu?" Ia bertanya sambil mengembangkan sebelah tangannya di sisi tubuhnya.
"Dengar apa?" guardiannya bertanya dengan ekspresi datar.
"Aku—" Evelyn menjilat bibir bawahnya dan menelan ludah, tiba-tiba menjadi ragu. "Kukira… aku mendengar mereka bicara!"
"Peri monster?" Nazareth menautkan alisnya sambil melirik Evelyn melalui sudut matanya.
"Ya," jawab Evelyn sambil tertunduk. Tiba-tiba merasa konyol.
Nazareth terkekeh tipis dan menggeleng-geleng. Kemudian melanjutkan langkahnya tanpa bicara lagi.
Evelyn mengikutinya. Tapi bola matanya terus bergerak ke sana kemari dengan gelisah.
"Kau takut?" tanya Nazareth tanpa menoleh.
"Emh… entahlah!" Evelyn menjawab tak yakin.
Nazareth memelankan langkahnya dan menoleh sekali lagi. "Kita sudah memasuki zona bahaya." Ia memberitahu. "Mulai sekarang, jangan pergi selangkah pun dari sisiku!"
"Hmh!" Evelyn mengangguk penuh semangat. Sebenarnya berdebar-debar. Bukan karena takut, tapi karena kata-kata terakhir gurunya terasa seperti perhatian seorang kekasih.
Aku pasti sudah gila! pikirnya tak peduli.
Nazareth menghentikan langkahnya. Lalu kedua kakinya memasang kuda-kuda, sementara kedua tangannya terentang menghimpun tenaga dalam, lalu menarik telapak tangannya ke depan dada dan menggerak-gerakkan jemarinya begitu rupa membentuk jurus-jurus penyatuan energi dasar dan seketika tubuhnya berpendar memancarkan cahaya berbentuk lingkaran seperti cakram berwarna emas.
Evelyn terperangah dengan tatapan takjub. Cakra spiritual Nazareth memukau gadis itu meski ia belum mengerti apa artinya.
"Vox! Keluarlah!" perintah Nazareth entah ditujukan kepada siapa.
Lalu sesosok bayangan melesat keluar dari dada pria itu, sosoknya sama persis seperti dirinya namun dalam ukuran yang jauh lebih kecil. Kira-kira seukuran kucing dewasa. Postur tubuh dan garis wajahnya juga seperti kanak-kanak Nazareth.
Evelyn menatap sosok mirip guardiannya itu dengan mata dan mulut membulat. "Apa itu… boneka?" Ia bertanya tergagap antara tak yakin dan tak bisa menutupi kekagetannya.
Nazareth menarik kembali tenaga dalamnya dan lingkaran cahaya berbentuk cakram yang melingkar di pinggangnya berangsur-angsur hilang. "Benar," jawabnya sambil menoleh pada Evelyn. "Namanya Migi Vox. Kau boleh memanggilnya Vox."
"Kenapa Master menamainya dengan nama belakang sendiri?" tanya Evelyn sambil tertawa.
"Menurutku itu suatu bentuk penghormatan," sanggah Nazareth tetap datar dan tanpa beban.
Boneka itu menelengkan kepalanya, melongok ke arah Evelyn dari balik bahu Nazareth dan menyeringai.
Benar-benar mirip Lord Vox, kata Evelyn dalam hati. Wajahnya, rambutnya, pakaian dan pernak-perniknya. Bisa dibilang miniatur Lord Vox. Mungkin juga anaknya. Tapi seringai boneka itu membuatku sedikit ngeri.
"Buka jalan, Vox!" perintah Nazareth.
Boneka itu lalu melejit setinggi kepala Nazareth dan berbalik memunggungi mereka dengan kedua tangan terlipat di belakang tubuhnya. Sama persis seperti kebiasaan Nazareth. Boneka itu sekarang melayang mendahului mereka.
Nazareth dan Evelyn mengekor di belakangnya.
"Master," Evelyn bertanya ragu. "Apa itu peri pelindung Anda?"
"Ya," jawab Nazareth tetap datar. "Peri pelindungku sebenarnya adalah tongkat kayu," jelasnya. "Vox adalah peri pelindung mutasi."
"Peri pelindung mutasi?" Evelyn mengerutkan keningnya, tidak mengerti. "Apa itu peri pelindung mutasi?"
"Secara normal, setiap orang mewarisi peri pelindung dari pihak ayah atau ibu," jelas Nazareth. "Namun ada kasus khusus di mana peri pelindung berevolusi karena suatu hal. Itulah yang disebut peri pelindung mutasi."
Evelyn menyimak sambil menjejeri langkah guardiannya. Dahinya kembali berkerut-kerut ketika ia mencoba membayangkan jika peri pelindungnya berevolusi…
"Peri pelindung mutasi dapat berubah menjadi kuat, bahkan bisa memunculkan kekuatan spiritual penuh," tutur Nazareth. "Namun sayangnya kebanyakan peri pelindung mutasi malah berubah menjadi lemah, seperti hasil perkawinan sedarah, kemungkinan cacatnya sangat besar. Namun ada kemungkinan melahirkan si jenius juga."
"Master, apakah semua peri pelindung bisa bermutasi?" tanya Evelyn penasaran.
"Tidak semua," jawab Nazareth. "Bahkan seharusnya tidak terjadi."
Evelyn tertegun sesaat sebelum akhirnya bertanya lagi, "Apa penyebab peri pelindung berevolusi?"
"Itu sama seperti… parasit, kau tahu?"
"Hmh!" Evelyn mengangguk cepat-cepat.
"Sama halnya seperti tubuh, peri pelindung juga bisa terinfeksi," lanjut Nazareth.
Evelyn mendongak menatap wajah guardiannya, menuntut penjelasan lebih.
"Kau masih ingat tentang munculnya tanda penolakan saat menautkan cakra spiritual pada peri pelindung?" tanya Nazareth.
Evelyn mengangguk.
"Vox juga demikian!" Nazareth menambahkan. "Ketika aku menautkan cakra spiritual pertamaku, aku mematahkannya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments