"Ada apa, Xen?" Nazareth Vox bertanya pada saisnya sambil membungkuk ke depan dan menyingkap tirai kereta.
Ia bahkan belum mencapai gerbang perbatasan kota ketika tiba-tiba kereta kuda itu berguncang dan berhenti. Kuda penarik kereta itu mendengus dan meringkik gelisah.
"Sepertinya ada kecelakaan, entahlah!" jawab sais itu tak yakin.
Mereka menoleh ke arah jalan dan melihat gerbang perbatasan kota yang ada di lima puluh meter di depan sana macet oleh barisan kereta kuda yang dipaksa berhenti.
Arus kendaraan di sana berhenti sama sekali. Mereka mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
Kereta-kereta kuda yang ada di depan mereka hanya berbelok-belok di sekitar kendaraan yang berhenti.
Dari kegaduhan yang terjadi sekarang mulai menjadi jelas sebuah kereta pengangkut yang kelebihan muatan dengan roda-roda berwarna merah dan tumpukan barang juga para penumpang yang memekik tertahan di atasnya.
Para penumpang yang terkejut menjulurkan kepala mereka dari jendela sambil menahan napas dengan wajah memucat.
Kedua mata Nazareth menyipit ketika mendapati seorang pria paruh baya terkapar—entah mati atau sekarat, yang jelas pria paruh baya itu tidak bergerak di dekat salah satu dari kuda-kuda kereta pengangkut tersebut.
Sejumlah pria membungkuk di sekelilingnya.
"Bawa dia ke balai pengobatan!" teriak seseorang.
Mantel armor pria itu basah oleh keringat bercampur darah, sementara sebelah bahunya terkoyak seperti habis dimangsa binatang buas.
Nazareth menatap luka itu dengan tatapan suram. Wajahnya menegang. Ia bangkit tiba-tiba. "Aku akan pergi dan memeriksanya. Mungkin mereka butuh bantuan."
Saisnya ikut beranjak dan turun dari kotak pengemudi.
Lalu lintas kembali melambat seiring dengan para penonton yang mulai penasaran untuk melihat apa yang terjadi.
Para pejalan kaki berkumpul di sekitar persimpangan untuk melihat ke tengah kerumunan.
Sejumlah wanita terperangah melihat kemunculan Nazareth di tengah-tengah mereka, seolah menyaksikan malaikat yang turun dari surga.
Tak heran, mengingat paras Nazareth yang luar biasa rupawan ditambah gaya berpakaiannya yang elegan khas aristokrat.
Dengan hening, mereka membuka jalan untuk membiarkan pria berwajah lancip putih porselen itu lewat.
Kelopak mata pria paruh baya yang tergeletak di tengah kerumunan itu bergetar.
Dia masih hidup! pikir Nazareth.
Ia membungkuk di atas kepala pria paruh baya yang terkapar itu dan memeriksa luka menganga di bahunya. "Tulang cakra," gumamnya terkejut.
Pria paruh baya itu terperangah dengan gemetar dan mata terbelalak, seolah bisa merasakan bahwa pada akhirnya ada seseorang yang bisa mengerti apa yang dialaminya.
Tulang cakra adalah atribut spiritual yang didapat dari peri monster---sejenis binatang spiritual yang berhasil ditaklukkan dan diserap energinya untuk meningkatkan kekuatan peri pelindung.
Beberapa peri monster yang sudah berusia ratusan ribu tahun memiliki cakra pelindung seperti baju zirah yang menyatu dalam daging dan menjadi bagian dari tubuh manusia yang menaklukkannya. Dan itu adalah benda pusaka paling langka impian semua master bela diri spiritual.
Untuk bisa merebut tulang cakra dari seseorang, harus memotong bagian tubuh yang memiliki tulang cakra tersebut.
Tapi tentu tak mudah mengingat rata-rata pemilik tulang cakra adalah seorang master bela diri spiritual yang sudah mencapai level leluhur, kecuali jika si penyerang merupakan master dengan level yang lebih tinggi.
Siapa pun dia yang telah merampok tulang cakra pria paruh baya ini bukanlah orang yang sederhana.
"Bantu aku menaikkannya ke dalam kereta!" perintah Nazareth pada saisnya.
Dua orang pria membantu menggotong pria paruh baya itu dan menaikkannya ke dalam kereta Nazareth, kemudian membaringkannya di lantai kereta.
"Putar balik!" instruksi Nazareth pada saisnya. "Cari balai pengobatan terdekat."
Nazareth berjongkok di dekat pria paruh baya itu dan memegangi lengannya untuk menahan guncangan selama perjalanan.
Pria paruh baya itu menggenggam pergelangan tangannya dan mengeluarkan sesuatu dari balik jubah armornya, kemudian menaruhnya ke telapak tangan Nazareth.
"Anda seorang perwira pasukan abadi?" Nazareth bertanya sambil menatap lencana di telapak tangannya dengan terkejut. "Tak heran Anda memiliki tulang cakra," katanya.
"Berikan ini pada keluargaku," pinta pria paruh baya itu dengan suara tercekat. "Putriku… putriku mendaftar Pencarian Bakat Tahunan untuk membangkitkan peri pelindungnya di balai budaya…"
"Bertahanlah, Sir!" Nazareth menggenggam tangan pria paruh baya itu untuk memberi dukungan. "Beritahu saya, siapa nama Anda!"
"Aku Katz…" tiba-tiba suara pria paruh baya itu seolah menguap.
"Kapten!" Nazareth tergagap dan membeku. Lalu mendesah berat seraya melemas tak berdaya. Ia mengusap kelopak mata pria paruh baya itu dengan jarinya, lalu menoleh pada saisnya. "Ah—Xen! Kita tak jadi ke balai pengobatan," katanya. "Cari saja markas tentara daerah!"
Sais itu menoleh dengan alis bertautan, lalu mengintip ke dalam melewati bahu tuannya, kemudian mengerjap dengan raut wajah muram dan mengalihkan perhatiannya kembali ke depan.
Tak lama berselang, kereta kuda mereka akhirnya berhenti di gerbang markas tentara daerah.
.
.
.
Sembilan Pejabat Pencari Bakat dari sembilan aliansi paling bergengsi di Negeri Peri sudah mulai terlihat bosan setelah ratusan remaja melangkah ke tengah arena dan berbalik dengan kedua lengan menggantung lemas di sisi tubuhnya.
Rata-rata mereka memiliki peri pelindung yang cukup kuat tapi tidak satu pun memiliki karunia cahaya.
Beberapa di antaranya memiliki bakat spiritual dengan level yang sangat rendah dengan peri pelindung tidak berguna seperti tanaman atau perkakas berkebun.
Ada juga yang memiliki bakat spiritual yang memadai, tapi lagi-lagi peri pelindung mereka tidak berguna.
"Sudah empat kota, tapi hasilnya begini-begini saja," salah satu dari pencari bakat mulai bersungut-sungut. "Apakah tahun ini tidak ada harapan?"
Yang lainnya tidak menjawab. Hanya terdiam dengan raut wajah datar. Kedua tangan mereka bersilangan di depan tubuh mereka, mengawasi arena di lantai dasar dari tepi balkon di lantai dua dengan wajah kencang kaum bangsawan.
Dalam hatinya masing-masing, mereka sudah tak sabar untuk segera menyelesaikan agenda tahunan kota Fortress yang—kalau bisa—mereka lebih memilih untuk melupakannya.
Tapi tentu saja tak bisa.
Masih tersisa seratus lebih peserta yang mengantre di belakang arena.
Salah satunya adalah Evelyn.
Sekarang giliran Nadine yang maju ke depan, dan Evelyn bersiap-siap di belakangnya. Merasa sedikit gugup.
Ia menoleh ke bangku penonton di mana ibunya duduk tegak dengan elegan sekaligus arogan khas aristokrat.
Evelyn mendesah kecewa menyadari ayahnya tak kunjung tiba. Lalu terperanjat ketika tepuk tangan meriah menggema ke seluruh aula. Ia menoleh pada kakak sepupunya dan terperangah mendapati peri pelindung yang dimiliki sepupu perempuannya sebuah menara.
Peri pelindung menara merupakan salah satu peri pelindung royal yang hanya dimiliki oleh kaum bangsawan dan kalangan terpandang.
"Anda aristokrat sejati, Nona Muda!" puji si penggali bakat pemilik bola kristal sambil berjalan mendekati Nadine.
Wajah Nadine memerah karena senang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Ichi
oooohhhhhh, jadi gameonline skrng ngikutan mereka enih yaaaak 🙄
2023-03-06
0
Ichi
ada,, sabar dulu kek 😌🙄
2023-03-06
0
Ichi
untung saisnya bukan Beta 😌
2023-03-06
0