"Dari semua poin yang kusebutkan tadi, kusarankan… kau mengembangkan tipe master pengendali!" Nazareth menambahkan.
"Tipe pengendali?" Evelyn mengerutkan keningnya lagi. Gagasan guardiannya tidak sesuai dengan yang ia bayangkan.
Entah apa yang diharapkannya!
"Maksud Anda, menggunakan peri pelindung untuk mengontrol lawan? Menguasai kesempatan untuk bertindak?" Evelyn bertanya tak yakin.
"Benar," Nazareth meyakinkannya. "Berdasarkan hasil penelitianku, peri pelindung rumput liar jenis tanaman rambat bisa berubah bentuk. Sudah pasti paling cocok berkembang di tipe Master Pengendali!"
"Tapi…" Evelyn tertunduk muram. "Tanaman rambat kan mudah putus," katanya kurang percaya diri. "Bagaimana bisa mengikat orang?"
"Begini arah perkembangannya," tukas Nazareth. "Nanti pemilihan cakra spiritualnya ada di dua bagian. Pertama, kekokohan. Kedua…" pria itu menggantung kalimatnya sesaat dan membungkuk mencondongkan wajahnya ke arah Evelyn, kemudian menambahkan, "Racun!"
Kedua mata Evelyn spontan membulat. Tapi bukan karena mendengar kata terakhir guardiannya, melainkan karena wajah tampan itu begitu dekat di depan cuping hidungnya.
"Kelak, seiring peningkatan kekuatan spiritual, peri pelindung juga akan semakin kuat!" Nazareth menambahkan sambil menarik wajahnya menjauh dan meluruskan kembali posisi tubuhnya.
Evelyn mengerang dalam hatinya.
"Setelah kau menyalurkan lebih banyak kekuatan spiritual pada peri pelindungmu, tentu akan semakin kokoh," lanjut Nazareth. "Ditambah dengan keunggulan cakra spiritual, mengikat lawan tak akan sulit. Lalu mengontrol lawan dan meracuninya. Dengan begitu, kau sudah bisa menciptakan metode penyerangan. Kelak senjata rahasia hanya boleh digunakan pada target musuh."
"Hmh!" Evelyn mengangguk tanda mengerti.
"Sementara itu saja dulu," kata Nazareth mengakhiri pelajarannya. "Sekarang, kembali ke kamarmu dan mulailah bermeditasi."
Kenapa rasanya singkat sekali? pikir Evelyn tak ingin pergi. Apa tidak bisa lebih lama lagi?
"Besok, pagi-pagi sekali, temui aku di sini lagi!" Nazareth berpesan sambil beranjak dari tempat duduknya.
"Baik, Master!" Evelyn terpaksa bangkit dan membungkuk, memberi hormat tentara dan berlalu.
Langit masih terang benderang ketika Evelyn melangkah keluar.
Masih terlalu siang!
Namun barisan pohon persik di sekeliling tempat, ditambah pohon-pohon besar di kaki bukit, membuat tempat itu selalu terasa sejuk.
Semilir angin dan gemericik air kolam semakin menambah kesan sejuk.
Evelyn berjalan pelan di sepanjang selasar sambil memandang sekeliling, menikmati pemandangan oriental yang sangat kental, membuatnya merasa seolah sedang berada di negeri timur jauh. Sebuah negeri yang hanya bisa digapai oleh imajinasinya.
Ketika ia mencapai teras kamarnya, sekelebat bayangan melesat keluar dari kegelapan dan menerjang ke arah Evelyn.
Refleks Evelyn yang—tanpa ia sadari—tergolong di atas rata-rata, spontan bereaksi secara naluriah.
Dengan gesit dan spontan, gadis itu memutar sambil melayangkan tendangan ke arah si penyerang.
BUGH!
Si penyerang terdorong ke belakang tapi tak sampai jatuh. Tamu misterius itu membungkuk menekuk perutnya, kemudian melompat ke arah Evelyn sambil mengulurkan sebelah tangannya.
Evelyn menangkap pergelangan tangan si penyerang dan memuntirnya.
BRUAK!
Si penyerang akhirnya terjungkal dan terjerembab di lantai dengan posisi tertelungkup.
Evelyn melompat dan bersiap menjejakkan tumitnya dengan kedua kaki merentang dalam posisi split di udara, tapi suara si penyerang itu membuatnya berhenti seketika.
"Eve—"
Evelyn mendarat dengan sebelah kaki sementara kaki lainnya masih terentang di udara. Dahinya berkerut-kerut ketika ia menunduk untuk melihat sosok di bawahnya.
"Ini aku," pekik si penyerang setengah meringis, lalu berguling dan menarik bangkit tubuhnya dengan susah payah.
"Altair?" Evelyn menurunkan kakinya dan terperangah, lalu berjongkok di sisi pria itu. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menyerangku?"
"Aku tidak menyerangmu!" bantah Altair terengah-engah. "Kau yang menyerangku!"
"Maafkan aku," sesal Evelyn sambil membantu Altair berdiri.
"Refleksmu bagus," komentar Altair sambil memegangi dadanya yang masih terasa sesak. "Dan… aku tidak mengira kau lumayan kuat!"
"Aku terlahir dengan kekuatan spiritual penuh," kata Evelyn. "Jadi sedikit lebih kuat!"
"Hah?" Altair terperangah. "Kekuatan penuh?" Kedua matanya berkilat-kilat penuh kekaguman.
"Kenapa kau mengendap-endap di belakang kamarku?" tanya Evelyn.
"Aku baru pulang dari hutan di sisi lain bukit!" Altair memberitahu sambil menunjuk jalan setapak di lereng bukit.
Evelyn mengikuti arah telunjuknya dan melihat seikat kayu bakar di jalan setapak itu.
"Aku hanya ingin menyapa saja," Altair menjelaskan.
Evelyn meminta maaf sekali lagi.
"Sudahlah!" kata Altair. "Itu juga bagus untuk melatih refleks! Omong-omong apa kau sudah makan? Barangkali kau tertarik untuk bergabung denganku di kantin asrama?"
"Ah—terima kasih!" ungkap Evelyn. "Tapi aku baru selesai makan."
"Tentu saja," gumam Altair. "Kau Anak Emas Lord Vox. Pasti segala sesuatunya terjamin."
Evelyn menatap Altair dengan mata terpicing. Merasa agak tersinggung. "Anak emas?"
Altair mengerjap ke arah Evelyn dan terkejut mendapati sirat kemarahan di wajah gadis itu. "Maaf, aku hanya bercanda," katanya cepat-cepat. Yah, sebenarnya dia hanya bergurau. Tidak mengira hal itu akan menyinggung Evelyn.
Evelyn tidak menjawab.
Altair memalingkan wajahnya ke seberang pekarangan, mencoba mengalihkan perasaannya yang tak nyaman. "Kuharap kau membiasakan diri," katanya muram. "Di Akademi kau mungkin akan mendengar panggilan itu sepanjang waktu," ia memperingatkan. "Orang-orang di Akademi menjulukimu Anak Emas Lord Vox, termasuk para guardian."
"Aku tahu," kata Evelyn sambil tertunduk. Aku sudah mendengarnya, katanya dalam hati. Ia bahkan bisa merasakan sorot permusuhan di mata guardian wanita yang ditemuinya di aula pendaftaran kemarin. "Hanya saja… aku tidak mengira kau ikut-ikutan."
"Aku hanya bercanda," tukas Altair mengulangi perkataannya. "Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, Evelyn!" Ia menambahkan, mencoba meyakinkan Evelyn.
Evelyn menghela napas berat dan memaksakan senyum. "Tidak apa-apa," katanya. "Soal mentraktirku…"
"Ah, sudahlah!" sergah Altair. "Mungkin lain kali…"
"Ya, lain kali saja!" Evelyn memotong cepat-cepat. Raut wajahnya mulai mencair dan senyumannya melembut. "Omong-omong, kenapa hanya kau yang mengambil kayu bakar?"
"Ah—" Altair tersenyum kikuk. "Aku sebenarnya murid paruh waktu," katanya.
"Murid paruh waktu?" Evelyn membelalakkan kedua matanya, menampakkan ekspresi penasaran seorang anak kecil.
"Aku bisa sekolah di sini berkat beasiswa dari kepala desa," cerita Altair. "Tapi kuotanya terbatas hanya sampai semester tiga. Jadi aku bekerja paruh waktu pada Lord Vox untuk dapat melanjutkan sekolah."
Evelyn mengerjap dan tergagap. Tak yakin bagaimana menanggapinya. Di satu sisi, ia merasa tersentuh oleh cerita Altair, namun di sisi lain ia khawatir Altair akan tersinggung jika ia menunjukkan empatinya.
"Lord Vox sangat baik," Altair memberitahu. "Selain upah besar, Lord Vox juga memberikan santunan beasiswa untuk semua murid paruh waktu."
"Semua?" Evelyn bertanya lagi.
"Ya," sahut Altair. "Selain aku, sebenarnya masih ada anak lain yang bekerja paruh waktu. Namun masing-masing mendapat tugas yang disesuaikan dengan bakat dan arah perkembangan peri pelindung. Seperti aku misalnya, aku mendapat tugas paling berat karena aku tipe petarung."
Itu pelajaran yang tadi, pikir Evelyn.
Setelah berbincang-bincang sesaat lagi, Altair akhirnya memohon diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments