Keesokan harinya…
Pagi-pagi sekali Evelyn sudah menemui guardiannya dengan penuh semangat.
Tapi lagi-lagi Nazareth hanya memberinya perintah yang sama---berdiri di bawah tiang bendera di tengah lapangan yang dikelilingi anak-anak lain yang sedang melakukan pemanasan.
Tampaknya kegiatan mengelilingi lapangan itu sudah menjadi rutinitas mereka sehari-hari.
Tapi Evelyn… kapan aku sudah boleh melakukan pemanasan seperti yang lain? ia bertanya-tanya dalam hatinya. Sudah dua hari di sini tapi belum mendapat pelatihan fisik.
Jangan-jangan guardian wanita itu benar, pikirnya. Lord Vox hanya ahli di bidang teori.
Apakah Master belum mengampuniku soal kemarin?
Sudah cukup buruk memiliki peri pelindung tak berguna yang selalu menjadi bahan gunjingan, ditambah menjadi satu-satunya murid pemilik akademi, sekarang… dia juga harus menjadi pusat perhatian setiap pagi karena dihukum seperti ini.
Celakanya, pagi itu tak ada satu guardian pun yang mengawasi mereka. Dan para murid wanita mulai berkasak-kusuk.
"Eh, tahu tidak? Katanya anak itu disekolahkan oleh pemilik akademi," kata murid wanita yang pertama.
"Dengar-dengar, dia juga tinggal bersama Lord Vox," timpal murid yang lainnya.
"Apa?" Murid yang lainnya lagi menanggapi dengan antusias. "Coba ceritakan!"
"Sulit dipercaya," gumam murid wanita yang pertama. "Katanya pemilik akademi pembenci perempuan?"
"Jangan-jangan dia Lolita Complex!"
Terdengar cekikikan.
"Yang pasti dia sangat cantik," seorang murid laki-laki yang menguping pembicaraan mereka menyela.
Murid-murid wanita itu serentak mendelik menanggapinya.
"Well---yeah," anak laki-laki lainnya menimpali. "Aku suka seragam barunya."
Terdengar siulan usil.
Sebenarnya Evelyn mengenakan seragam yang sama dengan yang lain---mantel armor berkerah tinggi di atas celana ketat putih dan sepatu hitam selutut. Namun entah bagaimana seragam itu menjadi tampak memukau pada tubuhnya.
Bentuk tubuh gadis itu langsing dan luwes, ia memiliki rambut ikal cokelat madu yang disanggul ketat sepenuhnya menjadi sebuah ikatan elegan di puncak kepalanya. Sulur-sulur kecil dari anak rambutnya membingkai wajahnya yang berkilauan dan menari-nari di sekitar tengkuknya yang dibalut renda bercorak emas dari mantel armornya yang berkerah tinggi.
Tampaknya Nazareth tidak berlebihan ketika ia berpikir bahwa kecantikan gadis itu membuat orang tak waras.
Faktor lainnya yang membuat gadis itu tampak memukau adalah kekuatan spiritual penuh yang lebih dikenal dalam istilah karunia cahaya. Karunia cahaya memang berpengaruh cukup besar pada aura seseorang.
"Hai, Eve!" Murid senior yang kemarin mengantarkan selimut, Altair menyapa Evelyn dan menghampirinya. "Apa kabar?"
"Baik," jawab Evelyn. "Bagaimana kabarmu?"
"Luar biasa," jawab Altair. "Istirahat nanti, ikutlah denganku makan di kantin asrama," ia menawarkan. "Aku akan mentraktirmu!"
Anak-anak lainnya spontan menoleh pada mereka dengan mata dan mulut membulat. Lalu berbisik-bisik.
"Terima kasih, Altair!" Evelyn tersenyum murung. "Tapi aku tak yakin apakah Lord Vox akan mengizinkanku meninggalkan hukuman," katanya muram.
"Hukuman?" Altair mengerutkan keningnya.
"Ah—ha ha ha!" Evelyn tertawa gelisah sambil mengusap bagian belakang kepalanya. "Aku telah melakukan kesalahan, dan… kau lihat?" Evelyn mengembangkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. "Aku berdiri di sini setiap pagi sementara yang lain melakukan pemanasan!"
"Kesalahan?" seorang murid wanita menyela mereka. "Bahkan di hari pertama?"
"Memangnya apa yang kau lakukan?" Altair bertanya sambil memelankan suaranya, mengabaikan murid wanita tadi.
"Aku—" Evelyn menjawab ragu-ragu, kemudian melirik murid lainnya dan mencondongkan badannya ke arah Altair sambil menudungi mulutnya dengan telapak tangan, "Aku memanggilnya Nazareth," bisiknya.
Altair meledak tertawa hingga menarik perhatian murid lainnya. "Bagus! Kau memanggilku Master, dan kau memanggilnya Nazareth?"
Wajah Evelyn spontan merona karena malu. Lalu buru-buru tertunduk.
Bersamaan dengan itu…
"Lord Vox datang!" Seorang anak laki-laki mendesis memberitahu teman-temannya.
Anak-anak itu serentak berhenti berlari dan membungkuk.
Evelyn juga ikut membungkuk. Altair membungkuk di sampingnya.
Nazareth berhenti dan menoleh, mengamati Altair dengan mata terpicing. "Apa kau sudah selesai pemanasan, Altair?" ia bertanya dengan ekspresi menyelidik. Sebelah alisnya terangkat tinggi.
"Sudah, Sir!" jawab Altair tanpa berani mengangkat wajah.
Nazareth mengawasinya beberapa saat lagi, kemudian beralih pada Evelyn, "Ikut aku makan di kantin asrama di lantai dua," katanya.
Murid-murid lainnya menelan ludah mendengar perkataan Nazareth, tersengat perasaan iri.
Lantai dua kantin asrama adalah tempat yang dapat memesan menu khusus dengan harga selangit. Tempat ekslusif para petinggi dan murid elit.
Evelyn melirik sekilas pada Altair, kemudian mendadak ragu. Ia memberanikan diri mengangkat wajah dan menatap guardiannya. "Master! Apa aku boleh makan dengan teman?"
Murid-murid lainnya saling melirik mendengar sapaan Master yang diucapkan Evelyn.
Nazareth menaikkan sebelah alisnya, melirik sekilas pada Altair dan bertukar pandang dengan Xenephon. "Baiklah," katanya setelah sejenak terdiam. "Begitu juga bagus! Tidak membedakan diri dengan yang lain," katanya sambil berbalik memunggungi Evelyn dan melipat kedua tangannya di belakang tubuhnya.
"Terima kasih, Master!" Evelyn membungkuk lagi.
"Setelah makan, tunggu aku di depan kantin!" Nazareth berpesan sambil berlalu.
Evelyn membungkuk sekali lagi.
Begitu Nazareth dan Xenephon menghilang di kelokan, anak-anak pelajar itu menghambur ke arah Evelyn dan Altair. Lalu bergabung bersama mereka, berbondong-bondong menunju kantin.
"Jadi benar ya, kau menjadi murid pemilik asrama?" salah satu murid wanita bertanya pada Evelyn.
Evelyn melirik murid wanita itu dengan tatapan canggung.
"Namaku Xena Moz," murid wanita itu mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
Evelyn menjabat tangan Xena dan balas memperkenalkan diri.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," tuntut Xena.
"Benar," jawab Evelyn tanpa dapat menutupi perasaan bangganya.
Tapi perkataan murid wanita lainnya membuat Evelyn langsung cemberut. "Yang benar saja, kau berguru padanya? Kemampuannya tidak seberapa!"
Evelyn memicingkan matanya, menghujamkan tatapan tajam.
"Usia Lord Vox sudah dua puluh lima tahun, tapi belum mencapai master spiritual!" Murid wanita itu memelankan suaranya seraya menudungi mulutnya dengan sebelah tangan. "Peri pelindungnya bahkan tak bisa melewati level dua puluh!"
Evelyn menggemeretakkan giginya menahan geram.
Murid wanita itu mendesah dengan gaya dramatis, tidak melihat gelagat Evelyn. "Takutnya… seumur hidup juga tak bisa menembusnya lagi!" cemoohnya dengan rahang mendongak.
"Mohon jangan asal bicara!" Evelyn tak bisa menahan dirinya lagi, ia berhenti dan menoleh pada murid wanita itu, mencoba meniru tatapan maut ibunya. "Ini adalah pertama dan kuharap juga terakhir kalinya!"
Anak-anak di sekelilingnya langsung terdiam. Beberapa bertukar pandang dengan ekspresi tegang.
"Dia guardianku," Evelyn memperingatkan. "Dan dia juga pemilik akademi!" ia menandaskan. Lalu menoleh pada Altair dengan hidung mendongak. "Altair, terima kasih atas niat baikmu. Tapi… kupikir sebaiknya kau tak perlu mentraktirku lagi."
Altair tergagap dan terperangah. Lalu memelototi teman-temannya sehingga mereka diam.
Altair menatap Evelyn dengan sedih ketika sebagian besar pelajar pengecut itu menyelinap pergi.
Evelyn tetap bergeming. Terlanjur menutup diri.
Altair menyerah dan berbalik, meninggalkan Evelyn dengan kedua bahu menggantung lemas di sisi tubuhnya.
Satu jam kemudian, Nazareth dan Xenephon melangkah keluar dan menemukan Evelyn sedang berdiri tertunduk, bersandar pada dinding di teras samping kantin.
Nazareth mengerutkan keningnya dan melirik sekilas pada Xenephon. Lalu berdeham dan melipat kedua tangannya di belakang tubuhnya.
Evelyn tersentak dan membungkuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments