Xenephon menyodorkan dokumen dan sertifikat dari Balai Budaya Fortress pada pria pertama. Lalu menoleh pada Evelyn. "Master Lotz akan mengurus pendaftaranmu," katanya sambil melayangkan telapak tangannya ke arah pria tadi. "Kau tunggulah di sini," kata Xenephon. "Aku akan segera kembali."
"Hmh!" Evelyn mengangguk bersemangat.
Master Lotz mengerutkan keningnya setelah membaca dokumen yang dibawa Xenephon. "Tak disangka Lord Vox akhirnya menerima seorang murid," katanya.
"Apa?" Wanita di sampingnya terperangah, lalu menyambar dokumen itu dari tangan Master Lotz.
Master Lotz sekarang membaca sertifikat dari Balai Budaya Fortress dan terkesiap. "Kau terlahir dengan kekuatan penuh?"
"Hah?" Wanita di sampingnya kembali terperangah lalu melongok sertifikat di tangan Master Lotz---sudah hampir merebutnya lagi.
Tapi perkataan Master Lotz berikutnya membuat wanita itu langsung mencebik.
"Sayang sekali peri pelindungnya tanaman liar!"
"Meski Lord Vox sedikit aneh, tapi Lord Vox sangat ahli di bidang peri pelindung, terutama dalam menilai bakat," sela pria yang sejak tadi hanya terdiam.
"Ya, Lord Vox memang ahli!" sergah si guru wanita. "Tapi hanya dalam teori."
"Kurasa inilah saatnya Lord Vox mewujudkan teori-teorinya," tukas pria tadi sambil mengembangkan telapak tangan di sisi tubuhnya, menunjuk ke arah Evelyn. "Aku ingat, ada sepuluh kekuatan inti peri pelindung..."
"Memang ada!" sanggah guardian wanita itu memotong perkataan pria tadi, lalu berbalik memunggungi semua orang dan bergegas ke arah pintu lain di seberang ruangan. Tapi lalu tiba-tiba berhenti sambil berbisik, mendekatkan wajahnya ke telinga pria itu, "Tapi ini benar-benar konyol!" ia menambahkan.
"Bagaimanapun dia adalah pemilik akademi," tegur Master Lotz. "Jangan bicara sembarangan. Meski tak ada yang bisa membuktikan teorinya benar, tapi juga tak ada yang bisa membuktikan teorinya salah."
"Benar," sanggah si guardian wanita. "Dia mendapat gelar Master Spiritual karena prestasi gemilang akademis itu!"
"Jangan lupa di bidang peri pelindung, Lord Vox adalah orang terkenal!" Master Lotz mengingatkan.
"Maksudmu Badut Terkenal?" dengus si guardian wanita. "Siapa pun hanya menganggapnya sebagai lelucon! Akademi ini adalah sebuah lelucon!" Guardian wanita itu mengoceh sambil berlalu. Lalu berhenti lagi di ambang pintu, menoleh pada Master Lotz sambil tersenyum miring. "Kau tahu apa julukan semua orang di luar sana untuk Akademi Dewa Mimpi? Sekolah para pemimpi!" tandasnya. Lalu benar-benar menghilang di balik pintu.
Lelucon katanya? pikir Evelyn sinis. Sudah tahu lelucon dia malah mengajar di sini. Jadi apa yang dia ajarkan selama ini?
Lelucon?
Master Lotz menggeleng-geleng. Lalu menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia menoleh pada Evelyn dan memaksakan senyum.
Evelyn balas tersenyum, lalu tertunduk dengan raut wajah muram. Tak tahu siapa sebenarnya yang lelucon, pikirnya masam.
"Tunggulah sebentar!" kata Master Lotz. Ia berbalik dan menghilang sesaat ke dalam sebuah ruangan, lalu kembali lagi membawa dua bungkusan---sepasang sepatu dan seragam baru yang masih dikemas kain kaku transparan berwarna emas dan diikat dengan pita sewarna. "Ini dibagikan gratis oleh Akademi," katanya sambil mengulurkan seragam itu pada Evelyn.
Evelyn menerimanya dengan kedua tangan sambil membungkuk, "Terima kasih!"
"Kau akan tinggal di asrama ke—"
"Tunggu!" Xenephon tiba-tiba muncul di pintu dan menyela Master Lotz.
Evelyn dan Master Lotz serentak menoleh ke arah pintu.
"Lord Vox sudah menetapkan Evelyn untuk tinggal di estatnya," Xenephon memberitahu.
"Apa?" Guardian wanita yang tadi sudah menghilang tiba-tiba muncul lagi di pintu lain. "Bahkan tempat tinggal?" pekiknya terkejut.
Master Lotz menoleh padanya dengan alis bertautan.
Xenephon tidak menggubris guardian wanita itu. "Ayo, Eve!" katanya cepat-cepat, lalu membungkuk sekilas pada Master Lotz dan memohon diri.
Evelyn mengekor di belakangnya.
"Peri pelindung tanaman liar!"
Evelyn masih bisa mendengar guardian wanita itu menggerutu.
"Estat Lord Vox memang tepat seperti habitat aslinya!"
Evelyn dan Xenephon sudah keluar dari aula dan bergegas menyusuri lorong panjang melewati pekarangan samping sekolah.
Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya sampai di kaki bukit dan meniti tangga batu menuju sebuah pondok kayu minimalis yang disebut-sebut sebagai Estat Lord Vox, jauh terpencil di sisi lain bangunan institut.
Pondok kayu minimalis di puncak bukit itu terlihat seperti lukisan oriental bernuansa bunga persik.
Semilir angin menebarkan aroma sejuk ketika Evelyn telah mencapai pekarangan pondok. Langkahnya ringan dan gesit di atas rumput yang dingin dan lembut bagaikan sutra.
Langit berwarna jingga-kelabu di atas kepalanya. Semburat cahaya matahari sore berpendar di kaki langit.
Gemericik air mancur di tengah kolam semakin terdengar seiring dia mendekat. Di pinggir kolam yang ditumbuhi tanaman rambat liar, tampak sebuah gondola kecil yang anggun.
Evelyn berlari menuju pondok itu, menarik lengan gaunnya untuk melewati rerumputan.
Ketika ia mencapai bangunan, ia berhenti tiba-tiba, jantungnya berdebar-debar, kemudian berdiri di hadapan bangunan itu, secara perlahan mata dan mulutnya membulat, menampilkan ekspresi penasaran dan senang seorang anak kecil.
"Indah sekali," gumamnya dipenuhi kekaguman. "Tapi apa tidak terlalu terpencil untuk menjadi estat pemilik akademi?"
"Lord Vox menyukai ketenangan," jawab Xenephon sambil memelankan langkahnya di belakang Evelyn.
Evelyn meletakkan tangannya di susuran tangga dan menaiki tiga anak tangga rendah, penuh luapan kesenangan.
Di dalam, ia mengitari lantai kayu, seraya menoleh ke sana kemari. Rok gaunnya yang lembut berayun di sekitarnya. Ia berputar di tangga dan mendapati pemandangan sebuah danau buatan.
Tidak ada siapa-siapa.
"Di mana Lord Vox?" Evelyn menoleh pada Xenephon dengan alis bertautan.
"Kurasa dia belum kembali dari pertemuan. Kemarilah!" ajak Xenephon sambil berjalan memutar ke sisi lain pondok. "Biar kutunjukkan di mana kamarmu."
Evelyn mengikutinya dengan antusias, dan sampai di sebuah kamar berukuran kecil beratap miring dengan pintu geser di bagian samping pondok dengan satu tempat tidur dan meja tulis rendah di dekat jendela bulat.
"Baiklah," kata Xenephon, "Sementara menunggu Lord Vox kembali, kau bisa merapikan sendiri kamarmu!"
"Baik," kata Evelyn sambil membungkuk ke arah Xenephon. "Terima kasih, Master!"
Xenephon tersenyum simpul dan berlalu dari estat Lord Vox.
Beberapa saat kemudian, seorang pria muncul di ambang pintu kamar Evelyn. "Apa kau Evelyn?" pria itu bertanya.
Evelyn menoleh ke arah pintu dan membeku.
Pria itu kira-kira berusia dua puluh lima tahun. Ia mengenakan seragam yang sama dengan guru-guru di aula tadi, celana panjang putih berlapis rompi armor berkerah tinggi dengan bahu kaku berwarna metalik, dan membawa segulung selimut baru yang masih dikemas. Rambutnya ikal bakung berwarna kuning keemasan.
Kelihatannya seusia dengan Master Claus, pikir Evelyn.
Mungkinkah dia…
"Master!" Evelyn membungkuk pada pria itu.
Pria itu mengerutkan keningnya. "Ah—tidak, tidak!" sergahnya cepat-cepat. "Aku bukan guardian! Bangunlah!"
Evelyn mendongak dan mengerjap menatap wajahnya. "Bukan guardian?"
"Ah—" pria itu tergagap-gagap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
hanz
hahahaha ...
2024-09-20
0
hanz
dan anda lebih lelucon dari lelucon karena menjadi guardian di akademi yang anda anggap lelucon 😂
2024-09-20
0