Di akhir hari yang sangat melelahkan itu, Evelyn telah memutuskan suatu hal.
Setelah semua tamu pergi, kecuali Mrs. Morgenstein, yang berada di kamar tidur tamu, Evelyn memanggil seluruh anggota keluarganya yang wanita untuk berkumpul di ruang duduk.
Evelyn berdiri membelakangi tungku pemanas, menghadap semua orang, dengan tangan tergenggam di balik punggungnya. "Ada yang ingin kukatakan pada kalian. Sesuatu yang pribadi."
"Ya, Anakku?" Lady Catherine mengangkat dagunya.
Evelyn menegakkan pundaknya dan mengambil napas panjang. "Aku sudah memutuskan untuk menerima undangan Mrs. Morgenstein untuk ikut ke ibukota. Tidak perlu protes," seru Evelyn pada mereka. "Kita semua tahu kalau sesuatu harus dilakukan."
Bibi Madeleine mengerutkan keningnya dan melemparkan tatapan cemas pada Lady Catherine, kemudian kembali menatap Evelyn. "Bagaimana dengan masa berkabungmu, Dear?"
"Aku rasa dalam hal ini. Ayah akan mengerti," kata Evelyn dengan lembut. Ia sempat bimbang. "Sebagai pemilik baru rumah ini, aku harus mengambil tindakan jika ingin tetap memelihara tempat bernaung kita ini. Jadi, mengertilah, aku harus berangkat ke ibukota untuk mencari pria mapan untuk menjadi suamiku, dengan begitu tidak akan ada lagi yang perlu kita semua cemaskan." Evelyn buru-buru menyelesaikan kalimatnya di tengah suara mereka semua yang terperangah.
Ketiga perempuan itu menatapnya dengan terkejut.
"Kau akan menikah!" sepupunya tercekat.
"Oh, semoga kau diberkati, Evelyn-ku sayang. Kau gadis pemberani!" bisik Bibi Madeleine, mengusap matanya dengan saputangan. "Tadinya aku sudah ketakutan kalau kita semua akan hidup miskin."
Evelyn menatap ibunya untuk membaca reaksinya. la menunggu dengan gelisah, mencari sesuatu di wajah itu.
Lady Catherine terdiam beberapa lama. Lalu ia meletakkan jarum dan bingkai sulamannya. "Apa kau sudah yakin dengan keputusanmu itu?"
Mencoba menguatkan diri akan tugas yang diembannya, Evelyn menelan ludah. "Sudah."
Mata safir ibunya menyempit penuh selidik. "Seluruhnya? Seorang suami pasti memiliki... harapan-harapan tertentu."
"Ya, aku menyadari hal itu, Ma'am. Aku akan bersiap menghadapinya."
"Tapi... Ibu! Bibi Catherine! Tentunya kalian tidak akan membiarkan Evelyn melakukan ini!"
Tiba-tiba sepupunya, Nadine, berseru.
Tak ada yang menjawab.
"Aku tahu kita jatuh miskin, tapi kalian tidak boleh membiarkan Evelyn menjual dirinya seperti... seperti perempuan yang tak jelas! Ini semua mengerikan!"
"Mengerikan?" Bibi Madeleine mengulangi ucapan putrinya, mengerutkan alis.
"Pasti ada jalan lain!" Nadine bersikeras. "Aku tahu!" Tiba-tiba ia berkata dengan gembira. "Aku dapat menjual salah satu novelku!"
"Tidak!" seru kedua wanita yang lebih tua bersamaan.
"Oh, Tuhan, kau dan cerita Gotik horormu itu, kau akan memperburuk kehormatan keluarga ini yang hanya tinggal secuil." Lady Catherine bergumam sambil bergidik jijik. "Aku tidak mau mendengar pembicaraan itu lagi. Wanita bangsawan tidak menulis novel."
"Tapi aku dapat menerbitkannya dengan nama samaran..."
"Tapi kami masih bisa mengetahui kalau itu kau, Nadine," Lady Catherine berkata dengan menunjukkan setumpuk kepedihan yang telah dipendamnya. "Kehormatan adalah kehormatan. Setidaknya pernikahan adalah hal terakhir yang masih dihormati sebagai pekerjaan untuk seorang wanita. Kau mungkin bisa mencobanya seandainya kau tidak membuang masa mudamu untuk tulisan yang tak berguna itu." Tambah bibinya sambil menahan napas.
"Ya, Ma'am," kata Nadine dengan suara hampir tidak terdengar. la menunduk, kesedihan dan kekecewaan kembali hadir di balik kelopak matanya.
Kegelisahan kembali terbayang di wajah Evelyn. Itulah ibumu. Selalu merasa benar dan berbicara langsung pada intinya.
Sangat kejam.
"Jangan khawatir, Nad." Evelyn bersuara, mencoba membangkitkan semangat sepupunya yang cantik namun malang dengan senyuman. "Apa yang kulakukan mungkin agak... mengerikan, tapi aku tidak keberatan," Evelyn berbohong, "Di samping itu, ibu kita benar. Ini jalan satu-satunya di dunia ini."
"Namun, aku, dalam satu hal, tidak pernah peduli dengan dunia sama sekali." Bergabung kembali setelah mendapat sedikit penyemangat, Nadine bangkit, meletakkan buku yang ada di pangkuannya ke samping.
Sambil mendekati Evelyn, Nadine menatap wajah sepupunya, matanya yang cokelat menatap tajam dan serius. Napas Nadine beraroma kopi... ia tidak pernah meminum teh. "Jadi, kau benar-benar mau melakukannya?" tanya Nadine dalam gumaman. "Bahkan setelah... apa yang terjadi? Kau akan menyelamatkan kami dari kehancuran dengan menikahi pemuda kaya?"
Evelyn mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Sangat kaya."
"Baiklah, kalau begitu, lebih baik kau pilih pria yang bodoh," saran Nadine, "lebih mudah dibohongi."
Lady Catherine tertawa getir. "Mereka semua akan jadi bodoh saat kau berada di sana, Sayang." Tawa getimnya mengingatkan semua yang ada di ruangan itu bahwa Lady Catherine tidak pernah memaafkan suaminya atas kepergian pria itu ke medan tempur untuk menyelamatkan harta kekayaan keluarga mereka. Bukan karena ia istri yang sangat berbakti, tetapi karena kematian suaminya telah membuatnya tidak akan pernah mencapai gelar kebangsawanan yang ia inginkan ketika menikah dulu.
Kalau saja suaminya masih hidup, Lady Catherine tentu telah mendapatkan gelar sebagai Viscountess. Namun, yang ia miliki saat ini hanyalah gelar yang ia dapatkan sebagai gelar turunan dari gelar kebangsawanan ayahnya.
"Benar, Evelyn, kau harus mendengarkan sepupumu," Lady Catherine menyeringai setuju. "Kaya dan bodoh. Kriteria lelaki yang pasti dibutuhkan semua gadis."
"Benar," Evelyn mengucapkannya dengan pelan, menutupi kecemasannya. Ia mencoba meniru sikap dingin ibunya dalam menghadapi takdir apa pun yang akan menjadi suratannya di ibukota nanti. Ia mengetahui dengan baik inilah kesempatan satu-satunya untuk menebus kerugian keluarganya.
Calon suami yang kaya dan bodoh.
Lagi pula, apa ada lelaki pintar yang mau dengannya?
Kemunculan seorang pelayan menyela mereka.
"Miss Evelyn, ada tamu mencari Anda!"
"Tamuku?" ulangnya tak yakin, sambil menatap pelayan wanita yang membungkuk di depan pintu dengan alis bertautan. Benar-benar langka! pikirnya.
Raut wajahnya yang tegang berubah menjadi heran, lalu terkejut melihat seikat bunga Alamanda di tangan pelayannya. Seketika pikirannya langsung tertuju pada pria asing berwajah lancip putih porselen di Balai Budaya.
"Benar, Nona. Katanya, dia ingin bicara dengan Anda." pelayan itu membungkuk semakin dalam sambil mengulurkan bunga di tangannya pada Evelyn. "Tamu itu juga membawa bunga ini untuk Anda."
Pasti dia! pikir Evelyn berbunga-bunga. Lalu bergegas ke ruang tamu. Jantungnya berdebar-debar selama ia berjalan melewati lorong panjang menuju ruang tamu.
Begitu sampai di ruang tamu, imajinasinya langsung menguap.
Seorang pria botak berbadan bulat—lebih tua dari ayahnya, berpakaian militer dengan pangkat empat bintang, tersenyum dan menyapanya dari kursi tamu. "Apa kau Evelyn?"
Evelyn membeku di tempatnya. Tentu saja, katanya dalam hati—memarahi dirinya sendiri. Untuk apa juga pria itu datang ke sini? Kenal juga tidak!
Di sampingnya, seorang pria muda, berusia kira-kira dua puluh lima tahun, membungkuk sekilas pada Evelyn dengan raut wajah datar, bisa dibilang hanya mengangguk. Rambut ikal bakungnya yang berwarna pirang tembaga, tergerai di bahunya yang lebar, membingkai wajahnya yang terlihat seperti hasil pahatan seorang maestro. Setelan resmi yang terlihat begitu glamor. Wajah lancip putih mulus, bibir tipis kemerahan, hidung mancung sempurna, semuanya membuat pria itu terlihat cantik seperti perempuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
hanz
bukankah setelah menikah maka akan langsung mendapat gelar viscountess ? 🤔
2024-09-20
0