"Terima kasih, Pak. Nanti jemput aku jam empat sore, ya!" pinta Rima.
"Baik, Bu," jawab Pak Joko, sopir pribadi Rima.
Sopir yang mengantarkan Rima baru saja pergi membawa mobilnya. Rima menatap rumah sederhana yang ada di daerah pinggiran kota. Rumah itu dulu sempat menjadi tempat kosnya saat masih kuliah. Ia sedikit ragu memastikan apakah rumah itu merupakan alamat yang benar karena agak berbeda dengan yang dulu.
Tok tok tok
Rima mengetuk pintu rumah itu. Seorang wanita seumuran dirinya terlihat membuka pintu. Penampilannya terlihat lusuh seperti baru saja melakukan pekerjaan rumah tangga sampai membuat baju yang dikenakan kumal serta rambut yang sedikit berantakan.
"Ah, Rima!" sapa wanita itu terkejut. Ia mengelap keringat yang ada di dahi dengan ujung bajunya.
Wanita itu adalah Yunita, anak dari pemilik rumah yang dulu Rima tempati. Memang, sebenarnya rumah itu bukanlah tempat kos. Yunita yang merupakan sahabat baik Rima hanya kasihan dengan nasib sahabatnya yang hidup sebatangkara di kota tersebut.
Yunita menawarkan Rima untuk tinggal di rumahnya. Karena Rima tidak enak hati jika menumpang tinggal, ia membayar biaya sewa kepada ibu Yunita setiap bulan.
Biaya sewa tak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang diberikan Yunita dan keluarganya terhadap dirinya. Bahkan Rima sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh ibu Yunita, apa yang mereka makan itulah yang Rima makan.
Rima sudah tidak punya orang tua sejak SMP. Ia tinggal bersama keluarga pamannya sampai lulus SMA. Ia tak tahan dengan sikap bibinya yang suka seenaknya sendiri menyuruh dirinya melakukan semua pekerjaan rumah.
Saat kuliah, ia memutuskan pergi dari rumah pamannya dan memulai hidup mandiri. Ia membiayai kuliah dengan uang hasil kerjanya dan juga tabungan dari hasil warisan yang ditinggalkan ibunya.
Beruntung ia bertemu dengan lelaki sebaik Arjun. Lelaki itu mencintai dirinya secara tulus tanpa memandang latar belakangnya. Hidupnya menjadi lebih sejahtera setelah menikah. Apalagi dia juga bisa menjadi salah satu manajer di restoran milik keluarga Arjun.
Kehidupannya yang berkecukupan ternyata berbanding terbalik dengan Yunita. Sahabatnya itu memiliki kehidupan yang miris, lebih buruk dari sebelumnya.
Semenjak menikah dan sibuk bekerja, Rima sangat jarang bisa bertemu dengan Yunita. Ia tidak tahu kalau kehidupan Yunita sampai bisa separah itu. Bahkan rumah yang ada di hadapannya sekarang mulai reyot seperti tidak pernah direnovasi.
"Rima, ayo masuk!"
Ajakan Yunita membuyarkan lamunan Rima. "Ah, iya. Ayo masuk," katanya.
Rima melangkahkan kaki memasuki halaman rumah yang tampak kumuh penuh dengan sampah dedaunan kering yang berserakan. Dinding tembok berwarna lusuh serta banyak retakan seperti mau roboh.
"Maaf, ya, rumahku berantakan," ucap Yunita yang terlihat sungkan mempersilakan Rima masuk ke dalam rumahnya. Penampilan Rima yang sekarang sangat modis dan cantik seperti wanita sosialita.
Pemandangan di dalam rumah itu juga terlihat sangat kotor seperti gudang yang tak terawat. Padahal dulu menurut Rima itu merupakan rumah yang sangat layak untuk ditinggali.
Bahkan kursi yang harus diduduki juga masih sama seperti dulu. Bedanya, kondisi kursi itu saat ini sudah lusuh dan rusak.
Sepertinya semenjak ibu Yunita meninggal rumah itu telah kehilangan nyawanya. Ia penasaran kenapa Yunita sampai bisa seperti itu.
"Seadanya ya, Rima. Kamu tidak menghubungi aku kalau mau datang."
Yunita membawakan secangkir teh dan dua toples camilan untuk disajikan di hadapan Rima.
"Kamu tidak perlu repot-repot, Yun. Aku kan bukan orang lain," kata Rima.
"Iya, karena kamu sudah aku anggap sebagai saudara makanya aku tidak enak memberimu jamuan seadanya."
Keduanya saling bertatapan dan bertukar senyum. Masing-masing dari mereka memiliki pikirannya sendiri terhadap orang yang ada di depannya.
"Oh, iya. Kamu ternyata sedang hamil ya, Rim, selamat!" ucap Yunita setelah menyadari kondisi perut Rima yang membesar.
"Makasih, ya. Aku empat tahun menikah dan baru bisa hamil," katanya sembari mengelus perut.
"Sudah berapa bulan?" tanya Yunita.
"Jalan delapan bulan."
"Oh, berarti sebentar lagi lahiran, ya! Mudah-mudahan semuanya bisa lancar."
"Terima kasih doanya." Rima hanya bisa tersenyum mendengar doa dari Yunita. "Kamu sedang apa tadi? Sepertinya kedatanganku mengganggu pekerjaanmu," tanyanya.
"Ah, tidak ... Aku baru selesai mencuci pakaian. Aku juga sudah menjemurnya. Makanya pakaianku jadi sedikit basah, kan?" Yunita menjawab itu dengan nada bicara seperti yang dipaksakan ceria. Sebenarnya ia merasa canggung dan sungkan berhadapan dengan Rima yang sekarang sudah beda kelasnya dengan dirinya.
"Kamu sudah menikah apa belum, Yun?" tanya Rima.
"Hahaha ...." Yunita tertawa mendengar pertanyaan Rima. "Kamu ini ada-ada saja. Mana ada orang yang mau dengan wanita miskin sepertiku," ujar Yunita.
"Tapi, Mas Arjun mau denganku," tukas Rima. Ia tidak setuju jika status ekonomi menjadi halangan untuk mendapatkan pasangan hidup.
Raut wajah Yunita berubah muram. "Kalau kamu kan beda, Rim. Meskipun kamu yatim piatu, menurutku itu lebih baik dari pada memiliki seorang ayah," kata Yunita.
Rima sampai lupa jika Yunita masih memiliki ayah. Setahu dirinya, ayah Yunita bekerja sebagai preman pasar yang hobi judi dan mabuk-mabukkan. Jadi, Yunita bisa bertahan hidup berkat ibunya yang bekerja sebagai penjahit di sebuah butik cukup terkenal di sana.
"Apa ayahmu masih sering membuat masalah?"
Yunita mengangguk, mengiyakan pertanyaan dari Rima. "Hutangnya banyak dan yang selalu ditagih adalah aku. Kayaknya sampai aku mati kerja juga tidak bakalan bisa melunasi hutang ayahku."
Ia menghela napas dalam-dalam. Mengingat kelakuan ayahnya yang keterlaluan membuat ia selalu ingin emosi. Namun, ia kembali mengingat bahwa bagaimanapun juga lelaki itu tetap ayahnya. Ibunya juga dulu bisa bersabar sampai akhir hayatnya.
"Kenapa sih kamu tidak pergi saja, Yun ... Itu kan bukan tanggung jawabmu?" Rima yang hanya melihat saja kesal.
Yunita hanya tersenyum. Ia tahu jika dirinya tidak mau mencicil hutang, maka ayahnya akan menjadi mayat. Ia masih berharap jika suatu saat ayahnya bisa berubah menjadi lelaki yang bertanggung jawab.
"Sudahlah, Rim, ini memang tanggung jawabku juga," kata Yunita pasrah. "Oh, iya. Bagaimana dengan ibu mertuamu?" tanyanya.
Awal-awal menikah Rima masih dekat dengan Yunita. Ia menceritakan sikap mertuanya yang biasa-biasa saja meskipun dia hanya orang biasa. Namun, beberapa bulan setelah menikah Rima tak kunjung hamil, ibu mertua bersikap tak peduli padanya.
"Sejak aku hamil dia jadi baik hati, Yun," kata Rima.
"Oh, syukurlah. Aku turut senang melihat hidupmu bahagia seperti sekarang."
Rima tersenyum kaku mendengarkannya. Yunita tidak tahu permasalahan apa yang kini menghinggapi dirinya sampai tidak berani bercerita kepada siapapun. Mungkin dari luar kehidupannya terlihat membuat iri orang lain. Namun, di baliknya ada banyak tangisan yang harus ia tumpahkan.
🤎
🤎
🤎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Kanjeng Mami
Thor kelanjutan yang Menikahi Sultan Qatar mana Thor? 😢
2023-03-08
0
Lie Hia
semua hidup ada masalah, cm masalahnya beda2...baik yunita maupun rima
2023-03-08
3