"Oh, come on! Ini kerjasama besar, Jun!" Suni tak serta merta rela melepaskan kesempatan itu.
"Pokoknya aku mau tetap di sini dengan Rima, Ma. Atau kalau Mama tetap memaksa, Rima akan aku bawa ke sana," kata Arjun.
Rima sedikit bernapas lega. Meskipun ia tidak meminta, ternyata Arjun memihak kepadanya. Ia berharap mertuanya saja yang pergi dari rumah itu, kalau perlu tak usah kembali. Terutama ayah mertuanya yang setiap saat seperti mengintai dirinya.
Suni menghela napas panjang. "Oh, ayolah ... Aku dikalahkan oleh putraku sendiri. Padahal, aku juga mau bersama cucuku nanti," keluhnya.
"Mama kan bisa pulang sebentar-sebentar kalau kangen cucu," kata Arjun.
"Sengaja aku suruh kalian tinggal bersama Mama ya supaya Mama bisa bertemu cucu setiap hari. Kamu tega menjauhkan Mama dari cucu," keluh Suni.
"Kalau aku yang pergi, malah kasihan anakku nanti dikira tidak punya ayah, Ma!" ujar Arjun.
Rima melirik ke arah Sandi. Lelaki itu masih fokus menatapnya, bahkan memberikan senyuman saat menyadari dirinya tengah diperhatikan.
Rima terus diam sepanjang obrolan mereka lakukan. Ia berusaha menikmati makanan yang tak lagi membuatnya berselera.
Di bawah meja, ia rasakan kakinya disentuh oleh kaki lain. Ia terdiam sesaat mencoba mencari tahu siapa yang kira-kira berani melakukan hal itu di acara makan malam.
Ia menoleh ke arah suaminya yang masih asyik berdebat dengan ibu mertuanya. Rasanya tidak mungkin jika Arjun iseng melakukannya. Ia kembali melirik ke arah Sandi. Lelaki itu tampak semakin mencurigakan. Gerakan kakinya semakin berani menyusuri kakinya kian ke atas. Segera Rima tarik menjauh kakinya sendiri.
Rima menyadari telah salah langkah. Lelaki itu tak bisa dipercaya. Perkataan lelaki itu hanya omong kosong belaka. Kasih sayang yang dikatakannya dijadikan kedok untuk memuaskan hasrat pribadi terhadapnya.
"Sudahlah, Ma. Kita yang mengalah saja. Biarkan mereka menikmati masa-masa sebagai orang tua." Sandi berkata dengan nada yang terdengar bijaksana.
"Ya sudahlah kalau begitu. Mama akan berangkat akhir pekan ini ke Amerika Serikat. Rima, kamu jaga calon cucu Mama baik-baik, ya!" pinta Suni.
"Iya, Ma," jawab Rima.
"Ingat pesan Mama, asuh sendiri anakmu sampai minimal 2 tahun. Mama tidak mau dengar kamu memakai jasa baby sitter untuk membesarkan cucuku kelak!"
Rima hanya mengangguk. Ia tahu tak bisa membantah ibu mertuanya sendiri.
***
Flashback on
"Pa ... Ini tindakan yang salah, kita hentikan saja, ya! Aku tidak sanggup melakukannya."
Rima dan Sandi sudah sama-sama tak memengenakan sehelai pakaianpun. Keduanya tengah bermesraan di atas ranjang yang ada di ruang kerja milik Sandi.
Tidak mungkin Sandi mundur dan menuruti kemauan Rima. Hasratnya telah meninggi dan ini menjadi kesempatannya bisa merengkuh wanita yang sangat diinginkannya sejak pertemuan pertama mereka.
"Rima, dengarkan Papa ...." Sandi berusaha menenangkan menantunya dan tetap menahan Rima di sana. "Sekali saja kita akan melakukan ini agar kamu hamil. Dengan begitu, tidak ada lagi yang akan meremehkan kamu di rumah ini. Arjun yang salah, dia tidak akan bisa membuatmu hamil. Jadi, bukan salahmu jika melakukan hal seperti ini. Toh kamu melakukannya demi kebahagiaan Arjun dan Suni. Kalau kamu masih sulit melakukannya, anggap saja Papa ini suamimu."
Perkataan Sandi begitu memberikan pengaruh besar bagi Rima. Ia seolah terhipnotis dari setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Sandi melakukannya begitu perlahan seolah tanpa paksaan. Membuat Rima secara sukarela pasrah menerima perlakuan yang Sandi berikan kepadanya. Apalagi dengan mengingat niat Arjun dan ibu mertuanya yang ingin mencari wanita lain membuat ia tak terlalu merasa berdosa melakukannya.
Selepas Sandi menuntaskan hasratnya, Rima menangis. Ia telah membiarkan lelaki lain menanamkan benih di rahimnya.
Sandi memberikan pelukan lembut. "Semua akan baik-baik saja, Rima. Tidak akan ada yang tahu dan menyadarinya," ucap Sandi.
"Mas Arjun akan tahu kalau dia mengetahui hasil laporannya, Pa ...," keluh Rima.
"Itu masalah mudah. Besok, ayo kita ke rumah sakit tempat kamu memeriksakan diri waktu itu. Papa punya seorang kenalan di sana. Papa akan memeriksakan diri dengan identitas Arjun, kamu tenang saja," kata Sandi.
Keesokan harinya, mereka bertemu di luar rumah sesuai kesepakatan. Keduanya sama-sama menuju ke rumah sakit untuk menemui seseorang.
Rima tak terlalu paham jika orang tersebut merupakan dokter atau salah satu oknum rumah sakit. Ayah mertuanya yang berdiskusi dengan serius dengan orang tersebut.
"Aku minta 300 juta untuk biaya tutup mulut, apa kalian sanggup?" tanya lelaki itu tanpa basa-basi.
Rima sempat tercengang dengan nominal yang minta. Tiga ratus juga menurutnya nominal yang cukup besar.
"Itu tidak masalah bagiku. Berikan nomor rekeningmu, akan langsung aku transfer sekarang juga. Tapi, kamu harus membuatkan surat-suratnya hari ini juga!" pinta Sandi.
"Itu tidak masalah."
Orang tersebut menuliskan nomor rekeningnya di atas selembar kertas. Sandi mengambil ponselnya, membuka layanan internet banking yang terhubung dengan nomor rekeningnya. Tanpa berpikir panjang, ia begitu santainya mengetikkan nomor tujuan transfer dan mengirimkan uang sejumlah 300 juta kepada orang tersebut.
"Sudah aku kirim," katanya sembari menunjukkan bukti transfer.
Orang tersebut tampak senang. "Tunggu di sini sebentar. Aku akan mengambil yang kalian inginkan, katanya.
Sandi dan Rima ditinggalkan di sebuah ruangan kantor oleh orang tersebut. Sandi menggenggam tangan Rima agar tidak takut.
Tentu saja Rima merasa khawatir. Ia telah tidur dengan ayah mertuanya dan sekarang hendak memalsukan hasil pemeriksaan milik Arjun.
"Pa, nanti uangnya akan aku ganti," kata Rima. Entah bagaimana caranya, ia akan berusaha mengganti uang 300 juta itu. Ia tak mau terlalu tergantung dengan Sandi.
"Kamu tidak perlu memikirkannya, aku ini juga ayahmu," ucap Sandi.
Tak berselang lama, orang itu kembali datang menemui Sandi dan Rima. Ia membawa sebuah amplop coklat. Sandi memberikan amplop itu kepada Rima.
Rima memperhatikan amplop itu sama dengan yang sebelumnya ia terima. Mungkin karena di rumah sakit yang sama dengan sebelumnya. Ia buka isi di dalamnya, hasil pemeriksaan itu merupakan hasil milik ayah mertuanya.
Hasilnya menjukkan normal, berbeda dengan milik Arjun. Namun, identitas yang tertera di sana merupakan identitas Arjun. Bahkan nama dokter dan kepala laboratorium itu sama dengan hasil pemeriksaannya sebelumnya. Sampai tanda tangannya sama. Surat itu bisa dikatakan asli tapi palsu. Rima akui orang tersebut sangat pandai melakukan manipulasi data.
"Bagaimana, Rima? Apa ini sudah benar?" tanya Sandi.
Rima mengangguk. Ia yakin Arjun tak akan curiga dengan hasil pemeriksaan itu.
"Kamu juga harus menandatangani perjanjian ini. Kalau sampai bocor, kami akan menuntutmu." Sandi menyodorkan selembar kertas kesepakatan bahwa orang tersebut harus mematuhi perjanjian menjaga kerahasiaan data. Ada rangkap perjanjian, salah satunya diberikan kepada Rima dan satunya disimpan oleh Sandi.
🤎
🤎
🤎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
muhammad djaidi
kenapq mesti bohong sih
2023-04-09
0
Lie Hia
1 kebohongan dimulai...hrs terus di tutupi dgn kebohongan pula
2023-03-08
2
Dimas Syadewa
kok ceritanya balek lagi 🤣🤣🤣
2023-03-08
1